Look at this

Selasa, 07 Agustus 2018

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP)

A. Konsep Dasar Penyakit

  1. Definisi

VAP (Ventilator asosiated pneumonia) didefinisikan sebagai pneumonia nosokomial yang terjadi setelah 48 jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik itu melalui pipa endotrakeal maupun pipa trakeostomi. (Rozaliyani dan Swidharmoko, 2010). Sedangkan American College of Chest Physicians mendefinisikan VAP sebagai suatu keadaan dimana terdapat gambaran infiltrat baru dan menetap pada foto toraks disertai salah satu tanda yaitu, hasil biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi trakea, kavitasi pada foto torak, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu demam, leukositosis dan sekret purulen (Marik & Varon, 2001; dikutip Rozaliyani dan Swidharmoko, 2010).

Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia) yang disebabkan oleh pemakaian ventilator dalam jangka waktu yang lama pada pasien (Smeltzer & Bare, 2001; dikutip Yolanda 2013).

Jadi Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah pneumonia akibat infeksi nosokomial pada pasien ICU yang menggunakan ventilator baik melalui pipa endotrakeal maupun pipa trakeostomi yang terjadi setelah 48 jam menggunakan ventilator disertai hasil biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi trakea.

2. Etiologi

Beberapa kuman di duga sebagai penyebab VAP. Berdasarkan hasil isolasi kuman pada pasien dengan diagnosis VAP, bakteri gram negatif sangat sering ditemukan, namun hasil isolasi dengan bakteri gram positif telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada neonates ( Afjeh dkk, 2010).

Bakteri penyebab VAP dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan onset atau lamanya pola kuman. Bakteri penyebab VAP pada kelompok I adalah kuman gram negatif (Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp, Serratai marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus pneumonia, dan Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA). Bakteri kelompok II adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman anaerob, Legionella pneumophilia dan Methicillin Resistan Staphylococcus Aureus (MRSA). Bakteri penyebab kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa, Acetinobacter spp, dan MRSA (Wiryana, 2007).

Beberapa penelitian memberikan hasil yang bervariasi tentang kuman penyebab VAP, seperti terlihat pada tabel di bawah ini (Vincent, dkk 2011)

Tabel etiologi VAP dengan teknik bronkoskopi pada 24 penelitian ( total 2490 kuman pathogen)

Pathogen

Frekuansi (%)

Pseudomonas aeruginosa

Acinetobacter spp

Stenotrophomonas maltophilia

Enterobacteriaceae

Haemophilus spp

Staphylococcus aureus

Streptococcus spp

Streptococcus pneumonia

Coagulase-negatif staphylococci

Neisseria spp

Anaerob

Jamur

Lain-lain

24,4

7,9

1,7

14,1

9,8

20,4

8,0

4,1

1,4

2,6

0,9

0,9

3,8

3. Patofisiologi

Patofisiologi dari VAP, adalah melibatkan dua proses utama yaitu kolonisasi pada saluran pernafasan dan saluran pencernaan serta aspirasi sekret dari jalan nafas atas dan bawah. Kolonisasi bakteri mengacu pada keberadaan bakteri tanpa adanya gejala. Kolonisasi bakteri pada paru-paru dapat disebabkan oleh penyebaran organisme dari berbagai sumber, termasuk orofaring, rongga sinus, nares, plak gigi, aluran pencernaan, kontak pasien, dan sirkuit ventilator. Inhalasi bakteri dari salah satu sumber ini dapat menyebabkan timbulnya gejala, dan akhirnya terjadi VAP (Wiryana, 2007).

Kolonisasi mikroorganisme patogen dalam sekret akan membentuk biofilm dalam saluran pernapasan. Mulai pada awal 12 jam setelah intubasi, biofilm mengandung sejumlah besar bakteri yang dapat disebarluaskan ke dalam paru-paru melalui ventilator. Pada keadaan seperti ini, biofilm dapat terlepas oleh cairan ke dalam selang endotrakeal, suction, batuk, atau reposisi dari selang endotrakeal (Niederman dkk, 2005).

