1. Supervisi
1.1. Pengertian Supervisi
Sebagai salah satu dari fungsi manajemen, pengertian supervisi telah
berkembang secara khusus. Secara umum yang dimaksud dengan supervisi adalah
melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap
pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk kemudian apabila ditemukan
masalah, segera diberikan petunjuk atau bantuan yang bersifat langsung guna
mengatasinya (Azwar, 1996).
Muninjaya (1999) menyatakan bahwa supervisi adalah salah satu bagian proses
atau kegiatan dari fungsi pengawasan dan pengendalian (controlling
). Swanburg (1990) melihat dimensi supervisi sebagai suatu proses kemudahan
sumber-sumber yang diperlukan untuk penyelesaian suatu tugas ataupun
sekumpulan kegiatan pengambilan keputusan yang berkaitan erat dengan
perencanaan dan pengorganisasian kegiatan dan informasi dari kepemimpinan
dan pengevaluasian setiap kinerja karyawan. Dari beberapa pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan supervisi adalah
kegiatan-kegiatan yang terencana seorang manajer melalui aktifitas
bimbingan, pengarahan, observasi, motivasi dan evaluasi pada stafnya dalam
melaksanakan kegiatan atau tugas sehari-hari (Arwani, 2006).
1.2. Manfaat dan Tujuan Supervisi
Apabila supervisi dapat dilakukan dengan baik, akan diperoleh banyak
manfaat. Manfaat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut (Suarli &
Bachtiar, 2009) :
1) Supervisi dapat meningkatkan efektifitas kerja. Peningkatan efektifitas
kerja ini erat hubungannya dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan
bawahan, serta makin terbinanya hubungan dan suasana kerja yang lebih
harmonis antara atasan dan bawahan.
2) Supervisi dapat lebih meningkatkan efesiensi kerja. Peningkatan
efesiensi kerja ini erat kaitannya dengan makin berkurangnya kesalahan yang
dilakukan bawahan, sehingga pemakaian sumber daya (tenaga, harta dan
sarana) yang sia-sia akan dapat dicegah.
Apabila kedua peningkatan ini dapat diwujudkan, sama artinya dengan telah
tercapainya tujuan suatu organisasi. Tujuan pokok dari supervisi ialah
menjamin pelaksanaan berbagai kegiatan yang telah direncanakan secara benar
dan tepat, dalam arti lebih efektif dan efesien, sehingga tujuan yang telah
ditetapkan organisasi dapat dicapai dengan memuaskan (Suarli &
Bachtiar, 2008).
1.3. Frekuensi Pelaksanaan Supervisi
Supervisi harus dilakukan dengan frekuensi yang berkala. Supervisi yang
dilakukan hanya sekali bisa dikatakan bukan supervisi yang baik, karena
organisasi/lingkungan selalu berkembang. Oleh sebab itu agar organisasi
selalu
dapat mengikuti berbagai perkembangan dan perubahan, perlu dilakukan
berbagai penyesuaian. Supervisi dapat membantu penyesuaian tersebut yaitu
melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan bawahan.
Tidak ada pedoman yang pasti mengenai berapa kali supervisi harus
dilakukan. Yang digunakan sebagai pegangan umum, supervisi biasanya
bergantung dari derajat kesulitan pekerjaan yang dilakukan, serta sifat
penyesuaian yang akan dilakukan. Jika derajat kesulitannya tinggi serta
sifat penyesuaiannya mendasar, maka supervisi harus lebih sering dilakukan.
1.4. Prinsip-prinsip Pokok dalam Supervisi
Kegiatan supervisi mengusahakan seoptimal mungkin kondisi kerja yang
kondusif dan nyaman yang mencakup lingkungan fisik, atmosfer kerja, dan
jumlah sumber sumber yang dibutuhkan untuk memudahkan pelaksanaan tugas.
Untuk itu diperlukan beberapa prinsip pokok pelaksanaan supervisi. Prinsip
pokok supervisi secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut (Suarli
dan Bahtiar, 2009):
1) Tujuan utama supervisi ialah untuk lebih meningkatakan kinerja bawahan,
bukan untuk mencari kesalahan. Peningkatan kinerja ini dilakukan dengan
melakukan pengamatan langsung terhadap pekerjaan bawahan, untuk kemudian
apabila ditemukan masalah, segera diberikan petunjuk atau bantuan untuk
mengatasinya.
2) Sejalan dengan tujuan utama yang ingin dicapai, sifat supervisi harus
edukatif dan suportif, bukan otoriter.
3) Supervisi harus dilakukan secara teratur atau berkala. Supervisi yang
hanya dilakukan sekali bukan supervisi yang baik.
4) Supervisi harus dapat dilaksanakan sedemikan rupa sehingga terjalin
kerja sama yang baik antara atasan dan bawahan, terutama pada saat proses
penyelesaian masalah, dan untuk lebih mengutamakan kepentingan bawahan.
