A. Konsep Dasar Penyakit
- Definisi
Epilepsi ialah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat resersibel dengan berbagai etiologi. Serangan ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba pula. (Mansjoer, 2002)
Epilepsi adalah gejala komplek dari banyak gangguan fungsi otak berat yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang keadaan ini dapat dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan berlaku, alam perasaan, sensasi, persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tapi suatu gejala. (Brunner dan Suddarth`s, 2001)
Status epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Dalam praktek klinis lebih baik mendefinisikannya sebagai setiap aktivitas serangan kejang yang menetap selama lebih dari 10 menit. Status mengancam adalah serangan kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya kesadaran di antarserangan.
2. Etiologi
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
1) Idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetic
2) Kriptogenik:Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus
3) Imptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya trauma kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro degenerative.
Faktor pencetus Status Epileptikus :
1) Penderita Epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak memadai
2) Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan GIT
3) Keadaan umum yang tidak menurun sebagai akibat kurang tidur, stres psikis, atau stres fisik.
4) Pengunaan atau Withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti depresi
3. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat pelepasan muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
4. Manifestasi Klinis
Pada SE konvulsivus manifestasi klinis dapat diikuti perkembangannya melalui stadium-stadium sebagai berikut:
1) Pre-status, adalah suatu fase sebelum status yang ditandai dengan meningkatnya serangan-serangan kejang sebelum menjadi status. Penanganan yang tepat pada fase ini dapat mencegah terjadinya SE.
2) Early status, yaitu 30 menit pertama, di mana aktivitas serangan konvulsif terus-menerus bersamaan dengan aktivitas serangan kejang elektrografik. Gangguan metabolik akibat status epileptikus merupakan mekanisme homeostasis.
3) Established status, yang berlangsung dari 30-60 menit, yang mana pada awalnya mekanisme homeostasis gagal melakukan kompensasi dan terjadilah perubahan-perubahan dan gangguan sistemik pada fungsi vital tubuh.
4) Refracter status jika kejang berlangsung lebih dari 60 menit, meskipun telah mendapatkan terapi adekuat dengan obat-obatan antikonvulsan lini pertama.
5) Substle status/super refrakter status, akan muncul jika serangan terus berlangsung selama berjam-jam, ditandai dengan aktivitas motorik berkurang secara bertahap, penderita koma dengan aktivitas motorik menjadi terbatas, dapat berupa gerakan-gerakan halus (twitching) sekitar mata dan mulut. Perubahan ini bersamaan dengan perubahan-perubahan gambaran EEG menjadi flat di antara letupan-letupan epileptiform (burt-supression pattern).
5. Diagnosa Banding
Sinkop, gangguan jantung, gangguna sepintas peredaran darah otak, hipoglikemia, keracunan, breath holding spells, hysteria, narkolepsi, pavor nokturnus, paralysis tidur, migren.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang untuk menegakkan diagnose Status Epileptikus
1) Lumbal Punksi
Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme perangsangan langsung pada SSP, seperti pada meningitis dan ensefalitis maupun proses sistemik lain yang berdampak pada SSP. Sampai saat ini pemeriksaan LP tidak rutin dikerjakan pada SE, direkomendasikan hanya pada pasien SE yang memiliki manifestasi klinis infeksi SSP.
2) Elektoensefalografi (EEG)
EEG sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu otak. Membedakan kejang umum dan kejang parsial/fokal sangatlah penting oleh karena berkaitan dengan pemilihan obat antikonvulsan terutama pada epilepsi. Pemeriksaan EEG telah direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada pasien dengan kejang epileptik, sedangkan pada SE, rekomendasi pemeriksaan EEG tergantung pada kecurigaan etiologinya dan masih menjadi perdebatan.
3) Pencitraan
American Academy Neurology (AAN) tahun 1996 merekomendasikan pemeriksaan
pencitraan (neuroimaging) yang bersifat darurat apabila dicurigai terdapat
suatu penyakit struktural yang serius pada SSP, khususnya apabila ditemukan
deficit neurologis fokal dan perubahan kesadaran yang menetap. Pada pedoman
tersebut tidak disebutkan indikasi dilakukannya pencitraan pada anak dengan
SE.
Pencitraan hanya dilakukan jika ada kecurigaan kelainan anatomis otak dan
dikerjakan jika kondisi telah stabil dan SE telah dapat diatasi. MRI
diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT-scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat
darurat. CT-scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik
yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder.
7. Penatalaksanaan Medis
a) Lima menit pertama
1. Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu serangan berikutnya.
2. Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.
3. Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah, kimia darah, hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
b) Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50% bolas intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg tiamin intravena.
c) Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5 mg/menit sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin.
d) Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada dewasa dan 1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama pemberian.
e) Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan fenitoin tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status menetap, berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit. Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap, anestasia umum dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal.
8. Penatalaksanaa Keperawatan
1. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu (pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang memerlukan waktu untuk mengamankan, mencari tempat yang aman dan pribadi
2. Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras.
3. Lepaskan pakaian yang ketat
4. Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang.
5. Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
6. Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
7. Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
8. Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
9. Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk membersihkan secret.
10. Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus diorientasikan terhadap lingkungan
9. Komplikasi
1. Iskemik jaringan otak
2. AMI
3. Apneu
4. Hipertensi
10. Prognosis
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan terbebas serangan paling sedikit 2 tahun dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatakan telah menglami remisi. Diperkirakan 30 % pasien tidak akan menglami remisi meskipun minum obat teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik-klonik dan sawan paarsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah menglami relaps sesudah remisi.
B. Proses Keperawatan secara Teoritis
1. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
2) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d supplay O2 tidak adekuat
3) Resiko cedera berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.
4) Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi informasi
2. Rencana Aushan Keperawatan
Diagnosa keperawatan |
Rencana keperawatan |
Rasional Tindakan |
|
Tujuan Keperawatan |
Rencana Tindakan |
||
|
setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam pasien tidak mengalami gangguan pola napas dengan kriteria hasil : · RR dalam batas normal sesuai umur · Nadi dalam batas normal sesuai umur |
1. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/dada, abdomen
|
1.Memfasilitasi usaha bernapas/ekspansi dada 2.Dapat mencegah tergigitnya lidah, dan memfasilitasi saat melakukan penghisapan lendir, atau memberi sokongan pernapasan jika diperlukan 3.Menurunkan risiko aspirasi atau asfiksia Kolaborasi 4. Dapat menurunkan hipoksia serebral |
2. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah meringis |
Setelah diberikan asuhan keperawtan selama 1 x 24 jam, nyeri pasien berkurang dengan kriteria hasil:
|
Obat analgesic dapat meminimalkan rasa nyeri |
5. |
3. Resiko cedera berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri. |
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak ada resiko cidera dengan criteria hasil :
|
1. Kaji karakteristik kejang 2. Jauhkan pasien dari benda benda tajam membahayakan bagi pasien 3. Segera letakkan sendok di mulut pasien yaitu diantara rahang pasien pasien 4. Kolaborasi dalam pemberian obat anti kejang |
1. Untuk mngetahui seberapa besar tingkatan kejang yang dialami pasien sehingga pemberian intervensi berjalan lebih baik 2. Benda tajam dapat melukai dan mencederai fisik pasien 3. Dengan meletakkan sendok diantara rahang atas dan rahang bawah, maka resiko pasien menggigit lidahnya tidak terjadi dan jalan nafas pasien menjadi lebih lancer 4. Obat anti kejang dapat mengurangi derajat kejang yang dialami pasien, sehingga resiko untuk cidera pun berkurang |
4. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi |
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x 24 jam diharapkan pengethuan keluarga tentang penyakit yang diderita keluarganya dapat bertambah dengan criteria hasil: · pengetahuan keluarga meningka
· keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien |
|
1. pendidikan merupakan salah satu faktor penentu tingkat pengetahuan seseorang 2. untuk mengetahui seberapa jauh informasi yang telah mereka ketahui,sehingga pengetahuan yang nantinya akan diberikan dapat sesuai dengan kebutuhan keluarga 3. untuk meningkatkan pengetahuan 4. untuk mengetahui seberapa jauh informasi yang sudah dipahami 5. agar keluarga dapat memberikan penanngan yang tepat jika suatu-waktu klien mengalami kejang berikutnnya. |
DAFTAR PUSTAKA
Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah Monica Ester.EGC: Jakarta
Mansjoer, A dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Media Aesculapius: Jakarta
Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC, Jakarta
Nanda. 2013. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. EGC: Jakarta
Nurarif, Amin & Kusuma, Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan keperawatan berdasarkan diagnose medis, Nanda dan Nic-Noc. Jogjakarta: MediaAction
Wong, Donna L., et al. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Volume 2. Alih bahasa Agus Sunarta, dkk. EGC : Jakarta.
Sylvia, A. pierce.1999. Patofisologi Konsep Klinis. Proses penyakit. Jakarta : EGC
EmoticonEmoticon