Selang endotrakeal menyebabkan gangguan abnormal antara saluran napas bagian atas dan trakea, melewati struktur dalam saluran napas bagian atas dan memberikan bakteri jalan langsung ke saluran napas bagian bawah. Karena saluran napas bagian atas kehilangan fungsi karena terpasang selang endotrakeal , kemampuan tubuh untuk menyaring dan melembabkan udara mengalami penurunan. Selain itu, refleks batuk sering mengalami penurunan bahkan hilang akibat pemasangan selang endotrakeal dan kebersihan mukosasilier bisa terganggu karena cedera mukosa selama intubasi. Selang endotrakeal menjadi tempat bagi bakteri untuk melekat di trakea, keadaan ini dapat meningkatkan produksi dan sekresi lender ebih lanjut. Penurunan mekanisme pertahanan diri alami tersebut meningkatkan kemungkinan kolonisasi bakteri dan aspirasi

Pneumonia akibat pemasangan ventilator (VAP) adalah umum di unit perawatan intensif (ICU). VAP dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan kematian, lama tinggal di rumah sakit, dan biaya. Tingkat kematian yang timbul dari VAP adalah 27% dan mencapai 43% saat agen penyebab adalah resisten antibiotik. Lama tinggal di unit perawatan intensif meningkat sebesar 5 sampai 7 hari dan memperpanjang lama perawatan di rumah sakit 2 sampai 3 kali lipat pada pasien dengan VAP. Biaya perawatan VAP diperkirakan bertambah $ 40000 per pasien dan sekitar $ 1,2 miliar per tahun.

4. Manifestasi Klinis

a. Demam

b. Leukositosis

c. Secret purulent

d. kavitasi pada foto torak

e. nilai oksigenasi PaO2 / FiO2 mmHg ≤ 240 dan tidak terdapat ARDS

5. Diagnosa (artikel 06)

Diagnosis VAP ditegakkan setelah menyingkirkan adanya pneumonia sebelumnya, terutama pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumonia). Bila dari awal pasien masuk ICU sudah menunjukkan gejala klinis pneumonia maka diagnosis VAP disingkirkan, namun jika gejala klinis dan biakan kuman didapatkan setelah 48 jam dengan ventilasi mekanik serta nilai total CPIS > atau = 6, maka diagnosis VAP dapat ditegakkan, jika nilai total CPIS <6 maka diagnosis VAP disingkirkan. (Luna ,2003)

Spesifisitas diagnosis klinis dapat ditingkatkan dengan menghitung clinical pulmonary infection score (CPIS) yang menggabungkan data klinis, laboratorium, perbandingan tekanan oksigen dengan fraksi oksigen (PaO2/FiO2) dan foto toraks (Tabel 5). Skor <6 menyingkirkan diagnosis VAP sedangkan skor lebih tinggi mengindikasikan kecurigaan VAP. Penghitungan CPIS sederhana tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya bervariasi. (Fartoukh,2003 ; Torres , 2004; Ioanas, 2001).

Tabel 5. Clinical pulmonary infection score (CPIS)

Komponen

Nilai

Skor

Suhu 0 C

³ 36,5 dan ≤ 38,4

³ 38,5 dan ≤ 38,9

³ 39,0 dan ≤ 36,0

0

1

2

Leukosit per mm3

³ 4000 dan ≤ 11000

< 4000 dan > 11000

0

1

Sekret tracea

Sedikit

Sedang

Banyak

Purulen

0

1

2

+1

Oksigenasi PaO2 / FiO2 mmHg

> 240 atau terdapat ARDS

≤ 240 dan tidak terdapat ARDS

0

2

Foto toraks

Tidak ada infiltrat

Bercak / infiltrat difus

Infiltrat terlokalisir

0

1

2

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan fungsi paru paru: volume makin menurun ( kongesti dan kolaps alveolar) : tekanan saluran udara meningkat dan kapasitas pemenuhan udara menurun, hipoksemia.