5) Strategi dan tata cara supervisi yang akan dilakukan harus sesuai dengan
kebutuhan masing-masing bawahan secara individu. Penerapan strategi dan
tata cara yang sama untuk semua kategori bawahan, bukan merupakan supervisi
yang baik.
6) Supervisi harus dilaksanakan secara fleksibel dan selalu disesuaikan
dengan perkembangan.
1.5. Pelaksana Supervisi
Menurut Bactiar dan Suarly, (2009) yang bertanggung jawab dalam
melaksanakan supervisi adalah atasan yang memiliki kelebihan dalam
organisasi. Idealnya kelebihan tersebut tidak hanya aspek status dan
kedudukan, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan. Berdasarkan hal
tersebut serta prinsip-prinsip pokok supervisi maka untuk dapat
melaksanakan supervisi dengan baik ada beberapa syarat atau karasteristik
yang harus dimilki oleh pelaksana supervisi (supervisor).
Karasteristik yang dimaksud adalah:
1) Sebaiknya pelaksana supervisi adalah atasan langsung dari yang
disupervisi. Atau apabila hal ini tidak mungkin, dapat ditunjuk staf khusus
dengan batas-batas wewenang dan tanggung jawab yang jelas.
2) Pelaksana supervisi harus memilki pengetahuan dan keterampilan yang
cukup untuk jenis pekerjaan yang akan disupervisi.
3) Pelaksana supervisi harus memiliki keterampilam melakukan supervisi
artinya memahami prinsip-prinsip pokok serta tehnik supervisi.
4) Pelaksana supervisi harus memilki sifat edukatif dan suportif, bukan
otoriter.
5) Pelaksana supervisi harus mempunyai waktu yang cukup, sabar dan selalu
berupaya meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku bawahan yang
disupervisi.
1.6. Teknik Supervisi
Tehnik pokok supervisi pada dasarnya identik dengan tehnik penyelesaian
masalah. Bedanya pada supervisi tehnik pengumpulan data untuk menyelesaikan
masalah dan penyebab masalah menggunakan tehnik pengamatan langsung oleh
pelaksana supervisi terhadap sasaran supervisi, serta pelaksanaan jalan
keluar. Dalam mengatasi masalah tindakan dapat dilakukan oleh pelaksana
supervisi, bersama-sama dengan sasaran supervisi secara langsung di tempat
. Dengan perbedaan seperti ini, jelaslah bahwa untuk dapat melaksanakan
supervisi yang baik ada dua hal yang perlu diperhatikan (Bachtiar dan
Suarli, 2009):
1. Pengamatan langsung
Pengamatan langsung harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Untuk itu ada
beberapa hal lain yang harus diperhatikan.
a. Sasaran pengamatan. Pengamatan langsung yang tidak jelas sasarannya
dapat menimbulkan kebingungan, karena pelaksana supervisi dapat
terperangkap pada sesuatu yang bersifat detail. Untuk mencegah keadaan yang
seperti ini, maka pada pengamatan langsung perlu ditetapkan sasaran
pengamatan, yakni hanya ditujukan pada sesuatu yang bersifat pokok dan
strategis saja (selective supervision).
b. Objektivitas pengamatan. Pengamatan langsung yang tidak terstandardisasi
dapat menggangu objektivitas. Untuk mencegah keadaan yang seperti ini, maka
pengamatan langsung perlu dibantu dengan dengan suatu daftar isi yang telah
dipersiapkan. Daftar tersebut dipersiapkan untuk setiap pengamatan secara
lengkap dan apa adanya.
c. Pendekatan pengamatan. Pengamatan langsung sering menimbulkan berbagai
dampak dan kesan negatif, misalnya rasa takut dan tidak senang, atau kesan
menggangagu kelancaran pekerjaan. Untuk mengecek keadaan ini pengamatan
langsung harus dilakukan sedemikian rupa sehingga berbagai dampak atau
kesan negatif tersebut tidak sampai muncul. Sangat dianjurkan pengamatan
tersebut dapat dilakukan secara edukatif dan suportif, bukan menunjukkan
kekuasaan atau otoritas.
2. Kerja sama
Agar komunonikasi yang baik dan rasa memiliki ini dapat muncul, pelaksana
supervisi dan yang disupervisi perlu bekerja sama dalam penyelesaian
masalah, sehingga prinsip-prinsip kerja sama kelompok dapat diterapkan.
Masalah, penyebab masalah serta upaya alternatif penyelesaian masalah harus
dibahas secara bersama-sama. Kemudian upaya penyelesaian masalah tersebut
dilaksanakan secara bersama-sama pula.
