Look at this

Tampilkan postingan dengan label laporan pendahuluan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label laporan pendahuluan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Agustus 2018

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN INFARK MIOKARD DENGAN ELEVASI ST (STEMI)

INFARK MIOKARD DENGAN ELEVASI ST (STEMI)

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi infark miokard dengan elevasi st ( Stemi)

Infark miokard akut adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah ke otot jantung (Manjoer, 2001). IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST elevation infark miocard (stemi) dan non ST-elevation infark miocard (stemi).

ST Elevasi Miokard Infark (stemi) merupakan rusaknya bagian otot jantung secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif maupun dipengaruhi oleh banyak faktor dengan tanda nyeri dada, peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG. Gambaran EKG pada Stemi menggambarkan tersumbatnya aliran darah, otot jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati /nekrosis (Smeltzer & Bare, 2002).

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (stemi) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intevensi koroner perkutan primer (PERKI, 2014; dalam Ongko & Indrianti, 2014).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa stemi merupakan infark pada jantung yang diakibatkan tersumbatnya arteri coronaria yang memperdarahi jantung karena ateresklerosis. Infark ini ditandai dengan perubahan segmen ST pada EKG, yaitu elevasi.

2. Etiologi STEMI

Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya ruptur , penyumbatan total atau sebagian oleh emboli dan atau thrombus. Terdapat faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA, (Kumat, et al, 2007) diantaranya;

a. Faktor yang dapat dirubah;

1) Hiperlipidemia

Peningkatan kolestrerol dan/atau trigliserida serum di atas batas normal. Kadar kolesterol di atas 180 mg/dl beresiko penyakit arteri koronaria, dan lebih cepat terjadi jika kadarnya melebihi 240 mg/dl.

2) Hipertensi

Hipertensi dapat beresiko IMA sekitar 60 %.

3) Merokok

Penggunaan rokok dalam jangka waktu yang lama meningkatkan kematian karena IHD sekitar 200 %. Berhenti merokok dapat menurunkan resiko secara substansial.

4) Diabetes melitus

Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada seseorang yang menderita diabetes daripada tidak.

5) Stress psikologik. Stress menyebabkan peningkatan katekolamin yan g bersifat aterogenik.

b. Faktor yang tidak dapat dirubah;

1) Usia

Akumulasi plak merupakan proses yang progressif, manifestasi klinis tidak akan muncul sampai lesi mencapai ambang kritis, dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada usia menengah maupun usia lanjut. Pada usia 40-60 tahun , insidens IMA meningkat lima kali lipat.

2) Jenis kelamin

IMA jarang ditemukan pada wanita premenopause, kecuali jika diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause insiden plak meningkat lebih besar, karena pengaruh hormon estrogen.

3) RAS

Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit putih.

4) Riwayat Keluarga

c. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard, disebabkan tiga faktor;

1) Pembuluh darah

Berkaitan dnegan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan darha mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal yang mempengaruhi kepatenan pembuluh darah yaitu; athelerosclerosis, spasme, arteritis.

2) Spasme pembuluh darah

Dipengaruhi pengkonsumsian obat-obatan tertentu, stress emosional atau nyeri, terpapar suhu dingin yang ekstrim, dan merokok.

3) Sirkulasi

Berkaitan dengan faktor pemompaan dan volume darah yang dipompakan, stenosis atau insufisiensi yang terjadi pada beberapa bagian katup jantung menyebabkan suplasi oksigen tidak adekuat.

4) Darah

Jika daya angkut darah berkurang, maka suplai oksigen tetap tidak cukup walaupun pembuluh darah dan pemompaan jantung bagus.

d. Meningkatnya kebutuhan oksigen

Pada orang yang mengidap penyakit jantung, mekanisme kompensasi (meningkatnya denyut jantung untuk meningkatkan COP saat meningkatnya kebutuhan oksigen) dapat memicu terjadinya infark, karena kebutuhan oksigen meningkat sedangkan suplay oksigen tidak bertambah. Hipertrofi miokard dapat memicu terjadinya infark, karen apemompaan jantung tidak efektif.

3. Patofisiologi infark miokard dengan elevasi st (stemi).

STEMI terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vaskuler.

Faktor penyebab kerusakan ini, seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. STEMI terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur dan terbentuklah trombus, sehingga terjadi oklusi pada arteri koroner arteri koroner sering kali mengalami thrombus yang terdiri dari agregat platelet, dan benang-benang fibrin. Pada sebagian kecil kasusnya, penyebab lain dari STEMI yaitukarena emboli arteri koroner, abnormalitas congenital, spasme coroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama inflasmasi (Zainal, 2008)

4. Manifestasi Klinik STEMI

TRIAS INFARK MIOKARD (Wagyu, 2010)

a. Nyeri dalam dan visceral seperti diremas, ditusuk, atau terbakar dan terjadi pada saat istirahat, lebih berat dan berlangsung lebih lama. Nyeri pada bagian tengah dada dan/atau epigastrium dan menyebar ke daerah lengan. Nyeri disertai kelemahan, berkeringat, mual, muntah, sesak nafas, pucat, dingin, dan ansietas. Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat.

b. Laboratorium

Pemeriksaan enzim jantung

- Peningkatan troponin.

- CPK-MB/CPK. Isoenzim ditemukan pada otot jantung meningkat antara 4-6 jam, memuncak dalam 12-24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam.

- LDH meningkat dalam 12-24 jam

- AST/SGOT meningkat dalam 6-12 jam

c. EKG

Kelainan pada lead.

