Look at this

Selasa, 07 Agustus 2018

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN MYASTENIA GRAVIS

MYASTENIA GRAVIS

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi Myastenia Gravis

Krisis miastenia didefinisikan sebagai setiap miastenia gravis yang diidentifikasi mengalami eksaserbasi. Diagnosis krisis miastenia harus dicurigai pada semua pasien dengan gagal pernafasan, terutama mereka dengan etiologi tidak jelas. Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh bermacam-macam tingkat kelemahan dari otot skelet (volunter) tubuh. Kata miastenia gravis berasal dari bahasa Latin dan Yunani yang secara harafiah berarti kelemahan otot yang berat atau gawat (grave muscle weakness). Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit perawatan pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa dikurangi. (Istiantoro, 2012)

Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat di mana terjadi kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Usia awitan dari miastenia gravis adalah 20-30 tahun untuk wanita dan 40-60 tahun untuk pria. Kelemahan otot yang parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi lain, termasuk kesulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan, bicara cadel, kelopak mata turun, dan penglihatan kabur atau ganda. Sekitar 15% orang mengalami peristiwa berat yang disebut dengan krisis miastenia. Hal ini kadang kala dipicu oleh infeksi. Lengan dan kaki menjadi sangat lemah dan pada beberapa orang, otot yang diperlukan untuk pernafasan melemah. Keadaan ini dapat mengancam nyawa (Abdullah, 2016)

Kematian dari penyakit miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif sehingga komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik. Pengelolaan akut krisis miastenia memerlukan terapi suportif umum dan ventilasi serta langkah-langkah untuk meningkatkan blokade neuromuskuler yang mencakup pertukaran plasma atau immunoglobulin intravena, serta penghapusan pemicu. Terapi ini telah meningkatkan secara signifikan harapan hidup penderita dengan krisis miastenia dan tingkat kematian saat ini adalah sekitar 4-8%. Penyembuhan dapat terjadi pada 10-20% pasien dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu (PERDOSI, 2006)

2. Etiologi Miastenia Gravis

Penyebab pasti masih belum diketahui. Akan tetapi, penyakit ini diyakini karena;

1. Respon autoimun.

2. Pelepasan asetilkolin yang tidak efektif.

3. Respon serabut otot yang tidak adekuat terhadap asetilkolin.

Myasthenia gravis disebabkan oleh gangguan transimisi impuls saraf ke otot. Hal ini terjadi ketika komunikasi normal antara saraf dan otot terganggu di persimpangan neuromuskuler dimana sel-sel saraf terhubung dengan otot-otot yang dikontrol. Biasanya bila impuls menuju saraf, ujung saraf akan melepaskan zat neurotransmitter yang disebut asetilkolin. Asetilkolin berjalan dari sambungan neuromuskuler dan mengikat reseptor asetilkolin yang diaktifkan dan menghasilkan kontraksi otot. Pada myasthenia gravis antibodi blok mengubah atau menghancurkan reseptor untuk asetilkolin pada sambungan neuromuskuler yang mencegah terjadinya kontraksi otot. Antibodi ini diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh. (Yudistira, 2014)

Krisis miastenik biasanya dicetuskan oleh kontrol yang buruk pada penyakit, pengobatan miastenia bulbar (steroid dan antikolinesterase) yang tidak adekuat, obat-obatan, infeksi sistemik yang melibatkan saluran pernafasan, aspirasi, dan pembedahan. Pencetus lain yang diketahui pada krisis miastenia refraktori adalah stres emosional, lingkungan yang panas, peningkatan yang mendadak dari suhu tubuh, dan hipertioridism, dengan penyakit tiroid autoimun sering dikaitkan dengan miastenia gravis.(Setiabudi 2012; Abdullah, 2016)