2. Supervisi Keperawatan
Dalam bidang keperawatan supervisi mempunyai pengertian yang sangat luas,
yaitu meliputi segala bantuan dari pemimpin/penanggung jawab kepada perawat
yang ditujukan untuk perkembangan para perawat dan staf lainnya dalam
mencapai tujuan asuhan keperawatan kegiatan supervisi semacam ini merupakan
dorongan bimbingan dan kesempatan bagi pertumbuhan dan perkembangan
keahlian dan kecakapan para perawat (Suyanto, 2008). Supervisi terhadap
kinerja perawat pelaksana dalam pendokumentasian asuhan keperawatan dapat
dilakukan dengan memberikan bimbingan, pengarahan, observasi dan pemberian
motivasi serta evaluasi terhadap pendokumentasian tiap-tiap tahap proses
keperawatan. Kelengkapan dan kesesuaian dengan standar merupakan variabel
yang harus disupervisi (wiyana, 2008).
2.1. Pelaksana Supervisi Keperawatan
Materi supervisi atau pengawasan disesuaikan dengan uraian tugas dari
masing-masing staf perawat pelaksana yang disupervisi terkait dengan
kemampuan asuhan keperawatan yang dilaksanakan. Supervisi keperawatan
dilaksanakan oleh personil atau bagian yang bertangguung jawab antara lain
(Suyanto,2008):
1) Kepala ruangan
Bertanggung jawab untuk melakukan supervisi pelayanan keperawatan yang
diberikan pada pasien di ruang perawatan yang dipimpinnya. Kepala ruangan
mengawasi perawat pelaksana dalam memberikan asuhan keperawatan baik secara
langsung maupun tidak langsung disesuaikan dengan metode penugasan yang
diterapkan di ruang perawatan tersebut. Sebagai contoh ruang perawatan yang
menerapkan metode TIM, maka kepala ruangan dapat melakukan supervisi secara
tidak langsung melalui ketua tim masing-masing (Suarli dan Bahtiar , 2009).
2) Pengawas perawatan (supervisor)
Ruang perawatan dan unit pelayanan yang berada di bawah unit pelaksana
fungisional (UPF) mempunyai pengawas yang bertanggung jawab mengawasi
jalannya pelayanan keperawatan.
3) Kepala bidang keperawatan
Sebagai top manager dalam keperawatan, kepala bidang keperawatan, kepala
bidang keperawatan bertanggung jawab melakukan supervisi baik secara
langsung atau tidak langsung melalui para pengawas keperawatan.
Mengusahakan seoptimal mungkin kondisi kerja yang aman dan nyaman, efektif
dan efesien. Oleh karena itu tugas dari seorang supervisor adalah
mengorientasikan staf dan pelaksana keperawatan terutama pegawai baru,
melatih staf dan pelaksana staf keperawatan, memberikan pengarahan dalam
pelaksanaan tugas agar menyadari, mengerti terhadap peran, fungsi sebagai
staf dan pelaksana asuhan keperawatan, memberikan pelayanan bimbingan pada
pelaksana keperawatan dalam memberikan asuahan keperawatan.
2.2. Sasaran Supervisi Keperawatan
Setiap sasaran dan target dilaksanakan sesuai dengan pola yang disepakati
berdasarkan struktur dan hirearki tugas. Sasaran atau objek dari supervisi
adalah pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan, serta bawahan yang melakukan
pekerjaan. Jika supervisi mempunyai sasaran berupa pekerjaan yang
dilakukan, maka disebut supervisi langsung, sedangkan jika sasaran berupa
bawahan yang melakukan pekerjaan disebut supervisi tidak langsung. Tujuan
utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja pekerjaan yang dilakukan oleh
bawahan (Suarli dan Bachtiar, 2009)
Sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan supervisi antara lain:
pelaksanaan tugas keperawatan, penggunaan alat yang efektif dan ekonomis,
system dan prosedur yang tidak menyimpang, pembagian tugas dan wewenang,
penyimpangan/penyeleengan kekuasaan, kedudukan dan keuangan (Suyanto,
2008).
2.3. Kompetensi Supervisor Keperawatan
Tanggung jawab utama seorang supervisor adalah mencapai hasil sebaik
mungkin dengan mengkoordinasikan system kerjanya. Para supervisor
mengkoordinasikan pekerjaan karyawan dengan mengarahkan, melancarkan,
membimbingan, memotivasi, dan mengendalikan (Dharma, 2003). Seorang
keperawatan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari harus memiliki kemampuan
dalam (Suyanto, 2008):
a. Memberikan pengarahan dan petunjuk yang jelas, sehingga dapat dimengerti
oleh staf dan pelaksana keperawatan.
b. Memberikan saran, nasehat dan bantuan kepada staf dan pelaksanan
keperawatan.
c. Memberikan motivasi untuk meningkatkan semangat kerja kepada staf dan
pelaksanan keperawatan.
d. Mampu memahami proses kelompok (dinamika kelompok).
e. Memberikan latihan dan bimbingan yang diperlukan oleh staf dan pelaksana
keperawatan.
f. Melakukan penilaian terhadap penampilan kinerja perawat.
g. Mengadakan pengawasan agar asuhan keperawatan yang diberikan lebih baik.