b. Analisis gas darah ( analysis blood gasses –ABGS) dan pulse oximetry : Abnormalitas mungkin timbul tergantung dari luasnya kerusakan paru –paru.

c. Sinar x : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus).

d. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.

e. Periksa darah lengkap : untuk mengetahui kadar leukosit dalam tubuh

7. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan optimal pada pasien yang dicurigai VAP membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat dengan pemberian antimikroba/antibiotik dan perawatan menyeluruh. Walaupun pengambilan sampel mikrobiologi harus dilakukan sebelum memulai terapi, hal ini tidak boleh menunda pemberian antibiotik. Sebagian besar penelitian menunjukkan penundaan pemberian terapi yang efektif menyebabkan peningkatan angka kematian. Pemberian antibiotik harus disesuaikan dengan epidemiologi dan pola kuman setempat. Pada pasien dengan early onset VAP yang sebelumnya belum pernah menerima terapi antibiotik bisa diberikan monoterapi dengan generasi ketiga sefalosporin. Sedangkan pasien yang terkena VAP setelah penggunaan ventilator mekanik jangka panjang dan telah pernah menggunakan antibiotik sebelumnya memerlukan antibiotik kombinasi agar dapat mengatasi patogen yang potensial (Hunter, 2006)

Kurang lebih 50% antibiotik yang diberikan di ICU adalah ditujukan untuk infeksi saluran pernapasan. Luna dkk. menyebutkan bahwa pemberian antibiotik yang adekuat sejak awal dapat meningkatkan angka ketahanan hidup penderita VAP pada saat data mikrobiologik belum tersedia. Penelitian di Perancis, menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan rutin biakan kuantitatif melalui aspirasi endotrakeal dapat mengidentifikasi pemberian antibiotika pada 95% penderita VAP sambil menunggu hasil biakan BAL.

Penelitian lainnya oleh Fowler dkk. memberikan hasil bahwa penderita yang mendapatkan pengobatan penisilin anti-pseudomonas ditambah penghambat ( OST dkk, 2003 dikutip Yolanda, 2013)

β-laktamase serta aminoglikosida memiliki angka kematian lebih rendah. Piperasilin-tazobaktam merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan (63%) diikuti golongan fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan aminoglikosida (25%). Singh dkk. menyatakan bahwa siprofloksasin sangat efektif pada sebagian besar kumanEnterobacteriaceae, Haemophilus influenza dan Staphylococcus aureus. Pemberian antibiotika dapat dihentikan setelah 3 hari pada penderita dengan kecendrungan VAP rendah ( CPIS < 6).

8. Penatalaksanaa Keperawatan

1) Intervensi dengan tujuan mencegah kolonisasi saluran cerna:

a. Mencegah penggunaan antibiotik yang tidak perlu

b. Membatasi profilaksis stress ulcer pada penderita risiko tinggi

c. Menggunakan sukralfat sebagai profilaksis stress ulcer

d. Menggunakan antibiotik untuk dekontaminasi

e. saluran cerna secara selektif

f. Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut Menggunakan antibiotik yang sesuai pada penderita risiko tinggi

g. Selalu mencuci tangan sebelum kontak dengan penderita

h. Mengisolasi penderita risiko tinggi dengan kasus MDR

2) Intervensi dengan tujuan utama mencegah aspirasi:

a. Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal segera mungkin

b. Posisi penderita semirecumbent atau setengah duduk

c. Menghindari distensi lambung berlebihan

d. Intubasi oral atau non-nasal

e. Pengaliran subglotik

f. Pengaliran sirkuit ventilator

g. Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak diperlukan

h. Ventilasi masker noninvasif untuk mencegah intubasi trakea

i. Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan

9. Komplikasi

Keputusan untuk memasang ventilator harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75% yang dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seseorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam, maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil. Secara statistik angka survival berhubungan sekali dengan diagnosis utama, usia, dan jumlah organ yang gagal. Pasien asma bronkial lebih dari 90% survive sedangkan pasien kanker kurang dari 10%. Usia diatas 65 tahun kemungkinan survive kurang dari 50%. Sebagian penyebab rendahnya survival pasien terpasang ventilator ini adalah akibat komplikasi pemakaian ventilator sendiri, terutama tipe tekanan positif (Sudoyo, 2010).