Lead II, III, aVF : infark inferior

Lead V1-V3 : infark anteroseptal

Lead V2-V4 : infark anterior

Lead I, aVL, V5-V6 : infark anterolateral

Lead I, aVL : infark high lateral

Lead I, aVL, V1-V6 : infark anterolateral luas

Lead II,III,aVF, V5-V6: infark inferolateral

Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu

5. Diagnosa Medis

Menurut Yamin (2010) diagnosa medis dapat ditegakkan , jika ;

ü Pada EKG terdapat elevasi segmen T diikuti perubahan sampai inversi gelombang T, kemudian muncul peningkatan gelombang Q minimal 2 sadapan.

ü Peningkatan kadar enzim atau isoenzim : CPK/CK, SGOT, Laktat Dehidrogenase (LDH), troponin T, CPK MP, CKMB.

ü Nyeri dada / terjadi serangan jantung pada saat istirahat

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosa STEMI (Kumat, 2007) yaitu ;

a. ECG

Adanya elevasi segmen ST

b. Serum cardiac biomarker

Biomarker cardiac dapat dideteksi pada darah perifer. Ketika kapasitas limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari infark berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.

c. Cardiac imaging

Endocardiography

Ditemukan abnormalitas pergerakan dinding two-dimential endocardiogrphy

High resolution MRI

Angiography

Visualisasi langsung arteri koroner dengan diagnostik invasif berupa kateterisasi jantung

d. Indeks non spesifik

7. Komplikasi

Jika tidak diatasi dengan segera, maka stemi dapat menimbulkan kerusakan yang lebih parah lagi pada jantung (Kumat, 2007), diantaranya;

a. Disfungis ventrikel

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubaban bentuk, ukuran, ketebalan, baik pada segmen yang infark maupun non infark.

b. Pump Failure

Tanda klinis yang sering dijumpai yaitu ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop.

c. Aritmia

Infark meliputi ketidakseimbangan sistem syaraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit, iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.

d. Gagal jantung kongestif

Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menyebabkan kongesti vena pulmonalis, sedangka disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan menimbulkan kongesti vena sistemik.

e. Syok kardiogenik

Akibat disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang masif.

f. Edema paru akut

Timbunan cairan abnormal di dalam rongga interstisial dan alveoli. Akibatnya paru menjadi kaku, tidak dapat mengembang, dan udara tidak dapat masuk, sehingga terjadi hipoksia berat

g. Disfungsi otot papilaris

Diafungsi iskemik otot papilaris akan mengganggu fungsi katup mitralis, sehingga terjadi eversi daun katup selama sistolik.

h. Defek septum ventrikel

Nekrosis sistem intraventrikuler dapat menyebabkan ruptur dinding septum sehingga terjadi defek septum ventrikel.

i. Ruptur jantung

Ruptur jantung terjadi saat pembuangan nekrotik sebelum pembentukan jaringan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehigga terjadi perdarahan masif. Kantong pericardium penuh terisi darah, dan menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung.

j. Aneurisma ventrikel.

Terjadi pada anterior atau apeks jantung. Aneurisme ventrikel mengembang saat sistolik, dan teregang pasif oleh sebagian curah sekuncup.

k. Tromboembolisme

Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar, dan akan menjadi thrombus. Pecahan thrombus mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik.

l. perikarditis

Efek infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung berkontak dan menjadi kasar, sehingga terjadi reaksi peradangan di permukaan pericardium .

8. Penatalaksanaan Keperawatan

Penatalaksanaan keperawatan untuk penyakit jantung dapat ditinjau dari aktivitas, diet, dan bowel pasien (Yamin, 2010).

- Aktivitas.

Pasien dengan STEMI harus istirahat di tempat tidur 12 jam pertama, jika tidak terjadi komplikasi, maka pasien harus didukung untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantungkan salah satu kaki di sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam pertama.

- Diet.

Hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun 4-12 jam pertama. Asupan nutrisi harus mengandung kolesterol lebih kurang 300 mg/dl.

- Bowel.

Bedrest dan pemberian terapi obat narkotik dapat membuat pasien konstipasi. Laksatif dapat diberikan jika konstipasi.

9. Penatalaksanaan Medis

Farmakoterapi untuk infark miokard dengan st elevasi (Kumat, 2007) yaitu ;

a. Nitrogliserin.

b. Morfin

c. Aspirin

d. Beta adrenoreceptor blocker

e. Terapi reperfusi

10. Prognosis

Tiga faktor penting yang menentukan indeks prognosis yaitu potensi terjadinya aritmia yang gawat, potensi serangan iskemia lebih jauh, dan potensi pemburukan gangguan hemodinamik lebih jauh (Mansjoer, et al, 2001)

B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian

a. Pengkajian Primer

- Airways: sumbatan atau penumpukan sekret, wheezing atau crackel.

- Breathing: sesak dengan aktivitas ringan atau istirahat, RR, irama, suara nafas tambahan, ekspansi.

- Circulation: HR, edema, CRT, akral dingin, output urine menurun

b. Pengkajian sekunder

- Aktivitas

- Sirkulasi

- Integritas ego

- Eliminasi

- Makanan atau cairan

- Hygiene

- Neurosensori

- Nyeri atau ketidaknyamanan

- Pernafasan

- Interaksi sosial

c. Pengkajian fisik

- Tingkat kesadaran

- Nyeri dada

- Frekuensi dan irama jantung :Disritmia dapat menunjukkan tidak

adekuatnya suplai oksigen ke dalam miokard.