3. Pelaksanaan Supervisi Keperawatan 3.1. Tehnik Supervisi keperawatan
Supervisi keperawatan merupakan suatu proses pemberian sumber-sumber yang
dibutuhkan perawat untuk menyelesaiakan tugas dalam rangka pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan. Dengan supervisi memungkinkan seorang manajer
keperawatan dapat menemukan berbagai kendala yang dihadapi dalam
pelaksanaan asuahan keperawatan di ruang yang bersangkutan melalui analisis
secara komprehensif bersama-sama dengan anggota perawat secara efektif dan
efesien. Melalui kegiatan supervisi seharusnya kualitas dan mutu pelayanan
keperawatan menjadi fokus dan menjadi tujuan utama, bukan malah menyibukkan
diri mencari kesalahan atau penyimpangan (Arwani, 2006).
Teknik supervisi dibedakan menjadi dua, supervisi langsung dan tak
langsung.
3.1.1. Teknik Supervisi Secara Langsung
.
Supervisi yang dilakukan langsung pada kegiatan yang sedang dilaksanakan.
Pada waktu supervisi diharapkan supervisor terlibat dalam kegiatan agar
pengarahan dan pemberian petunjuk tidak dirasakan sebagai perintah Bittel,
1987 (dalam Wiyana, 2008). Cara memberikan supervisi efektif adalah :1)
pengarahan harus lengkap dan mudah dipahami; 2) menggunakan kata-kata yang
tepat; 3) berbicara dengan jelas dan lambat; 4) berikan arahan yang logis;
5) Hindari banyak memberikan arahan pada satu waktu; 7) pastikan arahan
yang diberikan dapat dipahami; 8) Pastikan
bahwa arahan yang diberikan dilaksanakn atau perlu tindak lanjut Supervisi
lansung dilakukan pada saat perawat sedang melaksanakan pengisian formulir
dokumentasi asuhan keperawatan. Supervisi dilakukan pada kinerja
pendokumentasian dengan mendampingi perawat dalam pengisian setiap komponen
dalam proses keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi.
Langkah-langkah yang digunakan dalam supervisi langsung (Wiyana, 2008):
a) Informasikan kepada perawat yang akan disupervisi bahwa
pendokumentasiannya akan disupervisi.
b) Lakukan supervisi asuhan keperawatan pada saat perawat melakukan
pendokumentasian. Supervisor melihat hasil pendokumentasian secara langsung
dihadapan perawat yang mendokumentasikan.
c) Supervisor menilai setiap dokumentasi sesuai standar dengan asuhan
keperawatan pakai yaitu menggunakan form A Depkes 2005.
d) Supervisor menjelaskan, mengarahkan dan membimbing perawat yang
disupervisi komponen pendokumentasian mulai dari pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi kepada perawat yang sedang
menjalankan pencacatan dokumentasi asuhan keperawatan sesuai form A dari
Depkes.
e) Mencatat hasil supervisi dan menyimpan dalam dokumen supervisi.
3.1.2. Secara Tidak Langsung
.
Supervisi tidak langsung adalah supervisi yang dilakukan melalui laporan
baik tertulis maupun lisan. Perawat supervisor tidak melihat langsung apa
yang terjadi di lapangan sehingga memungkinkan terjadinya kesenjangan
fakta. Umpan balik dapat diberikan secara tertulis (Bittel, 1987) dalam
Wiyana, 2008.
Langkah-langkah Supervisi tak langsung.
a) Lakukan supervisi secara tak langsung dengan melihat hasil dokumentasi
pada buku rekam medik perawat.
b) Pilih salah satu dokumen asuhan keperawatan.
c) Periksa kelengkapan dokumentasi sesuai dengan standar dokumentasi asuhan
keperawatan yang ditetapkan rumah sakit yaitu form A dari Depkes.
d) Memberikan penilaian atas dokumentasi yang di supervisi dengan
memberikan tanda bila ada yang masih kurang dan berikan cacatan tertulis
pada perawat yang mendokumentasikan.
e) Memberikan catatan pada lembar dokumentasi yang tidak lengkap atau
sesuai standar.
3.2. Prinsip Supervisi Keperawatan
Agar seorang manajer keperawatan mampu melakukan kegiatan supervisi secara
benar, harus mengetahui dasar dan prinsip-prinsip supervisi.
Prinsip-prinsip tersebut harus memenuhi syarat antara lain didasarkan atas
hubungan
professional dan bukan hubungan pribadi, kegiatan harus direncanakan secara
matang, bersifat edukatif, memberikan perasaan aman pada perawat pelaksana
dan harus mampu membentuk suasana kerja yang demokratis. Prinsip lain yang
harus dipenuhi dalam kegiatan supervisi adalah harus dilakukan secara
objektif dan mampu memacu terjadinya penilaian diri ( self evaluation), bersifat progresif, inovatif, fleksibel, dapat
mengembangkan potensi atau kelebihan masing-masing orang yang terlibat,
bersifat kreatif dan konstruktif dalam mengembangkan diri disesuaikan
dengan kebutuhan, dan supervisi harus dapat meningkatkan kinerja bawahan
dalam upaya meningkatkan kualitas asuhan keperawatan ( Arwani, 2006).
