BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan salah satu makhluk hidup, dikatakan sebagai makhluk hidup karena manusia mampu bernafas, berkembang biak, tumbuh, melakukan adaptasi, membutuhkan makanan dan mengeluarkan metabolisme (eliminasi). Salah satu kegiatan tubuh dalam membuang sisa–sisa metabolisme adalah melalui eliminasi feses dan eliminasi urine.
Membuang urine melalui eliminasi merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Apabila eliminasi tidak dilakukan oleh tubuh, maka akan terjadi gangguan–gangguan diantaranya yaitu retensi urine (perubahan pola eliminasi urine), enuresis, inkontinensia urine, dll.
Seseorang yang tidak mampu berkemih secara mandiri di kamar kecil, maka diperlukan bantuan dalam memenuhi kebutuhan eliminasi urine nya yang dilakukan dengan cara pemasangan kateter urine atau kateterisasi urine.
Kateterisasi urine merupakan suatu tindakan dengan memasukkan selang kedalam kandung kemih yang bertujuan untuk membantu mengeluarkan urin. Pemasangan kateter urin dapat menjadi tindakan yang menyelamatkan jiwa, khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau pasien tidak mampu melakukan urinasi. Tindakan pemasangan kateter juga dilakukan pada pasien dengan indikasi lain, yaitu untuk menentukan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil, untuk mengatasi suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin, untuk menghasilkan drainase pascaoperatif pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat, atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien yang sakit berat (Smelzter, 2001).
Tindakan pemasangan kateter pada dasarnya untuk membantu pasien yang tidak mampu berkemih secara mandiri. Namun disisi lain, tindakan ini juga mampu menimbulkan masalah lain seperti infeksi, trauma pada uretra, dan menurunnya rangsangan berkemih (Smelzter, 2001). Kateterisasi urinari adalah penyebab utama UTI dan menyebakan 80% infeksi saluran kemih (Reeves, 2001; Smeltzer, 2002).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kateterisasi urine pada wanita?
2. Bagaimana Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam proses kateterisasi urine pada wanita?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan keteterisasi urine pada wanita.
2. Mengetahui Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam proses kateterisasi urine pada wanita.
D. Manfaat
1. Secara Teoritis
Mahasiswa keperawatan dapat memperoleh informasi mengenai kateterisasi urine pada wanita dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber referensi dalam belajar.
2. Secara Praktis
Mahasiswa keperawatan dapat mengaplikasikan bagaimana cara melakukan kateterisasi urine secara baik dan benar sesuai dengan SOP.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Eliminasi Urine
1. Definisi Eliminasi Urine
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh baik berupa urine atau feses. Kebutuhan eliminasi dibagi menjadi dua yaitu; eliminasi urine dan eliminasi alvi (kebutuhan buang air besar).
Eliminasi urine adalah kebutuhan manusia yang esensial dan berperan menentukan kelangsungan hidup manusia. Eliminasi dibutuhkan untuk mempertahankan homeostasis tubuh.
2. Organ yang Berperan dalam Eliminasi Urine
a. Ginjal
Ginjal merupakan organ retroperitoneal yang terdiri atas ginjal sebelah kanan dan kiri tulang panggul. Ginjal berperan sebagai pengatur komposisi dan volume cairan dalam tubuh. Ginjal juga menyaring bagian dari darah untuk dibuang dalam bentuk urine sebagai zat sisa yang tidak diperlukan oleh tubuh. Bagian ginjal terdiri atas nefron yang merupakan unit dari struktur ginjal yang berjumlah kurang lebih satu juta nefron. Melalui nefron, urine disalurkan ke dalam bagian pelvis ginjal kemudian disalurkan melalui ureter menuju kandung kemih.
b. Ureter
Ureter adalah suatu saluran moskuler berbentuk silinder yang menghantarkan urine dari ginjal menuju kandung kemih. Panjang ureter adalah sekitar 20–30 cm dengan diameter maksimum sekitar 1,7 cm didekat kandung kemih dan berjalan dari hilus ginjal menuju kandung kemih. Dinding ureter terdiri dari mukosa yang dilapisi oleh sel–sel transisional, otot polos sirkuler, dan longitudinal yang dapat melakukan kontraksi guna mengeluarkan urine menuju kandung kemih.
