INFARK MIOKARD DENGAN ELEVASI ST (STEMI)
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi infark miokard dengan elevasi st ( Stemi)
Infark miokard akut adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah ke otot jantung (Manjoer, 2001). IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST elevation infark miocard (stemi) dan non ST-elevation infark miocard (stemi).
ST Elevasi Miokard Infark (stemi) merupakan rusaknya bagian otot jantung secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif maupun dipengaruhi oleh banyak faktor dengan tanda nyeri dada, peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG. Gambaran EKG pada Stemi menggambarkan tersumbatnya aliran darah, otot jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati /nekrosis (Smeltzer & Bare, 2002).
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (stemi) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intevensi koroner perkutan primer (PERKI, 2014; dalam Ongko & Indrianti, 2014).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa stemi merupakan infark pada jantung yang diakibatkan tersumbatnya arteri coronaria yang memperdarahi jantung karena ateresklerosis. Infark ini ditandai dengan perubahan segmen ST pada EKG, yaitu elevasi.
2. Etiologi STEMI
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya ruptur , penyumbatan total atau sebagian oleh emboli dan atau thrombus. Terdapat faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA, (Kumat, et al, 2007) diantaranya;
a. Faktor yang dapat dirubah;
1) Hiperlipidemia
Peningkatan kolestrerol dan/atau trigliserida serum di atas batas normal. Kadar kolesterol di atas 180 mg/dl beresiko penyakit arteri koronaria, dan lebih cepat terjadi jika kadarnya melebihi 240 mg/dl.
2) Hipertensi
Hipertensi dapat beresiko IMA sekitar 60 %.
3) Merokok
Penggunaan rokok dalam jangka waktu yang lama meningkatkan kematian karena IHD sekitar 200 %. Berhenti merokok dapat menurunkan resiko secara substansial.
4) Diabetes melitus
Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada seseorang yang menderita diabetes daripada tidak.
5) Stress psikologik. Stress menyebabkan peningkatan katekolamin yan g bersifat aterogenik.
b. Faktor yang tidak dapat dirubah;
1) Usia
Akumulasi plak merupakan proses yang progressif, manifestasi klinis tidak akan muncul sampai lesi mencapai ambang kritis, dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada usia menengah maupun usia lanjut. Pada usia 40-60 tahun , insidens IMA meningkat lima kali lipat.
2) Jenis kelamin
IMA jarang ditemukan pada wanita premenopause, kecuali jika diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause insiden plak meningkat lebih besar, karena pengaruh hormon estrogen.
3) RAS
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit putih.
4) Riwayat Keluarga
c. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard, disebabkan tiga faktor;
1) Pembuluh darah
Berkaitan dnegan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan darha mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal yang mempengaruhi kepatenan pembuluh darah yaitu; athelerosclerosis, spasme, arteritis.
2) Spasme pembuluh darah
Dipengaruhi pengkonsumsian obat-obatan tertentu, stress emosional atau nyeri, terpapar suhu dingin yang ekstrim, dan merokok.
3) Sirkulasi
Berkaitan dengan faktor pemompaan dan volume darah yang dipompakan, stenosis atau insufisiensi yang terjadi pada beberapa bagian katup jantung menyebabkan suplasi oksigen tidak adekuat.
4) Darah
Jika daya angkut darah berkurang, maka suplai oksigen tetap tidak cukup walaupun pembuluh darah dan pemompaan jantung bagus.
d. Meningkatnya kebutuhan oksigen
Pada orang yang mengidap penyakit jantung, mekanisme kompensasi (meningkatnya denyut jantung untuk meningkatkan COP saat meningkatnya kebutuhan oksigen) dapat memicu terjadinya infark, karena kebutuhan oksigen meningkat sedangkan suplay oksigen tidak bertambah. Hipertrofi miokard dapat memicu terjadinya infark, karen apemompaan jantung tidak efektif.
3. Patofisiologi infark miokard dengan elevasi st (stemi).
STEMI terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vaskuler.