Ada beberapa prinsip supervisi yang dilakukan di bidang keperawatan
(Nursallam, 2007) antara lain: 1) Supervisi dilakukan sesuai dengan
struktur organisasi, 2) Supervisi menggunakan pengetahuan dasar manajemen,
keterampilan hubungan antar manusia dan kemempuan menerapkan prinsip
manajemen dan kepemimpinan, 3) Fungsi supervisi diuraikan dengan jelas,
terorganisasi dan dinyatakan melalui petunjuk, peraturan urian tugas dan
standard, 4) Supervisi merupakan proses kerja sama yang demokratis antara
supervisor dan perawat pelaksana. 5) Supervisi merupakan visi, misi,
falsafah, tujuan dan rencana yang spesifik, 6) Supervisi menciptakan
lingkungan yang kondusif, komunikasi efektif, kreatifitas dan motivasi, 7)
Supervisi mempunyai tujuan yang berhasil dan berdaya guna dalam pelayanan
keperawatan yang memberi kepuasan klien, perawat dan manajer.
3.3. Kegiatan Rutin Supervisor
Untuk dapat mengkoordinasikan system kerja secara efektif, para supervisor
harus melakukan dua jenis kegiatan, yaitu kegiatan tugas dan kegiatan
supervisi. Kegiatan tugas adalah kegiatan yang melibatkan supervisor dalam
pelaksanaan lansung suatu pekerjaan. Kegiatan supervisi adalah kegiatan
yang mengkoodinasikan pekerjaan yang dilkukan orang lain. Supervisor yang
efektif menekankan kegiatan supervisi (Dharma, 2003). Kegiatan dalam
supervisi adalah sebagai berikut (Wiyana, 2008) :
3.3.1.
Persiapan.
Kegiatan Kepala Ruangan (supervisor) meliputi: 1) Menyusun jadwal
supervisi, 2) Menyiapkan materi supervisi (format supervisi, pedoman pen
dokumentasian). 3) Mensosialisasikan rencana supervisi kepada perawat
pelaksana
3.3.2. Pelaksanaan supervisi.
Kegiatan kepala ruangan (supervisor) pada tahap pelaksanaan supervisi
meliputi : 1) Mengucapkan salam pada perawat yang disupervisi, 2) Membuat
kontrak waktu supervisi pendokumentasian dilaksanakan. 3) Bersama perawat
mengidentifikasi kelengkapan pendokumentasian untuk masing-masing tahap, 4)
Mendiskusikan pencapaian yang telah diperoleh perawat dalam pedokumentasian
asuhan keperawatan, 4) Mendiskusikan pencapaian yang harus ditingkatkan
pada masing-masing tahap, 5) Memberikan bimbingan / arahan pendokumentasian
asuhan keperawatan, 6) Mencatat hasil supervisi.
3.3.3. Evaluasi.
Kegiatan kepala ruangan (supervisor) pada tahap evaluasi meliputi: 1)
Menilai respon perawat terhadap pendokumentasian yang baru saja di arahkan,
2) Memberikan reinforcement pada perawat, 3) Menyampaikan rencana tindak
lanjut supervisi
3.4. Model-model Supervisi Keperawatan
Selain cara supervisi yang telah diuraikan, beberapa model supervisi dapat
diterapkan dalam kegiatan supervisi antara lain (Suyanto, 2008):
3.4.1 Model konvensional
Model supervisi dilakukan melalui inspeksi langsung untuk menemukan masalah
dan kesalahan dalam pemberian asuahan keperawatan. Supervisi dilakukan
untuk mengoreksi kesalahan dan memata-matai staf dalam mengerjakan tugas.
Model ini sering tidak adil karena hanya melihat sisi negatif dari
pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan para perawat pelaksana sehingga sulit
terungkap sisi positif, hal-hal yang baik ataupun keberhasilan yang telah
dilakukan
3.4.2 Model ilmiah
Supervisi dilakukan dengan pendekatan yang sudah direncanakan sehingga
tidak hanya mencari kealahan atau masalah saja. Oleh karena itu supervisi
yang dilakukan dengan model ini memilki karasteristik sebagai berikut
yaitu, dilakukan secara berkesinambungan, dilakukan dengan prosedur,
instrument dan standar supervisi yang baku, menggunakan data yang objektif
sehingga dapat diberikan umpan balik dan bimbingan.
3.4.3 Model klinis
Supervisi model klinis bertujuan untuk membantu perawat pelaksana dalam
mengembangkan profesionalisme sehingga penampilan dan kinerjanya dalam
pemberian asuahn keperawatan meningkat. Supervisi dilakukan secara
sistematis melalui pengamatan pelayanan keperawatan yang diberikan oleh
seorang perawat selanjutnya dibandingkan dengan standar keperawatan.