- Bunyi jantung :S3 dapat menjadi tanda dini ancaman gagal jantung

- Tekanan darah

Untuk menentukan respon nyeri dan pengobatan, tekanan nadi, yang akan menyempit setelah serangan miokard infark

- Nadi perifer :Kaji frekuensi, irama, dan volume

- Warna dan suhu kulit

- Paru-Paru :Auskultasi bidang paru

- Fungsi gastrointestinal

- Kebutuhan volume cairan

Haluaran urin, periksa adanya edema, adanya tanda dini syok kardiogenik merupakan hipotensi dengan oliguria.

2. Diagnosa Keperawatan

1) Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri koroner.

2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal, kelebihan cairan dalam alveoli

3) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, konduksi, penurunan pre load, infark pada otot jantung, dan kerusakan struktural.

4) Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah ke jaringan

5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia, efek obat depresan jantung.

6) ketidakseimbangan pemenuhan nutrisi berhubungan hepatomegali.

7) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan perfusi ginjal; peningkatan natrium/retensi air; peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma


3. Intervensi Keperawatan

No

Diagnosa

Tujuan

Intervensi

Rasionalisasi

1

Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan terhadap oklusi arteri koroner

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 24 jam, diharapkan nyeri pasien berkurang, dengan kriteria hasil;

- Pasien melaporkan nyeri dada berkurang

- Skala nyeri berkurang atau hilang

- Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi

- Klien tampak rileks

- Kaji nyeri pasien secara komprehensif ; PQRST

- Berikan istirahat fisik dengan punggung ditinggikan (semifowler)

- Ajarkan dan bantu pasien untuk relaksasi nafas dalam

- Periksa tanda-tanda vital pasien sebelum dan sesudah pemberian obat narkotik

- Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antiangina, stenolol, prefarat analgesik

- Kolaborasi pemberian terapi oksigen

- Data tersebut membantu menentukan penyebab, durasi, dan lokasi nyeri

- Untuk mengurangi rasa tidak nyaman dan dispnea, istirahat fisik juga dapat mengurangi konsumsi oksigen jantung

- Teknik relaksasi dapat membantu mengurangi nyeri

- Hipotensi/depresi pernafasan dapat terjadi sebagai akibat pemberian narkotik, hal ini dapat meningkatkan kerusakan miokardia

- Farmakologi untuk mengurangi dan mengontrol nyeri melalui efek vasodilatasi koroner, efek hambatan rangsang simpatik, dan memberikan sedasi

- Pemberian terapi oksigen untuk memulihkan otot jantung, melalui pemenuhan suplai oksigen dalam sirkulasi darah ke jantung dan/atau dari jantung.

2

Penurunan curah jantung berhubungan dengan infark pada jantung, penurunan pre-load/peningkatan tahanan vaskuler sistemik

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam, diharapkan curah jantung adekuat, dengan kriteria hasil;

- TD, HR, RR, cardiac output dalam batas normal

- Haluaran urin adekuat

- Tidak ada disritmia

- Penurunan dispnea

- Peningkatan toleransi aktivitas

- Tidak terdapat edema

- Tidak ada penurunan kesadaran

- Pantau frekuensi jantung, TD

- Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac output

- Monitor balance cairan

- Evaluasi adanya bunyi jantung S3,S4

- Auskultasi bunyi nafas

- Berikan makanan porsi kecil dan mudah dikunyah

- Kolaborasi pemberian terapi oksigen

- Pertahankan cairan IV

- Kaji ulang EKG

- Pantau laboratorium

- Tingkatkan istirahat pasien

- Untuk mengetahui adanya perubahan TTV, untuk menentukan intervensi selanjutnya.

- Indikasi untuk menilai cardiac outpun

- Untuk mengetahui haluaran urin

- Untuk mengetahui adanya komplikasi pada GJK untuk S3, dan iskemia miokard lada S4.

- Untuk mengetahui adanya kongesti paru akibat penurunan fungsi miokard

- Untuk menghindari kerja miokardia, bradikardia, dan pengingkatan frekuensi jantung.

- Untuk memenuhi kebutuhan miokard, menurunkan iskemia

- Jalur yang paten untuk pemberian obat darurat pada disritmia

- Menunjukkan perbaikan/kemajuan infark, fungsi ventrikel, dan efek terapi obat

- Mengetahui perbaikan infark

- Meminimalkan fungsi metabolisme tubuh

3

Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, diharapkan perfusi jaringan kembali efektif, dengan kriteria hasil;

- Tekanan darah dalam batas normal (120/70 mmHg)

- Kesadaran: composmentis

- Tidak edema dan nyeri

- Konjungtivas merah muda

- Tidak terdapat sianosis

- Observasi adanya perubahan tingkat kesadaran

- Observasi adanya pucat, sianosis.

- Monitor TD, HR, dan CRT

- Observasi adanya edema

- Anjurkan klien untuk latihan kaki aktif/pasif

- Kolaborasi pemberian terapi oksigen

- Untuk mengetahui adanya penurunan curah jantung

- Mengkaji tanda-tanda penurunan suplay oksigen ke jaringan perifer

- Mengkaji status sirkuasi

- Edema menunjukkan adanya tormbosis vena dalam

- Menurunkan stassi vena, meningkatkan alirna balik vena dan menurunkan resiko tormbosis.