Akibat Merugikan dari ventilasi mekanik :

1) Pengaruh pada paru-paru

Barotrauma mengakibatkan emfisema, pneumomediastinum, pneumoperitoneum, pneumotoraks, dan tension pneumotoraks. Puncak tekanan pengisian paru yang tinggi ( lebih besar dari 40 cmH2O) berhubungan dengan peningkatan insiden barotrauma. Disfungsi sel alveolar timbul akibat tekanan jalan napas yang tinggi. Pengurangan lapisan surfaktan mengakibatkan atelektasis, yang mengakibatkan peningkatan tekanan jalan napas lebih lanjut. Tekanan jalan napas yang tinggi juga mengakibatkan distensi berlebihan alveolar (velotrauma), meningkatkan permeabilitas mikrovaskular dan kerusakan parenkim. Konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi (FiO2 lebih besar dari 0,5) mengakibatkan pembentukan radikal bebas dan kerusakan sel sekunder. Konsentrasi oksigen yang tinggi ini dapat mengakibatkan hilangnya nitrogen alveolar dan atelektasis sekunder (Sudoyo, 2010).

2) Pengaruh pada kardiovaskular

Pernapasan spontan atau dengan bantuan ventilasi mekanik dapat mempengaruhi kerja jantung. Pada pernapasan spontan, ini ditandai oleh pulsus paradoksus. Sedangkan pemberian tekanan positif dan atau volume saat ventilasi mekanik untuk membuka alveoli sebagai terapi gagal napas mengakibatkan peningkatan tekanan intratorakal yang dapat mengganggu kerja jantung yang bertanggung jawab terhadap menurunnya fungsi sirkulasi. Hasilnya berupa penurunan curah jantung sehingga aliran balik vena ke jantung kanan menurun, disfungsi ventrikal kanan, dan pembesaran jantung kiri. Penurunan curah jantung akibat preload ventrikel kanan kurang, banyak dijumpai pada pasien hipovolemik dan memberikan reaksi pada penambahan volume cairan. Menurunnya fungsi jantung pasien kritis saat ventilasi mekanik dapat memperburuk pasokan O2 ke jaringan, mengganggu fungsi organ yang berakibat meningkatnya morbiditas dan mortalitas.

3) Pengaruh pada ginjal, hati, dan saluran cerna

Tekanan ventilasi positif bertanggung jawab pada keseluruhan penurunan fungsi ginjal dengan penurunan volume urine dan eksresi natrium. Fungsi hati mendapat pengaruh buruk dari penurunan curah jantung, meningkatnya resistensi pembuluh darah hati, dan peningkatan tekanan saluran empedu. Iskemia mukosa lambung dan perdarahan sekunder mungkin terjadi akibat penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan vena lambung (Sudoyo, 2010).

10. Prognosis

Klasifikasi VAP adalah VAP awitan dini (terjadi dalam empat hari pertama pemberian ventilasi mekanis) dan awitan lambat (terjadi 5 hari atau lebih setelah pemberian ventilasi mekanis). Pasien VAP awitan dini prognosisnya lebih baik karena biasanya kuman masih sensitif terhadap antibiotik sedangkan VAP awitan lambat kondisi sakit pasien tampak lebih berat dan prognosisnya lebih buruk karena ada kuman patogen multidrug-resistant (MDR). Pasien VAP awitan dini dan pernah mendapat antibiotik dalam 90 hari sebelumnya, berisiko tinggi mengalami kolonisasi dan infeksi kuman MDR hingga terapinya harus dianggap sama dengan pasien VAP awitan lambat. (Kollef dkk, 2005).

B. Proses Keperawatan secara Teoritis

1. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d peningkatan produksi sekret

2. Ketidakefektifan pola nafas b.d suplay O2 tidak adekuat

3. Gangguan pertukaran gas b.d sekresi tertahan dan proses penyakit.

4. Nyeri akut b.d pemasangan pipa endotrakeal, prosedur suction dan proses infeksi

5. Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas berhubungan dengan pemasangan selang endotracheal dan penggunaan ventilator.

