BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketika era globalisasi dan informasi
belum sepenuhnya diantisipasi, Indonesia harus menghadapi krisis ekonomi dan
reformasi yang berlanjut dengan berbagai tuntutan seperti otonomi,
demokratisasi, dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Berbagai hal itu sering
terkait satu dengan lainnya. Tuntutan seperti itupun merupakan hal yang wajar.
Sayangnya, masalah-masalah besar itu tidak bias dipecahkan segera dan serempak,
bahkan fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa satu permasalahanpun seringkali
tidak dapat dipecahkan dengan memuaskan. Karenanya, masalah yang dihadapi
Indonesia sekarang sangat kompleks dan berlarut-larut.
Apakah kaitan antara
perubahan-perubahan itu dengan kebijakan kependudukan? Untuk menjawab
pertanyaan ini, ada baiknya dilihat dulu lingkup permasalahan kependudukan.
Pada satu sisi, permasalahan itu berputar pada masalah pokok demografis, yaitu
fertilitas (kelahiran), mortalitas (kematian), dan mobilitas (migrasi).
Secara sepintas, terutama bagi orang
awam, permasalahan ini tampak sederhana. Namun, bila menyadari bahwa
permasalahan kependudukan tidak mengkaji individu per individu, masalahnya
tidak pernah sederhana. Oleh karena itu, pada sisi lain, permasalahan
kependudukan bias melebar ke berbagai permasalahan sosial ekonomi lain.
Dalam makalah ini, akan dibahas
mengenai kebijakan kependudukan, sehingga diharapakan dengan adanya pembahasan
mengenai kebijakan kependudukan, akan menambah pengetahuan dan wawasan kita
tentang kebijakan kependudukan.
1.2 Tujuan
Makalah ini
dibuat dengan tujuan agar kita dapat mengerti dan memahami jumlah kependudukan
dan bagaimana menciptakan kebijaksanaan kependudukan yang jumlahnya makin
bertambah tiap tahun.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Tipe Kebijaksanaan Kependudukan
Menurut
publikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (1973 : 632) tidak ada definisi kebijaksanaan
kependudukan yang dapat diterima oleh semua orang. Dalam bab ini kebijaksanaan
kependudukan meliputi semua tindakan pemerintah yang dengan sengaja (misalnya
melalui hukum, peraturan dan program-program) yang bertujuan mempengaruhi
pertumbuhan, jumlah, distribusi dan komposisi penduduk (Eldridge, 1968:632).
Menurut Berelson (1971:173),
kebijaksanaan ini juga meliputi semua tindakan pemerintah yang direncanakan
untuk merubah peristiwa-peristiwa kependudukan, atau semua tindakan yang memang
merubahnya. Menurut Stycos (1977:106), definisi Berelson yang luas itu
membingungkan, karena mengikutsertakan tindakan-tindakan yang pengaruhnya tidak
diharapkan.
Misalnya, suatu
program kesehatan untuk mengurangi penyakit kelamin juga dapat mengurangi
sterilitas yang menyebabkan naiknya fertilitas. Stycos menyimpulkan bahwa
apabila pembuat kebijaksanaan tidak menyadari adanya pengaruh ini, atau bahkan
mengabaikannya, maka program kesehatan tidak termasuk kebijakan kependudukan.
Suatu definisi yang sama luasnya,
yaitu yang dibuat oleh Nasional Academy of Sciences di USA (1974:86-7),
memasukkan kebijakan-kebijakan kependudukan yang bersifat responsif. Ini
meliputi cara-cara pemerintah menanggapi perubahan penduduk, misalnya dengan
membangun lebih banyak sekolah apabila jumlah anak sekolah meningkat.
Pemerintah Kenya menanggapi banyaknya migrasi ke Nairobi pada tahun 1960-an
dengan mendorong para pengusaha swasta untuk menerima lebih banyak buruh
(Farooq, 1975:143).
Tindakan
kependudukan yang responsif ini lebih baik disebut sebagai kebijaksanaan
ketenagakerjaan daripada sebagai kebikjasanaan kependudukan.
Membagi
kebijaksanaan kependudukan ke dalam berbagai tipe dapat juga membingungkan.