3.4.4 Model artistic
Supervisi model artistic dilakukan dengan pendekatan personal untuk
menciptakan rasa aman sehingga supervisor dapat diterima oleh perawat
pelaksana yang disupervisi. Dengan demikian akan tercipta hubungan saling
percaya sehingga hubungna antara perawat dan supervisor akan terbuka dam
mempermudah proses supervisi.
4. KINERJA 4.1 Defenisi Kinerja
Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan
karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak pekerja
memberi kontribusi kepada perusahaan yang antara lain termasuk kuantitas,
output, kualitas output, kehadiran di tempat kerja dan sikap kooperatif
(Mathis & Jackson, 2002). Menurut Prawirosentono, (1999) bahwa kinerja
merupakan hasil karya yang dapat dicapai seseorang atau kelompok
dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawab masing-masing untuk mencapai tujuan organisasi bersangkutan
secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.
4.2 Sistem Penilaian Kinerja
Setiap pimpinan harus dapat melakukan penilaian objektif terhadap kinerja
karyawan sehingga perlu dikembangkan instrument penilaian kinerja.
Penilaian kinerja dalam organisasi adalah proses organisasi mengevaluasi
hasil kerja atau prestasi kerja para pemegang jabatan. Ada beberapa alasan
dan pertimbangan mengapa kinerja harus dinilai yaitu: 1) penilaian kinerja
memberikan informasi bagi pertimbangan pemberian promosi dan penetapan
gaji; 2) Penilaian kinerja memberikan umpan balik bagi para manajer maupun
karyawan untuk elkukan instrospeksi dan meninjau kembali perilakuk selama
ini, baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian dirumuskan
kembali sebagai perilaku yang mendukung tumbuh kembangnya budaya organisasi
secara keseluruhan; 3) Penilaian kinerja diperlukan untuk pertimbangan
pelatiahan dan pelatiahn kembali (retraining) serta pengembangan
(Soeroso, 2003).
Nicholls (2000) menggambarkan dampak negatif penilaian kinerja sebagai efek
sisipus. Ada beberapa efek negatif yang ditimbulkan penilaian kinerja
diantaranya:
1. Penurunan tingkat produktivitas yang biasanya terjadi dalam waktu
penurunan 1-6 bulan pertama setelah evaluasi kinerja dilakukan. Penurunan
tingkat produktivitas dalam skala besar dapat menimbulkan kerugian yang
bermakna.
2. Penurunan kinerja jangka panjang terjadi apabila standard kinerja yang
dibuat hanya yang realistis dan mudah dicapai sehinnga dalam jangka panjang
yang terjadi justru kemerosotan kinerja.
3. Setiap penilaian menimbulkan dampak emosional seperti stress, depresi,
kegelisahan dan lain-lain.
4. Apabila sistem penilaian dianggap tidak adil, dapat merusak moral dan
motivasi.
5. Hanya menekankan pada kinerja individu dan bukan kinerja tim.
6. Mendorong pandangan jangka pendek dan berfokus pada kinerja jangka
pendek. Hal ini terjadi apabila penilaian kinerja yang dilakukan adalah
untuk kinerja jangka pendek sehingga karyawan kurang mementingkan kinerja
jangka panjang.
7. Melembagakan budaya dan gaya kepemimpinan paternalistik. Hal ini kuarang
menguntungkan terutama apabila system manajemen kinerja justru digunakan
untuk mempertahankan status quo.
8. Hasil penilaian kinerja dapat menjadi hukuman seumur hidup.
9. Biaya penerapan system manajemen kinerja cukup mahal
4.3 Kinerja Perawat
Kinerja perawat adalah tindakan yang dilakukan oleh seorang perawat dalam
suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya
masing-masing, tidak melanggar hukum, aturan serta sesuai moral dan etika,
dimana kinerja yang baik dapat memberikan kepuasan pada pengguna jasa.
Untuk aktifitas seorang perawat adalah mengumpulkan data kesehatan mengenai
pasien, membuat diagnosis menurut ilmu keperawatan, menetapkan tujuan
keperawatan, melaksanakan keperawatan, serta evaluasi terhadap perawatan.
Selain aktivitas perawat tersebut terkait dengan kinerja perawat dapat
dilihat dari pelayanan kesehatan yang diberikan perawat kepada pasiennya
(Tanjary, 2009).
Indikator kinerja perawat adalah variabel untuk mengukur prestasi suatu
pelaksanaan kegiatan dalam waku tertentu. Indikator yang berfokus pada
hasil asuhan keperawatan kepada pasien dan proses pelayanannya disebut
indikator kinerja (Prajawanto,2009). Kinerja perawat dapat dilihat sesuai
dengan peran fungsi perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan.