2. Rencana Aushan Keperawatan

Diagnosa keperawatan

Rencana keperawatan

Rasional Tindakan

Tujuan Keperawatan

Rencana Tindakan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam jalan nafas dapat kembali efektif dengan kriteria hasil:

  • Rentang nafas normal

· Tidak terjadi aspirasi

· Tidak ada dispnea

1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

2. Auskultasi suara nafas. Catat adanya suara nafas tambahan

3. Lakukan fisioterapi dada bila perlu

4. Lakukan suction pada pipa trakeostomi

5. Kolaborasi pemberian terapi untuk membantu mengencerkan sekret

1. posisi semifowler mencegah refluks dan aspirasi bakteri dari lambung ke dalam saluran napas.

2. Suara nafas tambahan menunjukkan jalan nafas yang tidak paten

3. Fisioterapi dada membantu mengalirkan secret

4. untuk mempertahankan patensi jalan napas, memudahkan penghilangan sekret jalan napas

5. membantu pengenceran sekresi agar mudah dikeluarkan

Ketidakefektifan pola nafas b.d suplay O2 tidak adekuat

setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam pasien tidak mengalami gangguan pola napas dengan kriteria hasil :

· Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, RR dalam batas normal, tidak ada suara nafas abnormal)

  • TTV dalam rentang normal

1. Monitor vital sign

2. Keluarkan secret dengan suction

3. Monitor respirasi dan ststus O2

4. observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi

5. Monitor selang / cubbing ventilator dari terlepas , terlipat, bocor atau tersumbat.

1. Mengobservasi data dasar

2. Untuk mempertahankan patensi jalan nafas

3. Respirasi dan status O2 menunjukkan keefektifan pola nafas

4. Mencegah terjadi hipoventilasi

5. Menjaga kebutuhan ventilasi

2. Gangguan pertukaran gas b.d sekresi tertahan dan proses penyakit

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x 24 jam diharapkan gangguan pertukaran gas dapat teratasi dengan kriteria hasil:

· Adanya peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat

  • Tidak terjadi sianosis pernafasan
  • Nilai AGD dalam rentang normal
  • TTV dalam rentang normal

1. Monitor respirasi dan status O2

2. Keluarkan secret dengan batuk atau suction

3. Monitor tanda hipoksia dan hiperkapnea

4. Monitor hasil Lab AGD

5. Kolaborasi pemberian terapi yang sesuai

1. Memonitor status pernafasan pasien

2. Menjaga patensi jalan nafas

3. Mencegah terjadinya hipoksia dan hiperkapnea

4. Pemeriksaan AGD untuk melihat adanya gangguan metabolic dan respiratorik

5. Terapi yang tepat untuk kesembuhan klien

4. Nyeri akut b.d pemasangan pipa endotrakeal, prosedur suction dan proses infeksi

setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x 24 jam diharapkan nyeri yang dirasakan dapat berkurang dengan kriteria hasil

· Pasien tampak nyaman setelah nyeri berkurang

· Pasien tidak mengalami kesulitan tidur

1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif

2. Observasi reakasi nonverbal dari ketidaknyamanan

3. Tingkatkan istrirahat

4. Kolaborasi pemberian analgetik yang diperlukan tergantung tipe dan beratnya nyeri

1. Untuk mengetahui skala nyeri yang dirasakan klien

2. Menilai ketidaknyamanan yang diaami klien

3. Menngurangi perasaan nyeri

4. Analgedi membantu meredakan nyeri secara farmakologis

4. Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas berhubungan dengan pemasangan pipa trakeostomi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x 24 jam diharapkan suhu tubuh pasien dapat kembali normal dengan kriteria hasil :

· Suhu tubuh dalam rentang normal (36.5-37.5 oC)