- Memenuhi suplay oksigen ke jaringan

4

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard, efek obat depresan jantung

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, diharapkan pasien dapat menunjukkan peningkatan toleransi aktivitas, dengan kriteria hasil;

- TD, RR, dan HR dalam batas normal

- Pasien dapat beraktivitas mandiri

- Status kardiopulmonar adekuat

- Pantau frekuensi, irama, dan perubahan TD selama beraktivitas

- Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas pada dasar nyeri

- Anjurkan pasien untuk tidak mengejan saat defekasi atau saat ingin muntah

- Anjurkan dan bantu pasien untuk miring kanan dan miring kiri

- Anjurkan kaluarga untuk mendampingi / membantu pasien dalam beraktivitas

- Untuk menentukan tingkat aktivitas pasien

- Menurunkan kerja miokard, sehingga menurunkan resiko komplikasi

- Mengejan dapat mengakibatkan manuver valsava sehingga terjadi bradikardi, menurunnya curah jantung, takikardi, dan peningkatan tekanan darah

- Miring kiri miring kanan dapat membantu pasien bergerak minimal, dan dapat mencegah dekubitus pada daerah yang tertekan karena bedrest.

- Bantuan keluarga dapat mengurangi aktivitas pasien yang dapat meningkatkan HR, TD, dan RR pasien

5

Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan efusi pleura dan terdesaknya diafragma akibat hepatomegali

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x 24 jam diharapkan pola nafas pasien kembali efektif, dengan kriteria hasil;

- Pasien tidak sesak

- Penggunaan O2 (+)

- TD, HR, RR dalam batas normal.

- Menunjukkan jalan nafas yang paten

- Anjurkan dan ajarkan posisi semi fowler

- Monitor RR, suara paru dan status O2

- Berikan terapi oksigen

- Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam

- Meningkatkan ekspansi paru-paru dan memaksimalkan ventilasi

- Mengidentifikasi kepatenan jalan nafas dan keperluan tambahan oksigen

- Penambahan suplai oksigen

- Melatih nafas pasien

6

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan nutrisi pasien dapat terpenuhi, dengan kriteria hasil;

- Hasil lab Elektrolit dalam keadaan normal

- Pasien mengatakan nafsu makan meningkat

- Pasien melaporkan mual muntah berkurang

- Pantau nilai laboratorium, khususnya transferin, albumin, dan elektrolit (jika ada)

- Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet pasien jantung

- Anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering

- Kolaborasi injeksi farmakologi dalam mengatasi mual muntah

- Pantau intake dan outtake pasien

- Pantau IWL pasien

- Untuk melihat indikasi ketidakseimbangan nutrisi

- Menentukan diet cair yang tepat untuk pasien jantung/

- Mencukupi asupan pasien, walaupun mual muntah

- Efektif dalam mengatasi mual muntah

- Memantau masukan dan keluaran

- Memantau keseimbangan cairan

7

Kelebihan volume cairan b/d penurunan perfusi ginjal; peningkatan natrium/retensi air; peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan kelebihan volume cairan pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil;

- Tidak adanya edema

- Nilai kalium dalam batas normal

- Auskultasi bunyi napas terhadap adanya krekels.

-

- Pantau adanya DVJ dan edema anasarka

- Hitung keseimbangan cairan dan timbang berat badan setiap hari bila tidak kontraindikasi.

- Pertahankan asupan cairan total 2000 ml/24 jam dalam batas toleransi kardiovaskuler.

- Kolaborasi pemberian diet rendah natrium.

- Kolaborasi pemberian diuretik sesuai indikasi (Furosemid/Lasix, Hidralazin/ Apresoline, Spironlakton/ Hidronolak-ton/Aldactone)

- Pantau kadar kalium sesuai indikasi

- Indikasi terjadinya edema paru sekunder akibat dekompensasi jantung.

- Dicurigai adanya GJK atau kelebihan volume cairan (overhidrasi)

- Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air dan penurunan haluaran urine. Keseimbangan cairan positif yang ditunjang gejala lain (peningkatan BB yang tiba-tiba) menunjukkan kelebihan volume cairan/gagal jantung.

- Memenuhi kebutuhan cairan tubuh orang dewasa tetapi tetap disesuaikan dengan adanya dekompensasi jantung.

- Natrium mengakibatkan retensi cairan sehingga harus dibatasi.

- Diuretik mungkin diperlukan untuk mengoreksi kelebihan volume cairan.

- Hipokalemia dapat terjadi pada terapi diuretik yang juga meningkatkan pengeluaran kalium

Faktor pencetus

PATHWAY STEMI










Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan



DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2008. Faktor risiko penyakit jantung koroner pada pasien rawat inap di cardiovascular care unit (CVCU) Cardiac Centre RSUPDr.Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Januari – Juli 2008. Jurnal. Universitas Hasanudin Makasa

Wagyu, Edward Augus.2010. Gambaran Pasien Infark Miokard Dengan Elevasi St (Stemi) Yang Dirawat Di Blu Rsup Prof. Dr. Rd Kandou Manado Periode Januari … 2010 Sampai Desember 2010. Jurnal E-Clinic. Vol 1. No 3 (2013)

Yamin, Muhammad. 2010. Tatalaksana Terkini Sindroma Koroner Akut Fokus Pada Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST. Jurnal. Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSP Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan.Jakarta:EGC

Kowalak, Welsh.2002. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Kumat, Abbas dkk (2007). Robin’s Basic Pathology. Elsevier. Inc

Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid . jogjakarta : Mediaction.

Syaifuddin. 2011. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Salemba Medika

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN PULMONARY EDEMA

PULMONARY EDEMA (EDEMA PARU)

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi Edema Paru

Edema paru merupakan terkumpulnya cairan secara patologi di ekstravaskular dalam paru Edema paru terjadi dikarenakan aliran cairan dari pembuluh darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema paru terjadi ketika cairan yang disaring ke paru lebih cepat dari cairan yang dipindahkan. Penumpukan cairan menjadi masalah serius bagi fungsi paru karena efisiensi perpindahan gas di alveoli tidak bisa terjadi. Struktur paru dapat menyesuaikan bentuk edema dan yang mengatur perpindahan cairan dan protein di paru menjadi masalah yang klasik (Muttaqin, 2001).