4.4 Faktor yang mempengaruhi kinerja perawat
Menurut Asa’ad (2000) dalam Tanjary, 2009 faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja perawat adalah karakteristik, motivasi, kemampuan, keterampilan,
persepsi, sikap serta lingkungan kerja. Adapun yang termasuk dalam
karakteristik perawat meliputi umur, pendidikan, tingkat pengetahuan, masa
kerja, serta status. Umur berpengaruh terhadap kinerja perawat karena
semakin berumur seorang perawat memiliki tanggung jawab moral dan loyal
terhadap pekerjaan serta lebih terampil karena lama bekerja menjadi
perawat.
Pendidikan perawat berpengaruh terhadap kinerja perawat karena semakin
tinggi pendidikan yang ditempuh semakin banyak ilmu pengetahuan serta
ketrampilan yang dimiliki oleh perawat sehingga akan dapat membantu dalam
meningkatkan kinerjanya (Tanjary, 2009). Perawat pelaksana yang
berpendidikan D3 keperawatan memiliki kinerja yang lebih baik daripada
perawat pelaksana berpendidikan SPK (Sekolah Pendidikan Kesehatan).
Tingkat pengetahuan seorang perawat berpengaruh terhadap kinerja karena
semakin tinggi tingkat pengetahuan yang diperoleh perawat akan dapat
membantu perawat dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga dapat
meningkatkan kinerjanya. Masa kerja berpengaruh terhadap kinerja perawat
karena semakin lama masa kerja seorang perawat semakin banyak pengalaman
yang diperolehnya dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga dapat
meningkatkan kinerjanya. Status pekerjaan berpengaruh terhadap kinerja
perawat karena semakin tinggi jabatan yang diembannya maka semakin tinggi
motivasi dalam pekerjaannya sehingga akan dapat meningkatkan kinerja
perawat (Tanjary,2009).
Motivasi juga mempengaruhi kinerja seseorang. Motivasi seseorang akan
timbul apabila mereka diberi kesempatan untuk mencoba cara baru dan
mendapat umpan balik dari hasil yang diberikan. Oleh karena itu penghargaan
psikis dalam hal ini sangat diperlukan agar seseorang merasa dihargai dan
diperhatikan serta dibimbing manakala melakukan suatu kesalahan (Bactiar
& Suarly, 2009).
4.5 Penilaian Kinerja Perawat
Penilaian kinerja merupakan suatu komponen dari system manajemen kinerja
yang digunakan organisasi untuk memotivasi pekerja. Tujuan utama penilaian
kinerja adalah untuk memperbaiki kinerja. Penilaian kinerja perawat adalah
pengukuran efesiensi, kompetensi dan efektifitas proses keperawatan dan
aktivitas yang digunakan oleh perawat dalam merawat klien guna untuk
mempertahankan, memperbaiki dan memotivasi perawat (Huber, 2000).
Penilaian kinerja merupakan alat yang paling dapat dipercaya oleh manajer
perawat dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktivitas. Proses
penilaian kinerja dapat digunakan secara efektif dalam mengarahkan perilaku
pegawai dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan dalam kualitas dan
volume yang tinggi.perawat manajer dapat menggunakan proses aprasial
kinerja untuk mengatur arah kerja dalam memilih, melatih, bimbingan
perencanaan karir, serta pemberian penghargaan kepada perawat yang
berkompeten (Nursalam, 2002).
Ada beberapa manfaat dari penilaian kerja tersebut, dapat dijabarkan
menjadi 6 yaitu (Nursallam, 2002):
a. Meningkatkan prestasi kerja staf baik secara individu atau kelompok
dengan memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi
kebutuhan aktualisasi di dalam kerangka pencapaian tujuan pelayanan RS.
b. Peningkatan yang terjadi pada prestasi staf secara perorangan pada
gilirannya akan mempengaruhi atau mendorong SDM secara keseluruhannya.
c. Merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan meningkatkan
hasil karya dan prestasi dengan cara memberikan umpan balik kepada mereka
tentang prestasinya.
d. Membantu RS untuk dapat menyusun program pengembangan dan pelatihan staf
yang lebih tepat guna. Sehingga RS akan mempunyai tenaga yang cakap dan
tampil untuk pengembangan pelayanan perawatan dimasa depan.
e. Menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi kerja
meningkastkan gajinya atu system imbalan yang baik.
f. Memberikan kesempatan kepada pegawai atau staf untuk mengeluarkan
perasaannya tentang pekerjaannya atau hal lain yang ada kaitannya melalui
jalur komunikasi dan dialog, sehingga dapat mempererat hubungan antara
atasan dan bawahan.
Dengan manfaat diatas maka dapat diidentifikasi siapa saja staf yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan karirnya dapat dicalonkan untuk
menduduki jabatan serta tanggung jawab yang lebih besar pada masa yang akan
datang atau mendapatkan imbalan yang lebih baik. Sedangkan karyawan yang
terhambat disebabkan karena kemauannya serta motivasi dan sikap yang
kurang baik maka perlu dilakukan pembinaan yang berupa teguran atau
konseling oleh atasannya langsung (Nursalam, 2002).