Pencetus tersering adalah infeksi. Infeksi dilaporkan merupakan pencetus krisis miastenik pada 38% pasien, di mana penyebab tersering adalah pneumonia bakterial diikuti oleh infeksi saluran nafas atas oleh bakteri atau virus. Pencetus lain adalah pneumonitis aspirasi, pembedahan, kehamilan, perimenstrual state, beberapa obat-obatan, dan pengobatan secara tapering dari pengobatan modulasi imun. Sekitar sepertiga sampai setengah pasien dengan krisis miastenik masih belum diketahui penyebabnya. Berbagai macam obat-obatan dapat memperburuk keadaan miastenia gravis, seperti kuinidin, prokainamide, antagonis β-adrenergic, antagonis calcium channel (verapamil, nifedipine, felodipine), magnesium, antibiotik (ampisilin, gentamicin, streptomicin, polimiksin, ciprofloxacin), phenytoin, gabapentin, methamizole, α-interferon, dan media kontras. Obat-obatan ini harus digunakan secara hati-hati pada pasien miastenik, terutama setelah tindakan pembedahan. Obat-obatan yang dicurigai dapat mencetuskan krisis miastenik harus dihentikan penggunaannya pada penderita.(Setiabudi, 2012)

Walaupun kortikosteroid dapat digunakan pada pengobatan miastenia gravis, pengobatan awal dengan prednisone dapat memperburuk keadaan miastenia gravis pada hampir setengah pasien. Prediktor dari perburukan adalah umur tua, skor rendah pada Myasthenia Severity Scale, dan gejala bulbar.

3. Patofisiologi Edema Paru

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Obsevasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Antibodi pada reseptor nikotinik aseltikolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantobodi terhadap aseltikolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita miastenia gravis generalisata. (Abdullah, 2016)

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B,” di mana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada pathogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya.

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada end plate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor end plate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu, jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut, maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, di mana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari aseltikolin. Ikatan antibodi reseptor aseltikolin pada reseptor aseltikolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor aseltikolin terhadap antibodi antireseptor aseltikolin dan mengurangi jumlah reseptor aseltikolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor aseltikolin yang baru disintesis.

4. Manifestasi Klinik Edema Paru

Miasthenia Gravis dapat terjadi secara berangsur atau mendadak. Tanda dan gejala (Yudistira, 2014):

    1. Pengatupan kelopak mata yang lemah, ptosis, dan diplopia akibat kerusakan transmisi neuromuskuler pada nervus kranialis yang mempersarafi otot-otot bola mata (mungkin menjadi satu-satunya gejala yang ada).
    2. Kelemahan otot skeletal dan keluhan mudah lelah yang akan bertambah ketika hari semakin siang, tetapi akan berkurang setelah pasien beristirahat (pada stadium awal MG dapat terjadi keadaan mudah lelah pada otot-otot tertentu tanpa ada gejala lain. Kemudian, keadaan ini bisa menjadi cukup berat dan menyebabkan paralisis).
    3. Kelemahan otot yang progresif dan kehilangan fungsi yang menyertai menurut kelompok otot yang terkena; keadaan ini menjadi semakin parah pada saat haid dan sesudah mengalami stress emosi, terkena cahaya matahari dalam waktu lama, serta pada saat menderita demam atau infeksi.
    4. Tampilan wajah yang kosong serta tanpa ekspresi dan nada vocal hidung, yang semua terjadi sekunder karena kerusakan transmisi pada nervus kranialis yang mempersarafi otot-otot wajah.
    5. Regurgitasi cairan yang sering ke dalam hidung dan kesulitan mengunyah serta menelan akibat terkenanya nervus kranialis.
    6. Kelopak mata yang jatuh akibat kelemahan otot-otot wajah dan ekstraokuler.
    7. Kelemahan otot-otot leher dengan kepala yang miring ke belakang untuk melihat (otot-otot leher terlalu lemah untuk menyangga kepala tanpa gerakan menyentak).
    8. Kelemahan otot-otot pernapasan, penurunan volume tidal serta kapasitas vital akibat kerusakan transmisi pada diafragma yang menimbulkan kesulitan bernapas. Keadaan ini merupakan faktor predisposisi pneumonia dan infeksi saluran napas lain pada pasien myasthenia gravis.
    9. Kelemahan otot pernapasan (krisis miastenik) mungkin cukup berat sehingga diperlukan penanganan kedaruratan jalan napas dan pemasangan ventilator mekanis.