c. Kandung Kemih
Kandung kemih merupakan organ berongga dan berotot yang berfungsi menampung urine sebelum dikeluarkan melalui uretra. Kandung kemih terletak pada rongga pelvis. Pada wanita kandung kemih berada di bawah uterus dan di depan vagina; sedangkan pada laki-laki, kandung kemih berada dibelakang simfisis pubis dan di depan rektum. Dinding kandung kemih memiliki 4 lapisan jaringan yaitu dari lapisan paling dalam adalah lapisan mukosa yang menghasilkan mukus, lapisan submukosa, otot detrusor (lapisan otot polos yang satu sama lain membentuk sudut), dan lapisan paling luar adalah lapisan serosa.
Pada dasar kandung kemih terdapat area segitiga yang disebut trigome yang didalamnya terdapat 3 muara, yaitu 2 muara ureter dan 1 muara uretra. Pada daerah puncak trigome terdapat leher kandung kemih yang berhubungan dengan muara uretra yang disekelilingnya terdapat sfingter uretra interna. Sfingter uretra interna bersifat involunter, dirangsang oleh adanya urine yang masuk kandung kemih.
Fungsi utama kandung kemih adalah menampung urine dari ureter dan dikeluarkan melalui uretra. Kapasitas maksimum kandung kemih pada orang dewasa sekitar 300-400 ml, dan anak-anak antara 50-200 ml. Pada keadaan penuh akan memberikan rangsangan pada saraf aferen ke pusat miksi sehingga terjadi kontraksi otot detrusor yang mendorong terbukanya leher kandung kemih sehingga terjadi proses miksi.
d. Uretra
Uretra memanjang dari leher kandung kemih sampai ke meatus. Pada wanita panjangnya 3.7-6.2 cm (Taylor), lokasinya antara klitoris dengan lubang vagina. Sedangkan pada laki-laki memiiki panjang sekitar 20 cm.
Fungsi uretra adalah menyalurkan urine dari kandung kemih ke bagian luar. Adanya sfingter uretra interna yang dikontrol secara involunter memungkinkan urine dapat keluar serta sfingter uretra eksterna memungkinkan pengeluaran urine dapat dikontrol.
3. Proses Miksi (Berkemih)
Berkemih merupakan proses pengosongan vesika urinaria (kandung kemih). Vesika urinaria dapat menimbulkan rangsangan saraf bila berisi 300–400 ml urine pada orang dewasa dan 50–200 ml pada anak–anak.
Urine diproduksi oleh ginjal sekitar 1 ml/menit, tetapi dapat bervariasi antara 0,5-2 ml/menit. Aliran urine masuk ke kandung kemih dikontrol oleh gelombang peristaltik yang terjadi setiap 10-150 detik. Aktivitas saraf parasimpatis meningkatkan frekuensi peristaltik dan stimulasi simpatis menurunkan frekuensi.
Mekanisme berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi urine yang dapat menimbulkan rangsangan pada saraf–saraf di dinding vesika urinaria. Kemudian rangsangan tersebut diteruskan melalui medulla spinalis ke pusat pengontrol berkemih yang terdapat di korteks serebral. Selanjutnya, otak memberikan impuls melalui medula spinalis ke neuromotoris di daerah sakral, kemudian terjadi kontraksi otot detrusor dan relaksasi otot sfingter internal. Urine dilepaskan dari vesika urinaria, tetapi masih tertahan oleh sfingter eksterna. Jika waktu dan tempat memungkinkan, akan menyebabkan relaksasi sfingter eksterna dan urine dikeluarkan (berkemih). Namun tidak semua urine dikeluarkan dalam proses berkemih, masih dapat tersisa urine residu sekitar 10 ml.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Urine
a. Diet dan Asupan (intake)
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output urine (jumlah urine). Protein dan natrium dapat menentukan jumlah urine yang dibentuk. Selain itu, minum kopi juga dapat meningkatkan pembentukan urine.