Edema paru merupakan kondisi penumpukan cairan di dalam paru-paru, baik dalam spasium interstisial atau dalam alveoli (Baughman, 2000)

Edema paru disebabkan karena akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Penentuan penyebab terkumpunya cairan tersebut perlu diketahui sebagai pedoman pengobatan.(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006).

Jadi, dapat disimpulkan edema paru merupakan kondisi patologi karena penumpukan cairan dalam parenkim paru, hal ini dapat diakibatkan gangguan kardiogenik maupun non kardiogenik. Adapun peningkatan tekanan edema paru disebabkan oleh meningkatnya keseimbangan kekuatan yang mendorong filtrasi cairan di paru..

2. Etiologi Edema Paru

Ada beberapa penyebab terjadinya edema paru (Fernando, 2010), diantaranya;

Akibat ketidak-seimbangan Starling Forces :

a. Peningkatan tekanan kapiler paru :

- Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis

- mitral).

- Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.

- Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria

- pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).

b. Penurunan tekanan onkotik plasma.

- Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday,

- penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.

c. Peningkatan tekanan negatif intersisial :

- Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).

- Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).

d. Peningkatan tekanan onkotik intersisial. Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.

Akibat perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress

Syndrome)

a. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).

b. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap TeflonR, NO2, dsb).

c. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl

thiourea).

d. Aspirasi asam lambung.

e. Pneumonitis radiasi akut.

f. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).

g. Disseminated Intravascular Coagulation.

h. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.

i. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.

j. Pankreatitis Perdarahan Akut.

Akibat Insufisiensi Limfatik :

a. Post Lung Transplant.

b. Lymphangitic Carcinomatosis.

c. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).

Penyebab yang tidak diketahui/tak jelas

a. High Altitude Pulmonary Edema.

b. Neurogenic Pulmonary Edema.

c. Narcotic overdose.

d. Pulmonary embolism.

e. Eclampsia

f. Post Cardioversion.

g. Post Anesthesia.

h. Post Cardiopulmonary Bypass.

3. Patofisiologi Edema Paru

Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air dalam paru-paru” ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema. (Fernando, 2010).

Edema paru timbul jika cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler lebih banyak dari pada cairan yang dapat dikeluarkan. Akumulasi cairan ini akan berakibat serius pada fungsi paru oleh karena tidak mungkin terjadi pertukaran gas apabila alveoli penuh terisi cairan. Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi suatu aliran keluar yang kontinyu dari cairan dan protein dalam pembuluh darah ke jaringan interstisial dan kembali ke sistem aliran darah melalui saluran limfe. ( Flick, 2000; Alpert 2002; dalam Nendrastuti & Soetomo, 2010)

Mekanisme yang menjaga agar jaringan interstisial tetap kering adalah; tekanan onkotik plasma lebih tinggi dari tekanan hidrostatik kapiler paru, jaringan konektif dan barier seluler relatif tidak permeabel terhadap protein plasma, adanya sistem limfatik yang secara ekstensif mengeluarkan cairan dari jaringan interstisial. Pada individu normal tekanan kapiler pulmonal (“wedge” pressure) adalah sekitar 7 dan 12 mm Hg. Karena tekanan onkotik plasma berkisar antara 25 mm Hg, maka tekanan ini akan mendorong cairan kembali ke dalam kapiler. Tekanan hidrostatik bekerja melewati jaringan konektif dan barier seluler, yang dalam keadaan normal bersifat relatif tidak permeabel terhadap protein plasma.

Paru mempunyai sistem limfatik yang secara ekstensif dapat meningkatkan aliran 5 atau 6 kali bila terjadi kelebihan air di dalam jaringan interstisial paru. Edema paru akan terjadi bila mekanisme normal untuk menjaga paru tetap kering terganggu seperti ( Flick, 2000; Alpert 2002; dalam Nendrastuti & Soetomo, 2010): permeabilitas membran yang berubah, tekanan hidrostatik mikrovaskuler yang meningkat, tekanan peri mikrovaskuler yang menurun, tekanan osmotik / onkotik mikrovaskuler yang menurun, tekanan osmotik / onkotik peri mikrovaskuler, yang meningkat, gangguan saluran limfe.

4. Klasifikasi dan Manifestasi Klinik Edema Paru

Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2 (Fernando, 2010), kardiogenik dan non-kardiogenik.

a. Cardiogenic pulmonary edema

Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa. Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk. Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit atau kelemahan dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung yang abnormal dapat menjurus pada akumulasi dari lebih dari jumlah darah yang biasa dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Ini dapat, pada gilirannya, menyebabkan cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan membesar.

b. Non-cardiogenic pulmonary edema

Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal berikut:

1. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.

2. kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru.

3. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.

4. High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.

5. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.

6. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema).

7. Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin menyebabkan pulmonary edema.

8. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia pada wanita-wanita hamil.

Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium (Nendrastuti & Soetomo, 2010) yaitu,

a. Stadium I

Pada keadaan ini terjadi peningkatan jumlah cairan dan koloid di ruang interstitial yang berasal dari kapiler paru. Celah pada endotel kapiler paru mulai melebar akibat peningkatan tekanan hidrostatik atau efek zatzat toksik. Meskipun filtrasi sudah meningkat, namun belum tampak peningkatan cairan di ruang interstitial.

b. Stadium 2

kapasitas limfatik untuk mengalirkan kelebihan cairan sudah melampaui batas sehingga cairan mulai terkumpul di ruang interstisial dan mengelilingi bronkioli dan vaskuler paru. Bila cairan terus bertambah akan menyebabkan membran alveoli menyempit..

c. Stadium 3

Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. pada stadium ini peningkatan filtrasi cairan dan tekanan di ruang interstitial dan peribronchovaskular sheat semakin tinggi,Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati. Edema Pam yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru. Kadang kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.