5. Diagnosa Medis

Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu krisis miastenia. Pada krisis miastenia akan terjadi kelemahan pada otot-otot pernapasan sehingga dapat menyebabkan gagal napas akut, di mana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas. Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan seringkali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.

Untuk penegakan diagnosis krisis miastenia, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut (Abdullah, 2016):

a. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.

b. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.

Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain:

a. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.

b. Uji Piridostigmin (neostigmin)

Pada tes ini, penderita disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg piridostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

c. Uji Kinin

Penderita diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. Tiga jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi piridostigmin , agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosa miastenia gravis (Abdullah, 2016), antara lain;

a. Pemeriksaan Laboratorium

- Antibodi reseptor anti-asetilkolin. Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, di mana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. Sekitar 80% penderita miastenia gravis generalisata dan 50% penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

- Antibodi anti striated muscle (anti-SM). Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, antibodi anti-SM dapat menunjukkan hasil positif.

- Antibodi anti-muscle-specific kinase (MuSK). Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil antibodi anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk antibodi anti-MuSK.

- Antibodi antistriational. Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan pada pasien thymoma usia muda dengan miastenia gravis. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.

b. Elektrodiagnostik

- Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

- Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Metode ini menggunakan jarum single-fiber yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial di antara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan densitas fiber (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada fiber neuromuskular berupa peningkatan jitter dan densitas fiber yang normal.

7. Komplikasi

Krisis miastenia, yang ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memncak pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh, dapat terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan stress seperti penyakit, gangguan emosiaonal, pembedahan, atau selama kehamilan. Krisis kolinergik adalah respon toksisk yang kadang dijumpai pada penggunaan obat antikolinesterase yang terlalu banyak. Status hiperkolinergik dapat terjadi yang ditandai dengan peningkatan motilitas usus, kontrisksi pupil, dan bradikardi. Individu dapat mengalami mual muntah, berkeringat, dan diare. Gawat napas dapat terjadi:

a. Gagal nafas

b. Disfagia

c. Krisis miastenik

d. Krisis cholinergic

e. Komplikasi sekunder dari terapi obat

Penggunaan steroid yang lama:

a. Osteoporosis, katarak, hiperglikemi

b. Gastritis, penyakit peptic ulcer

c. Pneumocystis carinii

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan myasthenia gravis ditentukan dengan meningkatkan fungsi pengobatan pada obat antikolinesterase dan menurunkan serta mengeluarkan sirkulasi antibodi. Terapi mencakup agen-agen antikolinesterase dan terapi imunosupresif, yang terdiri dari plasmeferesis dan timektomi.

a. Agen-agen antikolinesterase

Obat ini beraksi dengan meningkatkan konsentrasi asetilkolin yang relative tersedia pada persimpangan neuromuscular. Mereka diberikan untuk meningkatkan respon otot-otot terhadap impuls saraf dan meningkatkan kekuatan otot. Kadang-kadang mereka diberikan hanya mengurangi simtomatik.

b. Obat-obatan

Dalam pengobatan digunakan piridostigmin bromide (Mestinon), ambenonium khlorida (Mytelase), dan neostigmin (Prostigmine). Banyak pasien lebih suka pada piridostigmin karena obat ini menghasilkan efrk samping yang sedikit. Dosis ditingkatkan berangsur-angsur sampai tercapai hasil maksimal yang diinginkan (bertambahnya kekuatan, berkurangnya kelelahan), walaupun kekuatan otot normal tidak tercapai dan pasien akan mempunyai kekuatan beradaptasi terhadap beberapa ketidakmampuan.

c. Obat-obat antikolenesterase diberikan dengan susu, krekers, atau substansi penyangga makanan lainnya. Efek samping mencakup kram abdominal, mual, muntah dan diare. Dosis kecil atrofin, diberikan satu atau dua kali sehari, dapat menurunkan atau mencegah efek samping. Efek samping lain dari terapi antikolenesterase mencakup efek samping pada otot-otot skelet, seperti adanya fasikulasi (kedutan halus), spasme otot dan kelemahan. Oengaruh terhadap system saraf terdiri dari pasien cepat marah, cemas, insomnia (tidak dapat tidur), sakit kepala, disartria (gangguan pengucapan), sinkope, atau pusing, kejang dan koma. Peningkatan eksresi saliva dan keringat, meningkatnya sekresi bronchial dan kulit lembab, dan gejala-gejala ini sebaiknya juga dicatat.