Faktor penyebab kerusakan ini, seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. STEMI terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur dan terbentuklah trombus, sehingga terjadi oklusi pada arteri koroner arteri koroner sering kali mengalami thrombus yang terdiri dari agregat platelet, dan benang-benang fibrin. Pada sebagian kecil kasusnya, penyebab lain dari STEMI yaitukarena emboli arteri koroner, abnormalitas congenital, spasme coroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama inflasmasi (Zainal, 2008)
4. Manifestasi Klinik STEMI
TRIAS INFARK MIOKARD (Wagyu, 2010)
a. Nyeri dalam dan visceral seperti diremas, ditusuk, atau terbakar dan terjadi pada saat istirahat, lebih berat dan berlangsung lebih lama. Nyeri pada bagian tengah dada dan/atau epigastrium dan menyebar ke daerah lengan. Nyeri disertai kelemahan, berkeringat, mual, muntah, sesak nafas, pucat, dingin, dan ansietas. Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat.
b. Laboratorium
Pemeriksaan enzim jantung
- Peningkatan troponin.
- CPK-MB/CPK. Isoenzim ditemukan pada otot jantung meningkat antara 4-6 jam, memuncak dalam 12-24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam.
- LDH meningkat dalam 12-24 jam
- AST/SGOT meningkat dalam 6-12 jam
c. EKG
Kelainan pada lead.
Lead II, III, aVF : infark inferior
Lead V1-V3 : infark anteroseptal
Lead V2-V4 : infark anterior
Lead I, aVL, V5-V6 : infark anterolateral
Lead I, aVL : infark high lateral
Lead I, aVL, V1-V6 : infark anterolateral luas
Lead II,III,aVF, V5-V6: infark inferolateral
Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu
5. Diagnosa Medis
Menurut Yamin (2010) diagnosa medis dapat ditegakkan , jika ;
ü Pada EKG terdapat elevasi segmen T diikuti perubahan sampai inversi gelombang T, kemudian muncul peningkatan gelombang Q minimal 2 sadapan.
ü Peningkatan kadar enzim atau isoenzim : CPK/CK, SGOT, Laktat Dehidrogenase (LDH), troponin T, CPK MP, CKMB.
ü Nyeri dada / terjadi serangan jantung pada saat istirahat
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosa STEMI (Kumat, 2007) yaitu ;
a. ECG
Adanya elevasi segmen ST
b. Serum cardiac biomarker
Biomarker cardiac dapat dideteksi pada darah perifer. Ketika kapasitas limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium dari infark berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.
c. Cardiac imaging
Endocardiography
Ditemukan abnormalitas pergerakan dinding two-dimential endocardiogrphy
High resolution MRI
Angiography
Visualisasi langsung arteri koroner dengan diagnostik invasif berupa kateterisasi jantung
d. Indeks non spesifik
7. Komplikasi
Jika tidak diatasi dengan segera, maka stemi dapat menimbulkan kerusakan yang lebih parah lagi pada jantung (Kumat, 2007), diantaranya;
a. Disfungis ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubaban bentuk, ukuran, ketebalan, baik pada segmen yang infark maupun non infark.
b. Pump Failure
Tanda klinis yang sering dijumpai yaitu ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop.
c. Aritmia
Infark meliputi ketidakseimbangan sistem syaraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit, iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
d. Gagal jantung kongestif
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menyebabkan kongesti vena pulmonalis, sedangka disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan menimbulkan kongesti vena sistemik.
e. Syok kardiogenik
Akibat disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang masif.
f. Edema paru akut
Timbunan cairan abnormal di dalam rongga interstisial dan alveoli. Akibatnya paru menjadi kaku, tidak dapat mengembang, dan udara tidak dapat masuk, sehingga terjadi hipoksia berat
g. Disfungsi otot papilaris
Diafungsi iskemik otot papilaris akan mengganggu fungsi katup mitralis, sehingga terjadi eversi daun katup selama sistolik.
h. Defek septum ventrikel
Nekrosis sistem intraventrikuler dapat menyebabkan ruptur dinding septum sehingga terjadi defek septum ventrikel.
i. Ruptur jantung
Ruptur jantung terjadi saat pembuangan nekrotik sebelum pembentukan jaringan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehigga terjadi perdarahan masif. Kantong pericardium penuh terisi darah, dan menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung.
j. Aneurisma ventrikel.
Terjadi pada anterior atau apeks jantung. Aneurisme ventrikel mengembang saat sistolik, dan teregang pasif oleh sebagian curah sekuncup.
k. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar, dan akan menjadi thrombus. Pecahan thrombus mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik.
l. perikarditis
Efek infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung berkontak dan menjadi kasar, sehingga terjadi reaksi peradangan di permukaan pericardium .
8. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan untuk penyakit jantung dapat ditinjau dari aktivitas, diet, dan bowel pasien (Yamin, 2010).
- Aktivitas.
Pasien dengan STEMI harus istirahat di tempat tidur 12 jam pertama, jika tidak terjadi komplikasi, maka pasien harus didukung untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantungkan salah satu kaki di sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam pertama.
- Diet.
Hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun 4-12 jam pertama. Asupan nutrisi harus mengandung kolesterol lebih kurang 300 mg/dl.
- Bowel.
Bedrest dan pemberian terapi obat narkotik dapat membuat pasien konstipasi. Laksatif dapat diberikan jika konstipasi.
9. Penatalaksanaan Medis
Farmakoterapi untuk infark miokard dengan st elevasi (Kumat, 2007) yaitu ;
a. Nitrogliserin.
b. Morfin
c. Aspirin
d. Beta adrenoreceptor blocker
e. Terapi reperfusi
10. Prognosis
Tiga faktor penting yang menentukan indeks prognosis yaitu potensi terjadinya aritmia yang gawat, potensi serangan iskemia lebih jauh, dan potensi pemburukan gangguan hemodinamik lebih jauh (Mansjoer, et al, 2001)
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
- Airways: sumbatan atau penumpukan sekret, wheezing atau crackel.
- Breathing: sesak dengan aktivitas ringan atau istirahat, RR, irama, suara nafas tambahan, ekspansi.
- Circulation: HR, edema, CRT, akral dingin, output urine menurun
b. Pengkajian sekunder
- Aktivitas
- Sirkulasi
- Integritas ego
- Eliminasi
- Makanan atau cairan
- Hygiene
- Neurosensori
- Nyeri atau ketidaknyamanan
- Pernafasan
- Interaksi sosial
c. Pengkajian fisik
- Tingkat kesadaran
- Nyeri dada
- Frekuensi dan irama jantung :Disritmia dapat menunjukkan tidak
adekuatnya suplai oksigen ke dalam miokard.
- Bunyi jantung :S3 dapat menjadi tanda dini ancaman gagal jantung
- Tekanan darah
Untuk menentukan respon nyeri dan pengobatan, tekanan nadi, yang akan menyempit setelah serangan miokard infark
- Nadi perifer :Kaji frekuensi, irama, dan volume
- Warna dan suhu kulit
- Paru-Paru :Auskultasi bidang paru
- Fungsi gastrointestinal
- Kebutuhan volume cairan
Haluaran urin, periksa adanya edema, adanya tanda dini syok kardiogenik merupakan hipotensi dengan oliguria.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri koroner.
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal, kelebihan cairan dalam alveoli
3) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, konduksi, penurunan pre load, infark pada otot jantung, dan kerusakan struktural.
4) Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah ke jaringan
5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia, efek obat depresan jantung.
6) ketidakseimbangan pemenuhan nutrisi berhubungan hepatomegali.
7) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan perfusi ginjal; peningkatan natrium/retensi air; peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma
3. Intervensi Keperawatan
No |
Diagnosa |
Tujuan |
Intervensi |
Rasionalisasi |
1 |
Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan terhadap oklusi arteri koroner |
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 24 jam, diharapkan nyeri pasien berkurang, dengan kriteria hasil; - Pasien melaporkan nyeri dada berkurang - Skala nyeri berkurang atau hilang - Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi - Klien tampak rileks |
- Kaji nyeri pasien secara komprehensif ; PQRST - Berikan istirahat fisik dengan punggung ditinggikan (semifowler) - Ajarkan dan bantu pasien untuk relaksasi nafas dalam - Periksa tanda-tanda vital pasien sebelum dan sesudah pemberian obat narkotik - Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian antiangina, stenolol, prefarat analgesik - Kolaborasi pemberian terapi oksigen |
- Data tersebut membantu menentukan penyebab, durasi, dan lokasi nyeri - Untuk mengurangi rasa tidak nyaman dan dispnea, istirahat fisik juga dapat mengurangi konsumsi oksigen jantung - Teknik relaksasi dapat membantu mengurangi nyeri - Hipotensi/depresi pernafasan dapat terjadi sebagai akibat pemberian narkotik, hal ini dapat meningkatkan kerusakan miokardia - Farmakologi untuk mengurangi dan mengontrol nyeri melalui efek vasodilatasi koroner, efek hambatan rangsang simpatik, dan memberikan sedasi - Pemberian terapi oksigen untuk memulihkan otot jantung, melalui pemenuhan suplai oksigen dalam sirkulasi darah ke jantung dan/atau dari jantung. |
2 |
Penurunan curah jantung berhubungan dengan infark pada jantung, penurunan pre-load/peningkatan tahanan vaskuler sistemik |
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam, diharapkan curah jantung adekuat, dengan kriteria hasil; - TD, HR, RR, cardiac output dalam batas normal - Haluaran urin adekuat - Tidak ada disritmia - Penurunan dispnea - Peningkatan toleransi aktivitas - Tidak terdapat edema - Tidak ada penurunan kesadaran |
- Pantau frekuensi jantung, TD - Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac output - Monitor balance cairan - Evaluasi adanya bunyi jantung S3,S4 - Auskultasi bunyi nafas - Berikan makanan porsi kecil dan mudah dikunyah - Kolaborasi pemberian terapi oksigen - Pertahankan cairan IV - Kaji ulang EKG - Pantau laboratorium - Tingkatkan istirahat pasien |
- Untuk mengetahui adanya perubahan TTV, untuk menentukan intervensi selanjutnya. - Indikasi untuk menilai cardiac outpun - Untuk mengetahui haluaran urin - Untuk mengetahui adanya komplikasi pada GJK untuk S3, dan iskemia miokard lada S4. - Untuk mengetahui adanya kongesti paru akibat penurunan fungsi miokard - Untuk menghindari kerja miokardia, bradikardia, dan pengingkatan frekuensi jantung. - Untuk memenuhi kebutuhan miokard, menurunkan iskemia - Jalur yang paten untuk pemberian obat darurat pada disritmia - Menunjukkan perbaikan/kemajuan infark, fungsi ventrikel, dan efek terapi obat - Mengetahui perbaikan infark - Meminimalkan fungsi metabolisme tubuh |
3 |
Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah |
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, diharapkan perfusi jaringan kembali efektif, dengan kriteria hasil; - Tekanan darah dalam batas normal (120/70 mmHg) - Kesadaran: composmentis - Tidak edema dan nyeri - Konjungtivas merah muda - Tidak terdapat sianosis |
- Observasi adanya perubahan tingkat kesadaran - Observasi adanya pucat, sianosis. - Monitor TD, HR, dan CRT - Observasi adanya edema - Anjurkan klien untuk latihan kaki aktif/pasif - Kolaborasi pemberian terapi oksigen |
- Untuk mengetahui adanya penurunan curah jantung - Mengkaji tanda-tanda penurunan suplay oksigen ke jaringan perifer - Mengkaji status sirkuasi - Edema menunjukkan adanya tormbosis vena dalam - Menurunkan stassi vena, meningkatkan alirna balik vena dan menurunkan resiko tormbosis. - Memenuhi suplay oksigen ke jaringan |
4 |
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan miokard, efek obat depresan jantung |
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, diharapkan pasien dapat menunjukkan peningkatan toleransi aktivitas, dengan kriteria hasil; - TD, RR, dan HR dalam batas normal - Pasien dapat beraktivitas mandiri - Status kardiopulmonar adekuat |
- Pantau frekuensi, irama, dan perubahan TD selama beraktivitas - Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas pada dasar nyeri - Anjurkan pasien untuk tidak mengejan saat defekasi atau saat ingin muntah - Anjurkan dan bantu pasien untuk miring kanan dan miring kiri - Anjurkan kaluarga untuk mendampingi / membantu pasien dalam beraktivitas |