5. Diagnosa Medis

Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan non- kardiogenik mempunyai beberapa kemiripan. Edema inter- sisial menyebabkan sesak dan takipne. Alveolus yang penuh cairan menyebabkan hipoksemia arteri dan dapat disertai batuk dan sputum kemerahan ( frothy).

    1. Anamnesis

Anamnesis dapat menjadi petunjuk kearah kausa edema paru, misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan CHF.

    1. Pemeriksaan fi sik

Terdapat takipnu, ortopnu (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi, akral dingin dengan sianosis, menggunakan otot bantu nafas, frophy sputum, ronki basah dan terdapat wheezing. Khususnya pada edema paru kardiogenik terdapat JVP meningkat, gallop, bunyi jantung 3 dan 4 dan terdapat edema perifer.

    1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang relevant diperlukan untuk mengkaji etiologi edema paru. Pemeriksaan tersebut meliputi diantaranya pemeriksaan hematologi (complete blood count), fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein,urinalisa, analisa gas darah, troponin I dan Brain Natriuretic peptide (BNP). Brain Natriuticc Peptide (BNP) dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan dengan PAOP, LEVEDP dan LVEF . Khususnya pada pasien gagal jantung menggunakan pro BNP dengan nilai 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifi sitas 93%.1.Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure. 2 Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis ru! n untuk menegakkan CHF berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi CHF Eropa dan Amerika ( AHA Guidelines). Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro BNP/ BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya.

    1. Rontgent Paru

Gambaran rontgent paru dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik dari edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifi sitas rontgent paru, seperti, rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film.

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosa edema paru (Muttaqin, 2001), antara lain;

a. Ekhokardiography

b. Elektrokardiografi

c. Kateterisasi pulmonal

d. Rontgen paru

e. laboratorium

Perbedaan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non Kardiak (EPNK)

EPK

EPNK

Anamnesis

Acute cardiac event

(+)

Jarang

Penemuan Klinis

Perifer

S3 gallop/kardiomegali

JVP

Ronki

Dingin (low flow state)

(+)

Meningkat

Basah

Hangat (high flow meter)

Nadi kuat

(-)

Tak meningkat

Kering

Tanda penyakit dasar

Laboratorium

EKG

Foto toraks

ENzim kardiak

PCWP

Shunt intra pulmoner

Protein cairan edema

Iskemia/infark

DIstribusi perihiler

Bisa meningkat

> 18 mmHg

Sedikit

< 0.5

Biasanya normal

Distribusi perifer

Biasanya normal

< 18 mmHg

Hebat

> 0.7

JVP: jugular venous pressure

PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure

(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)

7. Komplikasi

Pada pasien dengan edema paru sangat beresiko terjadinya gagal nafas jika tidak dilakukan penatalaksanaan tepat. Hal ini dikarenanakan akumulasi cairan pada alveoli yang menyebabkan ketidakmampuan paru untuk melakukan pertukaran gas O2 dan CO2 secara adekuat, sehingga mengakibatkan pasokan oksigen ke jaringan paru menjadi sedikit.

8. Penatalaksanaan Keperawatan

Penatalaksanaan keperawatan untuk penyakit edema paru dapat ditinjau dari diet dan terapi supportif pasien, diantaranya

a. Letakkan pasien dalam posisi duduk sehingga meningkatkan volume dan kapasitas vital paru, mengurangi usaha otot pernafasan, dan menurunkan aliran darah vena balik ke jantung.

b. Sungkup O2 dengan dosis 6-10 L/menit diberikan bersamaan dengan pemasangan jalur IV dan monitor EKG (O, I, M). Nonrebreather mask with reservoir O2 dapat menyalurkan 90-100% O2.

c. Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi walaupun saturasi O2 kurang akurat karena terjadi penurunan perfusi perifer. Oleh karena itu, dianjurkan melakukan pemeriksaan analisis gas darah untuk mengetahui ventilasi dan asam basa.

d. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG]

e. Kolaborasi dengan tim medis tentang pemberian terapi farmakologi, terapi cairan, dan diet rendah garam.

9. Penatalaksanaan Medis

Pada edema paru terjadi peningkatan tekanan, dilakukannya terapi bertujuan untuk mengurangi tekanan hidrostatik yang menyebabkan edema tersebut. Prinsip dasar pengelolaannya adalah tirah baring, oksigenasi yang adekuat, pembatasan garam dalam diet. Obat-obatan yang dapat dipakai adalah vasodilator, diuretik, dan obat-obatan inotropik. Terapi medis pada edema paru juga bertujuan menghilangkan faktor penyebab perlukaan paru. (Muttaqin, 2001)

Jika kondisi pasien memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.

Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari). Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.

Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel / corda tendinae (Santoso Karo et al, 2008)

10. Prognosis

Prognosis tergantung pada penyakit dasar dan faktor penyebab/pencetus yang dapat diobati. Walaupun banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui mekanisme terjadinya edema paru nonkardiogenik akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru, perbaikan , pengobatan, dan teknik ventilator tetapi angka mortalitas pasien masih cukup tinggi yaitu > 50%. Beberapa pasien yang bertahan hidup akan didapatkan fibrosis pada parunya dan disfungsi pada proses difusi gas/udara. Sebagian pasien dapat pulih kembali dengan cukup baik walaupun setelah sakit berat dan perawatan ICU yang lama (Huldani,2014)

B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian

(Fernando, 2010)

a) Umur:

Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa muda

b) Riwayat masuk:

Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien

c) Riwayat penyakit dahulu:

Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien.

d) Pemeriksaan fisik

1. Sistem Integumen

Subyektif: -

Obyektif: kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan

2. Sistem Pulmonal

Subyektif : sesak nafas, dada tertekan

Obyektif: pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru,

3. Sistem Cardiovaskuler

Subyektif: sakit dada

Obyektif: denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan

4. Sistem Neurosensori

Subyektif: gelisah, penurunan kesadaran, kejang

Obyektif: GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi

5. Sistem Musculoskeletal

Subyektif : lemah, cepat lelah

Obyektif: tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot aksesoris pernafasan

6. Sistem genitourinaria

Subyektif : -

Obyektif : produksi urine menurun/normal,

7. Sistem digestif

Subyektif : mual, kadang muntah

Obyektif : konsistensi feses normal/diare

e) Studi Laboratorik :

1. Hb : menurun/normal

2. Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar karbon darah meningkat/normal

3. Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal

2. Diagnosa Keperawatan (Nurarif & Kusuma, 2015)

1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar gangguan aliran udara ke alveoli atau ke bagian utama paru akibat edema paru

2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan menurunnya kemampuan batuk efektif, akumulasi sekret

3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema pulmonal

4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring/imobilisasi


3. Intervensi Keperawatan

(Nurarif & Kusuma, 2015)

No

Diagnosa

Tujuan

Intervensi

Rasionalisasi

1

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar gangguan aliran udara ke alveoli atau ke bagian utama paru akibat edema paru

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 × 24 jam, diharapkan fungsi pertukaran gas kembali efektif, dengan kriteria hasil:

- Tidak terjadi sianosis

- Tidak sesak

- RR normal (16-20 × / menit)

- BGA normal:

î partial pressure of oxygen (PaO2): 75-100 mm Hg

î partial pressure of carbon dioxide (PaCO2): 35-45 mm Hg

î oxygen content (O2CT): 15-23%

î oxygen saturation (SaO2): 94-100%

î bicarbonate (HCO3): 22-26 mEq/liter

î pH: 7.35-7.45

- Berikan HE pada pasien tentang penyakitnya

- Atur posisi pasien semi fowler

- Bantu pasien untuk melakukan reposisi secara sering

- Berikan terapi oksigenasi

- Observasi tanda – tanda vital

- Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan pengobatan

- Informasi yang adekuat dapat membawa pasien lebih kooperatif dalam memberikan terapi

- Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancer

- Posisi yang berbeda menurunkan resiko perlukaan akibat imobilisasi

- Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia

- Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.

- Pengobatan yang diberikan berdasar indikasi sangat membantu dalam proses terapi keperawatan

2

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan menurunnya kemampuan batuk efektif, akumulasi sekret

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam, diharapkan kebersihan jalan nafas kembali efektif, dengan kriteria hasil;

- Klien mampu melakukan batuk efektif

- RR klien normal (16-20 x/menit)

- Tidak menggunakan alat bantu nafas

- Bunyi nfas normal (vesikuler)

- Tidak adanya tarikan dinding dada

- Kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan, pergerakan)

- Kaji kemampuan klien mengeluarkan sekret

- Berikan posisi semifowler/fowler

- Bantu klien nafas dalam dan batuk efektif

- Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500ml/hari

- Kolaborasi pemberian terapi mukotik, bronkodilator, dan kortikosteroid

- Kolaborasi dalam penghisapan sekret (suction)

- Penurunan bunyi nafas menunjukkan atelektasis, ronchii mneunjukkan penumpukan sekret, dan ketidakefektifan pengeluaran sekret yang dapat menimbulkan penggunaan otot bantu nafas

- Pengeluaran akan sulit bila sekret kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat)

- Posisi semifowler dapat memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya bernafas

- Nafas dalam dan batuk efektif dapat membantu mengeluarkan sekret

- Intake cairan dapat membantu mengencerkan sekret, sehingga mudah dikeluarkan

- Agen mukotik dapat mengencerkan sekret par, bronkodilator dapat meningkatkan diameter lumern percabangan trakeobronkhial, sehingga dapat menurunkan tekanan terhadap aliran udara. Kortikosteroid dapat mengatasi hipoksemia

- Suction dilakukan jika klien tidak mampu mengeluarkan sekret sendiri, dapat mencegah obstruksi dan aspirasi

3

Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ketidakadekuatan pertukaran gas

setelah diberikan asuhan keperawatan selama 5 x 24 jam pasien tidak mengalami gangguan pola napas dengan kriteria hasil :

· Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, RR dalam batas normal, tidak ada suara nafas abnormal)

  • TTV dalam rentang normal

- Monitor vital sign

- Keluarkan secret dengan suction

- Monitor respirasi dan ststus O2

- observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi

- Monitor selang / cubbing ventilator dari terlepas , terlipat, bocor atau tersumbat.