d. Perawat (dan pasien) memprioritaskan untuk member obat-obat yang ditentukan menururt jadwal waktu pemberian, hal ini untuk mengontrol gejala-gejala pasien. Penundaan pemberian obat-obatan dapat menyebabkan pasien tidak mampu untuk menelan obat-obat oral dan ini menjadi masalah. Meningkatnya kekuatan otot dalam satu jam setelah pemberian obat antikolinesterase merupakan hasil yang diharapkan.

e. Setelah dosis medikasi telah ditetapkan, pasien mempelajari untuk mengambil obat sesuai dengan kebutuhan individu dan rencana waktu yang ditetapkan. Penyesuaian lebih lanjut diperlukan dalam stress fisik atau emosionla dan terhadap infeksi baru yang muncul sepanjang perjalanan penyakit.

Terapi imunosupresif

- Ditentukan untuk tujuan menurunkan produksi antibodi anti reseptor atau mengeluarkan langsung melalui perubahan plasma (digambarkan di bawah ini). Terapi imunosupresif mencakup kortikosteroid, plasmaferesis dan timektomi. Terapi kortikosteroid dapat menguntungkan pasien dengan myasthenia yang pada umumnya berat. Kortikosteroid digunakan dengan efek terjadinya penekanan respon imun pasien, sehingga menurunkan jumlah penghambatan antibodi. Dosis antikolinesterase diturunkan sambil kemampuam pasien untuk mempertahankan respirasi efektif dan kemampuan menelan dipantau. Dosis steroid berangsur-angsur ditingkatkan dan obat antikolinesterasae diturunkan dengan lambat.

- Prednisone. Digunakan dalam beberapa hari untuk menurnkan insiden efek samping, dan terlihat dengan sukses adanya penekanan penyakit. Kadang-kadang pasien memperlihatkan adanya penurunan kekuatan otot setelah terapi dimulai, tetapi ini biasanya hanya sementara.

- Obat Sitotoksik. Obat sitotoksikjuga diberikan. Walaupun mekanisme aksi yang sepenuhnya muncul tidak dimengerti, namun obat-obat seperti azatioprin (imuran) dan siklofosfamid (Cytoxan) menurunkan titer sirkulasi asetilkolin pada reseptor antibodi. Efek samping yang muncul kadang-kadang terjadi dan hanya pasien dengan penyakit berat saja yang diobati dengan obat-obatan ini.

- Pertukaran plasma (plasmaferesis). Plasmaferesis adalah teknik yang memungkinkan pembuangan selektif plasma dan komponen plasma pasien. Sel-sel yang sisa kembali dimasukkan. Penukaran plasma menghasilkan reduksi sementara dalam titer sirkulasi antibodi. Proses ini mempunyai pengaruh yang hebat pada pasien tetapi tidak mengobati keadaan abnormal (meghasilkan antireseptor antibodi) sampai waktu yang panjang.

- Penatalaksanaan pembedahan.

Pada pasien myasthenia gravis timus tampak terlibat dalam proses produksi antibodi AChR. Timektomi (pembedahan mengangkat timus) menyebabkan pengurangan penyakit substansial, terutama pada pasien dengan tumor atau hyperplasia kelenjar timus. Timektomi yaitu membuka sternum karena seluruh timus harus dibuang. Hal ini dianggap bahwa timektomi pada awal perjalanan penyakit adalah terapi spesifik, sehingga tindakan ini mencegah pembentukan antireseptor antibodi. Setelah pembedahan, pasien dipantau di ruang perawatan intensif untuk memberikan perhatian khusus dalam fungsi pernapasan.