b. Respons Keinginan Awal untuk Berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat menyebakan urine banyak tertahan di dalam vesika urinaria, sehingga mempengaruhi ukuran vesika urinaria dan jumlah pengeluaran urine.
c. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi. Hal ini terkait dengan tersedianya fasilitas toilet.
d. Stress psikologis
Meningkatnya stress dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih dan jumlah urine yang diproduksi.
e. Tingkat aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk fungsi sphincter. Kemampuan tonus otot didapatkan dengan braktivitas. Hilangnya tonus otot vesika urinaria dapat menyebabkan kemampuan pengontrolan berkemih menurun.
f. Tingkat Perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat mempengaruhi pola berkemih. Hal tersebut dapat ditemukan pada anak, yang lebih memiliki kesulitan untuk mengontrol buang air kecil. Namun, kemampuan dalam mengontrol buang air kecil meningkat seiring dengan pertambahan usia.
g. Kondisi Patologis
Kondisi penyakit dapat mempengaruhi produksi urine, seperti diabetes melitus.
h. Sosiokultural
Budaya dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine, seperti adanya kultur pada masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air kecil di tempat tertentu.
i. Kebiasaan Seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih di toilet, biasanya mengalami kesulitan untuk berkemih dengan melalui urineal/pot urine bila dalam keadaan sakit.
j. Tonus Otot
Tonus otot berperan penting dalam membantu proses berkemih adalah otot kandung kemih, otot abdomen, dan pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam kontraksi sebagai pengontrolan pengeluaran urine.
k. Pembedahan
Pembedahan berefek menurunkan filtrasi glomerulus sebagai dampak dari pemberian obat anestesi sehingga menyebabkan penurunanjumlan produksi urine.
l. Obat-obatan
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya peningkatan atau penurunan proses perkemihan. Misalnya pemberian obat diuretik dapat meningkatkan jumlah urine, sedangkan pemberian obat antikolinergik dan anthipertensi dapat menyebabkan retensi urine.
5. Gangguan Eliminasi Urine
a. Retensi urine
Merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih dan ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih. Hal ini menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan keadaan ketika seseorang mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Penyebabnya adalah urine yang terdapat dalam kandung kemih melebihi 400 ml, bahkan dalam keadaan distensi, vesika urinaria dapat menampung urine sebanyak 3000–4000 ml urine. Normalnya adalah 250-400 ml.
b. Inkontinensia urine
Adalah ketidakmampuan otot sfingter eksterna sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urine. Secara umum, penyebab dari inkontinensia urine adalah proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, serta penuaaan kesadaran, serta penggunaan obat narkotik.
Ada beberapa tipe dari inkontinensia urine yaitu:
1) Inkontinensia Dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih. Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spasme kandung kemih (Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih belum terpenuhi. Frekuensi miksi menjadi lebih sering dan disertai dengan urgensi. Inkontinensia tipe ini meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita (Purnomo, 2008).
Beberapa penyebab terjadinya inkontinensia urin dorongan disebabkan oleh penurunan kapasitas kandung kemih, iritasi pada reseptor rengangan kandung kemih yang menyebabkan spasme, minuman alkohol atau kafein, peningkatan konsentrasi urin, dan distensi kandung kemih yang berlebihan (Hidayat, 2006).
2) Inkontinensia Total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati (Hidayat, 2006).
3) Inkontinensia Stress
Inkontinensia tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, dan tertawa (Panker, 2007).
Inkontinensia stress ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh cidera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lain (Smeltzer, 2001).
4) Inkontinensia Refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur (Hidayat, 2006).