- Mengobservasi data dasar

- Untuk mempertahankan patensi jalan nafas

- Respirasi dan status O2 menunjukkan keefektifan pola nafas

- Mencegah terjadi hipoventilasi

- Menjaga kebutuhan ventilasi

Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke otak

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 5 x 24 jam, diharapkan perfusi jaringan cerebral klien kembali efektif, dengan kriteria hasil:

- Rentang sistol/diastol dalam batas normal

- Tidak ada peningkatan tekanan intra kranial (tidak lebih dari 15 mmHg)

- Tidak gelisah

- Kemampuan motorik kasar meningkat

- Tingkat kesadaran meningkat

- Hasil CT-SCAN menunjukkan tidak adanya peningkatan luas infark cerebral

- Pantau/catat status neurologis

- Pantau tekanan darah

- Pantau status pernafasan

- Evaluasi keadaan pupil

- Kaji letak/gerakan mata

- Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah atau pada posisi netral, ketinggian kepala (15-45 0)

- Kolaborasi pemberian obat sedasi

- Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK

- Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti penurunan tekanan darah diastolik (nadi yang membesar) menandakan terjadinya peningkatan TIK

- Nafas yang tidak teratur dapat menunjukkan lokasi adanya gangguan cerebral/peningkatan TIK

- Reksi pupil diatur oleh syaraf kranial okulomotor (III) dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik.

- Posisi dan gerakan mata membantu menenmukan lokasi area otak yang terlibat . tand aawal dari peningkatan TIK adalah kegagalan dalam abduksi mata, mengindikasikan penekanan / trauma pada syaraf kranial V. Hilangnya doll eyes mengindikasikan adanya penurunan pada fungsi batang otak dan prognosisnya jelek

- Kepala yang miring pada salah satu sisi dapat menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah vena yang selanjutnya akan meningkatkan TIK, pengaturan tinggi kepala dapat meningkatkan aliran balik vena dari kepala, sehingga akan mengurangi kongesti dan edema.

- Untuk mengendalikan kegelisahan, memberikan efek ketenangan , karena aktivitas dapat meningkatkan tekanan intra kranial.

4

Kelebihan volume cairan b/d edema pulmonal

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan kelebihan volume cairan pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil;

- Tidak adanya edema

- Nilai kalium dalam batas normal

- Auskultasi bunyi napas terhadap adanya krekels.

- Pantau adanya DVJ dan edema anasarka

- Hitung keseimbangan cairan dan timbang berat badan setiap hari bila tidak kontraindikasi.

- Pertahankan asupan cairan total 2000 ml/24 jam dalam batas toleransi kardiovaskuler.

- Kolaborasi pemberian diet rendah garam, natrium.

- Kolaborasi pemberian diuretik sesuai indikasi (Furosemid/Lasix, Hidralazin/ Apresoline, Spironlakton/ Hidronolak-ton/Aldactone)

- Pantau kadar kalium sesuai indikasi

- Indikasi terjadinya edema paru sekunder akibat dekompensasi jantung.

- Dicurigai adanya GJK atau kelebihan volume cairan (overhidrasi)

- Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air dan penurunan haluaran urine. Keseimbangan cairan positif yang ditunjang gejala lain (peningkatan BB yang tiba-tiba) menunjukkan kelebihan volume cairan/gagal jantung.

- Memenuhi kebutuhan cairan tubuh orang dewasa tetapi tetap disesuaikan dengan adanya dekompensasi jantung.

- Natrium mengakibatkan retensi cairan sehingga harus dibatasi.

- Diuretik mungkin diperlukan untuk mengoreksi kelebihan volume cairan.

- Hipokalemia dapat terjadi pada terapi diuretik yang juga meningkatkan pengeluaran kalium

5

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring/imobilisasi

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan klien dapat beraktivitas secara normal lagi, dengan kriteria hasil;

- Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan TD, nadi, RR

- Mampu melakukan ADL secara mandiri

- Mampu berpindah tanpa alat bantuan

- Status kardiopulmonal adekuat

- Status respirasi : pertukaran gas dan ventilasi adekuat

- Kaji TTV klien

- Kaji status kardiopulmonal klien

- Kaji status respirasi klien

- Kaji kekuatan otot klien

- Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-harinya (jika klien tidak mampu sendiri)

- Berikan penguatan positif untuk klien

- Untuk membatasi aktivtias yang dapat mempengaruhi tnda-tanda vital

- Aktivitas dapat meningkatkan kerja jantung, hal ini berbahaya jika klien mengalami kelainan fungsi jantung, atau kondisi HR, bunyi jantung, tekanan darah yang tidak normal

- Klien boleh beraktivtias jika dapat bernafas spontan / tidak menggunakan alat bantu nafas, SaO2 99-100 %, RR normal

- Penilaian kekuatan otot berguna untuk menentukan tingkat kemandirian klien dan kemampuan klien untuk beraktivitas

- Jika pasien tirah baring, pemenuhan aktivitas klien perlu dibantu untuk mobilisasi miring kanan atau kiri mencegah dekubitus, pemenuhan perawatan diri dll.

- Penguatan positif dapat memotivasi klien untuk sembuh dan beraktivitas dengan normal.


DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner dan Sudarth. 2000. Jakarta: EGC

Fernando, Lenta. 2010. Asuhan Keperawatan pasien Edema Akut. (https://lentzexploress.com)(Onlie:Diunggah tanggal 13 Juli 2016. )

Huldani. 2014. Referat Edema Paru. Universitas Lambung Mangkurat Fakultas Kedokteran Banjarmasin.

Muttaqin, Arif. 2001. Asuhan Keperawatan Kien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika

Nendrastuti, Hetty & Soetomo. 2010. Jurnal. Edema Paru Akut Kardiogenik dan Non Kardiogenik. Majalah Kedokteran Respirasi. Vol 1. No 3. Oktober 2010 (10-15)

Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid . jogjakarta : Mediaction.

About