9. Prognosis

Walaupun tidak ada pengobatan yang memberikan kesembuhan total untuk kasus miastenia gravis, obat-obatan yang telah berkembang memberikan prognosis yang lebih baik sehingga penderita dapat mnjalani hidup yang relative mendekati normal. Tanpa pengobatan medis, angka kematian mencapai 25-31%; dengan pengobatan medis angka kematian hanya 3-4%. Sekitar 33% penderita mengalami remisi spontan dimana semua gejala hilang secara permanen. Secara umum, hasil pengobatan tergantung pada seberapa cepatkah progresi penyakit dan keefektifan pengobatan. Sekitar 46% penderita miastenia gravis mengalami gagal nafas, komplikasi yang mengancam nyawa dari krisis miastenik, pneumonia dan atelektasis. Prosedur timektomi dihubungkan dengan tercapainya remisi pada 85% kasus dan 35% pasien mengalami remisi komplit (Abdullah, 2016)

B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian

Anamnesa

- Identitas klien:

- Nama (X), umur (th), alamat, pekerjaan, jenis kelamin (laki-laki)

- Keluhan utama:

- Sesak, kelopak mata kiri sulit terbuka, kedua kaki terasa lemah saat berjalan jauh.

- Riwayat penyakit saat ini:

- Myasthenia garvis menyerang otot-otot wajah dalam hal ini di daerah mata sehingga kelopak mata kiri sulit terbuka. Penyakit ini menyerang otot-otot pernapasan yang ditandai dengan dispnea yang dialami pasien. Kemudian terjadi serangan pada otot ekstremitas bawah yang mengakibatkan kedua ekstremitas bawah sulit untuk digerakkan.

- Riwayat penyakit dahulu:

- Mengkaji faktor yang memperberat myasthenia gravis seperti hipertensi dan diabetes mellitus.

- Riwayat penyakit keluarga:

- Mengkaji adanya riwayat myasthenia gravis pada keluarga pasien.

- Sosio psikospiritual

- Klien dengan penyakit myasthenia gravis sering mengalami gangguan emosi dan kelemahan otot apabila berada dalam situasi tegang. Adanya kelemahan pada kelopak mata (ptosis), dilopia, dan kesulitan dalam komunikasi verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri.

Pemeriksaan Fisik

o Review of system:

- B1 (Breathing) :Sesak napas, takipnea

- B2 (Blood) :Hipertensi ringan

- B3 (Brain) :Kelemahan otot ekstraokuler yang menyebabkan mata sebelah kiri klien sulit terbuka

- B4 (Bladder) :Penurunan fungsi kandung kemih, retensi urin, dan hilangnya sensasi saat berkemih

- B5 (Bowel) :Kesulitan mengunyah, menelan, disfagia, penurunan peristaltic usus, hipersalivasi dan hipersekresi.

- B6 (Bone) :Gangguan aktivitas/mobilitas fisik dan kelemahan otot yang berlebih kedua extremitas bawah semakin sulit digerakkan.

o Tingkat kesadaran: Komposmentis

o Fungsi serebral: Aktivitas motorik mengalami perubahan yaitu kedua ekstremitas sulit digerakkan.

o Pemeriksaan saraf cranial:

- Saraf I: tidak ada kelainan

- Saraf II: penurunan pada tes tajam penglihatan dan sering megeluh adanya penglihatan ganda

- Saraf III, IV dan VI: adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia, mimic dari pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motoirik pada saraf VI.

- Saraf V: didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah

- Saraf VII: persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan motorik lidah

- Saraf VII: persepsi pengecapa ternganggu

- Saraf VIII: tidak ditemukan tuli konduksi dan tuli persepsi

- Saraf IX dan X: ketidakmampuan menelan

- Saraf XI: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius

- Saraf XII: lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot motorik pada lidah.

o System motorik: Adanya kelemahan pada otot rangka yaitu otot ekstremitas bawah yang memberikan manifestasi pada hembatan mobilitas (berjalan).

Pengkajian Diagnostik

1. Tes serum antibodi reseptor AChR bernilai positif pada 90 % pasien

2. Tes tensilon: injeksi IV dapat memperbaiki respon motorik sementara dan menurunkan gejala pada krisis miasteni untuk sementara waktu namun efeknya dapat memperburuk gejala-gejala pada krisis kolinergik.