5) Inkontinensia Fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin (Hidayat, 2006).
c. Enuresis
Enuresis merupakan ketidaksanggupan menahan kemih yang diakibatkan tidak mampu mengontrol spincter eksterna. Biasannya enuresis terjadi pada anak-anak yang sering disebut mengompol, selain itu juga sering terjadi pada lansia yang telah mengalami penurunan fungsi pada organ tubuh.
d. Perubahan Pola Eliminasi
Perubahan pola eliminasi urine merupakan keadaan seseorang yang mengalami gangguan pada eliminasi urine karena beberapa hal seperti akibat dari obstruksi anatomis, kerusakan motorik sensorik, dan infeksi saluran kemih. Perubahan pola eliminasi terdiri atas:
1) Frekuensi
Frekuensi merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam sehari. Peningkatan frekuensi berkemih dikarenakan meningkatnya jumlah cairan yang masuk. Frekuensi yang tinggi tanpa asupan cairan yang banyak dapat disebabkan oleh sistisis. Frekuensi tinggi juga dapat ditemukan pada keadaan stress atau hamil.
2) Urgensi
Urgensi adalah perasaan segera ingin berkemih. Biasanya hal ini sering dialami anak-anak karena kurangnya pengontrolan pada spincter.
3) Disuria
Disuria adalah rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih. Hal ini sering ditemukan pada penyakit infeksi saluran kemih, trauma, dan striktur uretra.
4) Poliuria
Poliuria merupakan produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, tanpa adanya peningkatan asupan cairan. Biasanya hal ini dapat ditemukan pada penyakit diabetes melitus dan penyakit ginjal kronis.
5) Urinaria supresi
Urinaria supresi adalah berhentinya produksi urine secara mendadak. Secara normal, urine diproduksi oleh ginal pada kecepatan 60-120 ml/menit secara terus-menerus.
6. Penanggulangan Gangguan Eliminasi Urine
a. Pengumpulan Urine untuk Bahan Pemeriksaan
Mengingat tujuan pemeriksaan dengan bahan urine tersebut berbeda–beda maka dalam pengambilan atau pengumpulan urine juga dibedakan sesuai dengan tujuannya.
Cara pengambilan urine tersebut antara lain:
1) Pengambilan Urine Biasa
Pengambilan urine biasa merupakan pengambilan urine dengan mengeluarkan urine secara biasa, yaitu buang air kecil. Pengambilan urine biasa ini biasanya digunakan untuk pemeriksaan kadar gula dalam urine, pemeriksaan kehamilan, dll.
2) Pengambilan Urine Steril
Pengambilan urine steril merupakan pengambilan urine dengan menggunakan alat steril, dilakukan dengan kateterisasi atau fungsi suprapubis yang bertujuan untuk mengetahui adanya infeksi pada uretra, ginjal, atau saluran kemih lainnya.
3) Pengambilan Urine Selama 24 Jam
Pengambilan urine selama 24 jam merupakan pengambilan urine yang dikumpulkan dalam waktu 24 jam, bertujuan untuk mengetahui jumlah urine selama 24 jam dan mengukur berat jenis, asupan dan output, serta mengetahui fungsi ginjal.
b. Menolong Buang Air Kecil dengan Menggunakan Urinal
Tindakan membantu pasien yang tidak mampu buang air kecil secara mandiri di kamar kecil dilakukan dengan menggunakan alat penampung (urinal). Hal tersebut dilakukan untuk menampung urine dan mengetahui kelainan dari urine (warna dan jumlah).
c. Kateterisasi urine
Kateterisasi merupakan tindakan memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra untuk membantu memenuhi kebutuhan eliminasi urine atau sebagai pengambilan bahan pemeriksaan.
B. Kateterisasi Urine
1. Definisi Kateterisasi Urine
Kateterisasi urine adalah tindakan memasukkan selang atau “tube” melalui uretra dan masuk ke dalam kandung kemih (bladder) untuk mengeluarkan cairan urine. Tindakan kateterisasi urine ini dilakukan untuk membantu pasien yang tidak mampu berkemih secara mandiri di kamar kecil, sehingga harus memenuhi kebutuhan eliminasi urine atau berkemih dengan dilakukan kateterisasi urine. Kateterisasi dapat menyebabkan hal-hal yang mengganggu kesehatan sehingga hanya dilakukan bila benar-benar diperlukan serta harus dilakukan dengan hati–hati (Brockop & Marrie, 1999).