- Untuk menentukan tingkat aktivitas pasien - Menurunkan kerja miokard, sehingga menurunkan resiko komplikasi - Mengejan dapat mengakibatkan manuver valsava sehingga terjadi bradikardi, menurunnya curah jantung, takikardi, dan peningkatan tekanan darah - Miring kiri miring kanan dapat membantu pasien bergerak minimal, dan dapat mencegah dekubitus pada daerah yang tertekan karena bedrest. - Bantuan keluarga dapat mengurangi aktivitas pasien yang dapat meningkatkan HR, TD, dan RR pasien |
5 |
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan efusi pleura dan terdesaknya diafragma akibat hepatomegali |
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x 24 jam diharapkan pola nafas pasien kembali efektif, dengan kriteria hasil; - Pasien tidak sesak - Penggunaan O2 (+) - TD, HR, RR dalam batas normal. - Menunjukkan jalan nafas yang paten |
- Anjurkan dan ajarkan posisi semi fowler - Monitor RR, suara paru dan status O2 - Berikan terapi oksigen - Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam |
- Meningkatkan ekspansi paru-paru dan memaksimalkan ventilasi - Mengidentifikasi kepatenan jalan nafas dan keperluan tambahan oksigen - Penambahan suplai oksigen - Melatih nafas pasien |
6 |
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan |
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan nutrisi pasien dapat terpenuhi, dengan kriteria hasil; - Hasil lab Elektrolit dalam keadaan normal - Pasien mengatakan nafsu makan meningkat - Pasien melaporkan mual muntah berkurang |
- Pantau nilai laboratorium, khususnya transferin, albumin, dan elektrolit (jika ada) - Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet pasien jantung - Anjurkan pasien untuk makan sedikit tapi sering - Kolaborasi injeksi farmakologi dalam mengatasi mual muntah - Pantau intake dan outtake pasien - Pantau IWL pasien |
- Untuk melihat indikasi ketidakseimbangan nutrisi - Menentukan diet cair yang tepat untuk pasien jantung/ - Mencukupi asupan pasien, walaupun mual muntah - Efektif dalam mengatasi mual muntah - Memantau masukan dan keluaran - Memantau keseimbangan cairan |
7 |
Kelebihan volume cairan b/d penurunan perfusi ginjal; peningkatan natrium/retensi air; peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma |
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan kelebihan volume cairan pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil; - Tidak adanya edema - Nilai kalium dalam batas normal |
- Auskultasi bunyi napas terhadap adanya krekels. - - Pantau adanya DVJ dan edema anasarka - Hitung keseimbangan cairan dan timbang berat badan setiap hari bila tidak kontraindikasi. - Pertahankan asupan cairan total 2000 ml/24 jam dalam batas toleransi kardiovaskuler. - Kolaborasi pemberian diet rendah natrium. - Kolaborasi pemberian diuretik sesuai indikasi (Furosemid/Lasix, Hidralazin/ Apresoline, Spironlakton/ Hidronolak-ton/Aldactone) - Pantau kadar kalium sesuai indikasi |
- Indikasi terjadinya edema paru sekunder akibat dekompensasi jantung. - Dicurigai adanya GJK atau kelebihan volume cairan (overhidrasi) - Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air dan penurunan haluaran urine. Keseimbangan cairan positif yang ditunjang gejala lain (peningkatan BB yang tiba-tiba) menunjukkan kelebihan volume cairan/gagal jantung. - Memenuhi kebutuhan cairan tubuh orang dewasa tetapi tetap disesuaikan dengan adanya dekompensasi jantung. - Natrium mengakibatkan retensi cairan sehingga harus dibatasi. - Diuretik mungkin diperlukan untuk mengoreksi kelebihan volume cairan. - Hipokalemia dapat terjadi pada terapi diuretik yang juga meningkatkan pengeluaran kalium |
|
|
|
|
|
|
|
||
|
|||
|
|
||
|
|
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2008. Faktor risiko penyakit jantung koroner pada pasien rawat inap di cardiovascular care unit (CVCU) Cardiac Centre RSUPDr.Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Januari – Juli 2008. Jurnal. Universitas Hasanudin Makasa
Wagyu, Edward Augus.2010. Gambaran Pasien Infark Miokard Dengan Elevasi St (Stemi) Yang Dirawat Di Blu Rsup Prof. Dr. Rd Kandou Manado Periode Januari … 2010 Sampai Desember 2010. Jurnal E-Clinic. Vol 1. No 3 (2013)
Yamin, Muhammad. 2010. Tatalaksana Terkini Sindroma Koroner Akut Fokus Pada Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST. Jurnal. Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSP Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan.Jakarta:EGC
Kowalak, Welsh.2002. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Kumat, Abbas dkk (2007). Robin’s Basic Pathology. Elsevier. Inc
Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid . jogjakarta : Mediaction.
Syaifuddin. 2011. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Salemba Medika