3. Tes elketrofisiologis yang digunakan untuk menunjukkan penurunan respon rangsangan saraf berulang

4. CT scan dada dapat menunjukkan hyperplasia timus (timoma) yang dianggap menyebabkan respon autoimun.

2. Diagnosa Keperawatan (Nurarif & Kusuma, 2015)

a. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan.

b. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan kontrol tersedak

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.

d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.

e. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan pelemahan sistem musculoskeletal.

f. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan komunikasi verbal.


3. Intervensi Keperawatan

(Nurarif & Kusuma, 2015)

No

Diagnosa

Tujuan

Intervensi

Rasionalisasi

1

Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan

Tujuan : klien menunjukkan frekuensi pernapasan yang efektif dan mengalami perbaikan pertukaran gas pada paru

KH : irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal, bunyi napas terdengar dengan jelas, respiratori terpasang dengan optimal

- Kaji kemampuan ventilasi

- Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi

- Baringkan klien dalam posisi yang nyaman atau dalam posisi fowler

- Observasi TTV

- Beri alat bantu napas mekanik

- Untuk klien dengan penurunan kapasitas ventilasi, perawat mengkaji frekuensi pernapasan, kedalaman dan bungi napas, pantau tes hasil fungsi paru dengan interval yang sering dalam mendeteksi masalah paru-paru sebelum perubahan gas darah arteri dan sebelum tampak gejala klinik

- Dengan mengkaji kualitas , frekuensi, dan kedalaman pernapasan kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien

- Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal

- Peningkatan RR dan takikardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru

- Dengan bantuan alat bantu napas diharapkan suplay oksigen akan membaik

2

Resiko aspisrasi berhubungan dengan penurunan control tersedak

Tujuan : tidak terjadinya aspirasi

KH : klien tidak mengalami aspirasi, klien menunjukkan sikap mengerti pada instruksi untuk menghindari aspirasi

- Pertahankan posisi miring jika tidak ada kontra indikasi

- Kaji posisi lidah

- Bersihkan sekresi dari mulut dan tenggorokan dengan tissue atau penghisap secara perlahan

- Bila klien memposisikan tubuhnya secara miring otomatis akan mencegah masuknya benda asing dari mulut ke tenggorokan

- memastikan jika lidah tidak jatuh ke belakang menyumbat jalan nafas

- Sekresi air liur yang berlebih bisa masuk ke tenggorokan dan menyebabkan aspirasi akibat menurunnya reflek epiglottis

3

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketudakmampuan menelan makanan

Tujuan : Masukan kalori akan adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolic

KH : kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, klien tidak mengalami penurunan berat badan signifikan, klien kooperatif dengan pemberian makanan melalui NGT

- Kaji reflek gangguan menelan dan refek batuk sebelum pemberian peroral

- Hentikan pemberian makan per oral jika pasien tidak dapat mengatasi sekresi oral atau jika reflek gangguan menelan atau batuk tertekan

- Pasang selang makan kecil dan berikan makan per-selang jika terdapat dysfagia.

- Catat intake dan output

- Lakukan konsultasi gizi untuk mengevaluasi kalori

- Timbang pasien setiap hari.

- Untuk mengkaji sejauh mana tingkat reflek agar memberikan patokan pada intervensi selanjutnya

- Agar pasien tidak tersedak

- Memberikan nutrisi yang adekuat sesuai jumlah kebutuhan pasien

- Menilai keseimbangan intake dan output

- Menilai kebutuhan kalori untuk pasien

- Menilai kenaikan BB

4

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot

Tujuan : terjadi peningkatan kekuatan dan ketahanan anggota gerak

KH : klien mampu menggunakan alat-alat adaktif untuk menunjang mobilitas, mampu menggunakan tindakan keamanan untuk meminimalkan kemungkinan cidera, menguraikan rasional intervensi, menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas

- Ajarkan untuk melakukan latihan rentang gerak aktif pada anggota gerak yang sehat

- Posisi dalam kesejajaran tubuh untuk mencegah komplikasi

- Beri mobilisasi progresif

- Ajarkan kewaspadaan keamanan

- Menjaga ketahanan dan kekuatan anggota gerak sehat

- Posisi sejajar akan meninbulkan titik berat tepat berpusat di tengah sehingga diharapkan tidak terjadi komplikasi berkelanjutan