2. Tipe Pemasangan Kateter Urine
a. Kateter sementara (straight kateter)
Pemasangan kateter sementara dilakukan dengan cara kateter lurus yang sekali pakai dimasukkan sampai mencapai kandung kemih yang bertujuan untuk mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan selama 5-10 menit. Pada saat kandung kemih kosong maka kateter kemudian ditarik keluar, pemasangan kateter intermitten dapat dilakukan berulang jika tindakan ini diperlukan, tetapi penggunaan yang berulang meningkatkan risiko infeksi (Potter & Perry, 2002).
b. Indwelling catheteter/ kateter menetap (foley kateter)
Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih lama. Kateter menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk beberapa minggu pemakaian sebelum dilakukan pergantian kateter. Pemasangan kateter ini dilakukan sampai klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan atau selama pengukuran urin akurat dibutuhkan (Potter & Perry, 2005).
Ciri kateter jenis ini yaitu memiliki balon pada ujung kateter dan memiliki lebih dari 1 lumen. Kateter menetap terdiri atas foley kateter ( double lumen) dimana satu lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dan lumen yang lain berfungsi untuk mengisi balon dari luar kandung kemih. Tipe triple lumen terdiri dari tiga lumen yang digunakan untuk mengalirkan urin dari kandung kemih, satu lumen untuk memasukkan cairan ke dalam balon dan lumen yang ketiga dipergunakan untuk melakukan irigasi pada kandung kemih dengan cairan atau pengobatan (Potter & Perry, 2005).
Gambar 2.1
Jenis kateter urine
c. Suprapubik catheter
Kateter ini terkadang digunakan untuk pemakaian secara permanent. Cara memasukan kateter dengan jenis ini yaitu dengan membuat sayatan kecil diatas suprapubik (Brockop & Marrie, 1999 ). Biasanya digunakan saat prosedur cystoscopic, dll.
3. Komplikasi pada Kateterisasi Urine
Dalam melakukan pemasangan kateter urine di perlukan kemampuan dengan tetap memperhatikan kehati-hatian, karena bisa saja komplikasi itu terjadi di akibatkan dari pemasangan kateter itu sendiri. Di bawah ini beberapa komplikasi yang diakibatkan dari pemasangan kateter:
a. Apabila dalam pemasangan kateter tidak hati-hati atau balon pada uretra dikembangkan sebelum memasuki buli-buli maka dapat menyebabkan trauma atau bahkan perdarahan pada uretra.
b. Nekrosis atau kematian jaringan pada uretra dapat terjadi jika ukuran kateter yang dimasukkan terlalu besar.
c. Proses pemasangan kateter juga dapat menimbulkan infeksi uretra akibat invasi kuman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kateterisasi urine merupakan bantuan yang diberikan kepada seseorang yang tidak mampu berkemih secara mandiri, sehingga untuk memenuhi kebutuhan eliminasi urine dapat dilakukan dengan cara pemasangan kateter urine. Pemasangan kateter dapat digunakan untuk tujuan diagnostik dan terapi.
Prinsip pada pemasangan kateter dilakukan dengan cara:
1. Gentle dan hati-hati
2. Menggunakan prosedur yang steril
3. Lubrikasi yang adekuat
4. Menggunakan kateter dengan ukuran yang lebih kecil atau sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Tarwoto & Wartonah. (2011). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat A.A.A., & Uliyah. M. (2005). Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
Mengenal Kateterisasi Urine dalam Bidang Keperawatan . (2014, http://www.kompasiana.com/wirdawirahayu/mengenal-kateterisasi-urine-dalam-bidang-keperawatan_54f94daea33311a13d8b4eb5 , diperoleh 8 Oktober, 2015).
Pemasangan Kateter urine . (2011, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25132/4/Chapter%20II.pdf , diperoleh 8 Oktober, 2015).
EmoticonEmoticon