  • Tidak ada perubahan warna kulit
  • TTV dalam rentang normal

1. Monitor TTV

2. Lakukan perawatan mulut dan perawatan pipa trakeostomi

3. Observasi adanya tanda infeksi

4. Berikan kompres hangat di dahi dan axial bila ada peningkatan suhu tubuh

5. Kolaborasi pemberian antipiretik jika ada peningkatan suhu

6. Kolaborasi pemberian antibiotik jika ditemukan adanya tanda dan gejala infeksi

1. Mengetahui data dasat

2. Menegah perkembangan bakteri pathogen di mulut dan area sekitar pipa trakeostomi

3. Menilai tanda infeksi

4. Kompres hangat membantu menurunkan suhu tubuh

5. Antipiretik membantu menurunkan suhu dengan farmakologi

6. Antibiotic membantu menekan pertumbuhan kuman pathogen

DAFTAR PUSTAKA

Afjeh SA, Sabzehei MK, Karimi A, Shiva F, Shamshiri AR.(2010). Surveillance of ventilator-associated pneumonia in neonatal intensive care unit :characteristics, risk factor and outcome. Pejouhandeh (Serial on Internet) (diakses pada 13 juli 216);15(4):157-64. Available from: http://pajoohande.sbmu.ac.ir/browse.php?A_code=A-10-1-644&sid=1&slc_lang=en

Fartoukh M, Maitre B, Honore S, Cerf C, Zahar JR, Buisson CB. (2003).Diagnosing pneumonia during Mechanical ventilation. Am J Respir Crit Care Med; 168:173-9.

Hunter JD. Ventilator associated pneumonia. Postgrad Med J(Serial on Internet) (2006) (diakses pada 13 juli 2016); 82: 172-8. Available from: http://pmj.bmj.com/content/82/965/172.full

Ibrahim EH, Tracy L, Hill C, Fraser VJ, Kollef MH. The occurrence of ventilator-associated pneumonia in a community hospital. Chest (2001) ; 120:555-61. Diakses 13 Juli 2016 dari http://www. .majalahfk.uki.ac.id/assets/majalahfile/artikel/2010-01-artikel-06.pdf

Ioanas M, Ferrer R, Angrill J, Ferrer M, Torres A.( 2001) Microbial investigation in ventilatorassociated Pneumonia. Eur Respir J; 17:791-801.

Kollef MH.(2005). The prevention of ventilator associated pneumonia. N Engl J Med;340:627-34

Luna CM, Blanzaco D, Niederman MS, Matarucco W, Baredes NC, Desemery P, et al. (2003).Resolution of ventilator-associated pneumonia: prospective evaluation of the clinical pulmonary infection score as an early clinical predictor of outcome. Crit Care Med; 31:676-82. Diakses 13 juli 2016 dari http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/123/jtptunimus-gdl-dewisuprap-6104-2-babii.pdf

Niederman MS, Craven DE. (2005) Guidelines for the management of adult with hospital-acquired, ventilator associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respi Crit Care Med;171:388-416

Rozaliyani, A & Swidharmoko, B. (2010). Diagnosis dan Penatalaksanaan Ventilator-Associated Pneumonia. Majalah Kedokteran FK UKI 2010 Vol XXVII No.1

Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. (2010) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: internapublishing;p.166-74

Torres A, Ewig S. (2004) Diagnosing ventilatorassociated Pneumonia. N Engl J Med;

350:433-5.

Vincent JL, Abraham E, Kochanek P, Moore FA, Fink MP.( 2011).Textbook of Critical Care Sixth Edition. China: Elsevier Sunders;p.328-479

Wiryana M. (2007).Ventilator associated pneumonia. J Peny Dalam (Serial on Internet) (diakses pada 13 juli 216) ;8(3):254-65

Yolanda DP. (2013). Hubungan Antara Lama Penggunaan Ventilator Mekanik Dengan Kejadian Ventilator Associated Pneumonia (Vap) Pada Pasien Nonsepsis Di Icu Rsup Dr.Kariadi Semarang . Laporan Akhir Penelitian. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.


EmoticonEmoticon

About