4.6 Cara Penilaian Kinerja Perawat
Dalam hal peningkatan tenaga keperawatan, Carpetino 1999 (dalam Nursalam,
2002) mengemukakan bahwa perkembangan pelayanan keperawatan saat ini telah
melahirkan paradigma keperawatan yang menuntut adanya pelayanan keperawatan
yang bermutu. Hal ini dapat dilihat dari adanya dua fenomena sistem
pelayanan keperawatan yakni perubahan sifat pelayanan dari fokasional
menjadi profesional dan terjadinya pergeseran fokus pelayanan asuhan
keperawatan. Fokus asuhan keperawatan berubah dari peran kuratif dan
promotif menjadi peran promotif, pereventif, kuratif dan rehabilitatif.
Untuk menilai atau mengukur kualitas pelayanan keperawatan kepada klien
digunakan standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat
dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Standar keperawatan dapat digunakan
sebagai instrumen penilaian kerja perawat dalam melaksanakan asuhan
keperawatan mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, implementasi
keperawatan sampai evaluasi keperawatan (Nursallam, 2002).
A. Standar I: Pengkajian Keperawatan
Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sistematis,
menyeluruh, akurat, singkat dan berkesinambungan. Kriteria pengkajian
keperawatan meliputi:
1) Pengimpulan data dilakukan dengan cara anamnesa, observasi, pemeriksaan
fisisk serta dari pemeriksaan penunjang.
2) Sumber data adalah klien, keluarga atau orang yang terkait, tim
kesehatan rekam medis dan catatan lain.
3) Data yang dikumpulkan difokuskan untuk mengidentifikasi status kesehatan
klien masa lalu, status kesehatan klien saat ini, status biologis-
psikologis-sosial-spiritual, respon terhadap terapi, harapan terhadap
tingkat kesehatan yang optimal, resiko-resiko tinggi.
B. Standar II: Diagnosis Keperawatan
Perawat menganalisa data pengkajian untuk merumuskan diagnosa keperawatan.
Adapun kriteria dalam proses ini adalah:
1) Proses diagnosa terdiri dari analisa, interpretasi data, identifikasi
masalah klien, dan perumusan diagnosa masalah keperawatan.
2) Diagnosa keperawatan terdiri dari: masalah (p), penyebab (E), dan tanda
atau gejala (S), atau terdiri dari masalh dan penyebab (PE).
3) Bekerja dengan klien, dan petugas kesehatan lain untuk memvalidasi
diagnosa keperawatan.
4) Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosa berdasarkan data
terbaru.
C. Standar III: Perencanaan Keperawatan
Perawat membuat rencana tindakan untuk mengatasi masalah dan meningkatkan
kesehatan klien. Kriteria prosesnya meliputi
1) Perncanaan terdiri dari penetapan prioritas masalah, tujuan dan rencana
tindakan perawatan.
2) Bekerja sama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan.
3) Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan
klien.
4) Mendokumentasikan rencana keperawatan
D. Standar IV : Implementasi keperawatan
Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam
rencana asuahan keperawatan. Kriteria dalam proses ini meliputi:
1) Bekerja sama dengan klien dalam tindakan rencana keperawatan.
2) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
3) Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan klien.
4) Memberikan pendidikan kepada klien dan keluarga mengenai konsep,
keterampilan asuahan diri serat membantu klien memodifikasi lingkungan yang
digunakan.
5) Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawtan berdasarkan
respon klien
E. Standar V : Evaluasi Keperawatan
Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan dalam
pencapaian tujuan dan merevisi data dasar dan perencanaan. Adapun kriteria
prosesnya adalah:
1) Menyusun rencana evaluasi dari intervensi secara komprehensif, tepat
waktu dan terus menerus.
2) Menggunakan data dasar dan respon klien dalam mengukur perkembanagn ke
arah pencapaian tujuan.
3) Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan teman sejawat.
4) Bekerja sama dengan klien dan keluarga untuk memodifikasi rencana
asuahan keperawatan.
5) Mendokumentasikan hasil evaluasi dan memodifikasi hasil perencanaan.
Standard tersebut adalah pernyataan deskriptif mengenai tingkat penampilan
yang diinginkan ada kulaitas struktur, proses atau hasil yang dapat dinilai
(Nursallam, 2002). Tujuan pendokumentasikan asuhan keperawatan adalah untuk
memudahkan menentukan kualitas perawat, klien, menjamin pendokumentasian
kemajuan dan hubungan dengan hasil yang berfokus pada klien dan memudahkan
konsistensi antar disiplin dan mengkomunikasikan tujuan tindakan dan
kemajuan. Sumber penilaian adalah dokumentasi keperawatan yang merupakan
bukti tindakan keperawatan yang sudah dilakukan dan disimpan pada
masing-masing status atau pada tempat khusus, sebagai bukti tanggung jawab
dan tanggung gugat (Doenges, 2000)
DAFTAR PUSTAKA
Pawlash, George. E. and Oliva, Peter F.
Supervision for Today
’s Schools
8thedition. Danvers MA : John Wiley & Son Inc, 2008 p 10)