- Tingkatkan mobilisasi klien secara bertahab agar klien mampu melakukan aktifitas minimmal, bila perlu ajarkan klien menggunakan alat bantu gerak

- Mencegah cidera tambahan yang mungkin dialami klien

5

Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguanpelemahan neuromuscular

Tujuan : klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi untuk mengungkapkan perasaannya menggunakan bahasa isyarat

- Kaji Kemampuan komunikasi klien

- Lakukan metode komunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klien

- Beri peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan berbicara, sediakan bel bila perlu

- Antisipasi dan bantu kebutuhan klien

- Ucapkan langsung kepada klien berbicara pelan dan tenang, gunakan pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak dan perhatikan respon klien

- Kolaborasikan konsultasi ke ahli terapi bicara

- Kelemahan otot-otot bicara pada klien krisis miastenia gravis dapat berakibat pada komunikasi

- Teknik untuk meningkatkan komunikasi meliputi mendengarkan klien, mengulangi apa yang mereka coba komunikasikan dengan jelas dan membuktikan yang diinformasikan, berbicara dengan kedipan mata mereka atau goyangan jari untuk menjawab ya atau tidak. Setelah periode krisis miastenik dipecahkan, klien selalu mampu mengenal kebutuhan mereka

- Untuk kenyamanan yang berhubungan dengan ketidakmampuan berkomunikasi

- Membantu menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau ketidakmampuan berkomunikasi

- Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya informasi. Memajukan stimulus komunikasi ingatan dan kata-kata

- Mengkaji kemampuan verbal individu, sensorik, dan motorik, serta fungsi kognitif untuk mengidentifikasi deficit dan kebutuhan terapi

6

Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan komunikasi verbal

Tujuan : citra diri klien meningkat

KH : klien mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situaswi, mengakul dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep dirir dengan cara yang akurat tanpa harga diri negatif

- Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan

- Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi pada klien

- Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan

- Anjurkan orang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal untuk dirinya sendiri sebanyak-banyaknyaDukung perilaku atau usaha seperti peningkatan minat atau partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi

- Monitor gangguan tidur, peningkatan kesuliatan konsentrasi, lelargi, dan withdrawal

- Kolaborasi : rujuk pada ahli neuopsikologi dan konseling bila ada indikasi

- Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi

- Beberapa klien dapat menerima dan mengatur perubahan fungsi secara efektif dengan sedikit penyesuaian diri, sedangkan yang lainnya mempunyai kesulitan membandingkan, mengenal dan mengatur kekurangan

- Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan mengontrol lebih dari satu area kehidupan

- Menghidupkan kembali rasa kemandirian dan membantu perkembangan harga diri serta memengaruhi proses rehabilitasi

- Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu masa mendatang

- Dapat mengindikasi terjadinya depresi umumnya terjadi sebagai pengaruh dari stroke dimana memerlukan intervensi lebih lanjut

- Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk perkembangan perasaan


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozi. 2016. Tatalaksana Pasien Krisis Miatenia Gravis Dengan Syok Septik Ec Hospital-Acquired Pneumonia Late Onset. Refarat. Farmakologi Klinik Stase Departemen Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Istiantoro, Yh, Gan Vhs. Penisilin, Sefalosporin, Dan Antibiotik Betalaktam Lainnya. Farmakologi Dan Terapi. Dalam: Gunawan S, Setiabudi R, Editor. Farmakologi Dan Terapi. Edisi Ke-5. Jakarta: Badan Penerbit Fkui. 2012. Ed 5. Hal: 687-688

Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid . Jogjakarta : Mediaction.

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdosi). Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis Dan Trauma Spinal. Jakarta : Cv. Prikarsa Utama. 2006. Hal : 1-18

Setiabudy, R. Golongan Kuinolon Dan Fluorokuinolon. Dalam: Gunawan S, Setiabudi R, Editor. Farmakologi Dan Terapi. Edisi Ke-5. Jakarta: Badan Penerbit Fkui. 2012. Ed 5. Hal : 718-719

Yudistira, Erlan. 2014. Myastenia Gravis. Refarat. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dharma Husada Bandung 2014


EmoticonEmoticon

About