Menurut beberapa penulis, kebijaksanaan kependudukan dapat :
-
Langsung atay tidak
langsung
-
Eksplisit atau implisit
-
Domestik atau
internasional
-
Intervensi atau bukan
intervensi
Kebijaksanaan
yang langsung, mempengaruhi variabel-variabel kependudukan secara langsung :
misalnya merangsang imigrasi dapat menaikkan tingkat pertumbuhan penduduk.
Seperti disebutkan dalam Bab 4, naiknya tingkat pendidikan biasanyamenurunkan
fertilitas. Jadi mewajibkan pendidikan hingga sekolah menengah secara tidak
langsung akan mempengaruhi fertilitas. Menurut Veil (1978:316), orang perancis
mungkin akan menolak campur tangan langsung dari pemerintah untuk menaikkan
tingkat kelahiran, tetapi dengan sangat gembira mereka menerima tunjangan ini
untuk mengganti sebagian biaya yang sudah dikeluarkan oleh orang tua untuk
mengasuh anak, dengan harapan dapat mempertinggi tingkat fertilitas secara
tidak langsung.
Kebijaksanaan yang eksplisit sering
dihubungkan dengan rencana pemerintah untuk mempengaruhi peristiwa –peristiwa
kependudukan. Misalnya, setelah Perang Dunia II, Australia menjalankan
kebijaksanaan langsung dan ekplisit dalam bidang imigrasi yang dirancang untuk
menambah jumlah penduduknya. Kebijaksanaan yang emplisit tidak tertulis, karena
kadang-kadang tujuannya dapat diterima secara umum, seperti misalnya menurunkan
mortalitas atau jika kebijaksanaan itu diumumkan justru akan menimbulkan
pertentangan politik ( Stamper, 1977:44). Pemerintah dapat saja memberi bantuan
keuangan kepada klinik keluarga berencana ( klinik kesehatan ibu dan anak)
misalnya, tetapi jika program keluarga berencana itu kurang disetujui oleh
masyarakat, maka dalam peraturan pemerintah yang ditekankan adalah pelayanan
kesehatan ibu dan anak.
Menurut Dobson (1975:625), sasaran utama
pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk, dan salah satu cara
untuk mencapai sasaran itu adalah dengankebijaksanaan kependudukan. Bab 14c
dari Gerakan Rencana Kependudukan Dunia yang disetujui di Bucharest pada tahun
1974 berbunyi :’Kependudukan dan pembanguna saling berkaitan :
variabel-variabel kependudukan mempengaruhi dan juga dipengaruhi oleh
pembangunan’(konperensi kependudukan dunia, 1975:157). Banyak negara ingina
menggabungkan kebijaksanaan kependudukan ke dalam kebijaksanaan pembangunan
yang lebih luas sehingga kebijaksanaan kependudukan yang eksplisit sering
dianggap sebagai bagian dari rencana pembangunan. Stamper (1976:56-7) telah
meneliti 60 buah rencana pembangunan dari negara-negara berkembnag : 15
diantaranya ( liam di Afrika, delapan di Asia dan dua di karibia) mempunyai
tujuan atau target yang pasti, yaitu mengurangi tingkat pertumbuhan penduduk.
Misalnya, Bangladesh merencanakan untuk menurunkan tingkat pertambahan alaminya
dari 3% menjadi 2,8% dalam rencana periode tahun 1973-1978).
Di RRC, pertumbuhan penduduk yang cepat
dianggap berpengaruh jelek terhadap pertumbuhab ekonomi. Pemerintah mempunyai
target mengurangi tingkat pertumbuhan penduduk per tahun menjadi 0,5% menjelang
tahun 1985, terutama dengan cara menganjurkan keluarga dengan satu anak. Untuk
mencapai tujuan ini, direncanakan sejumlah tindakan pemerintah yang meliputi
produksi alat kontrasepsi secara besar-besaran dan pendidikan kependudukan,
serta pemberian prioritas, untuk mendapatkan perumahan atau lowongan pekerjaan
bagi wanita yang anaknya hanya satu ( Chen Muhua, 1979:19).
Sampai disini kami baru membicarakan
kebijaksanaan domestik saja. Besemeres (1976:19) mengartikan kebijaksanaan
internasioanal sebagai ‘sikap resmi yang diambil oleh suatu negara dalam
usahanya mempengaruhi tingkat-tingkat pertumbuhan penduduk dunia secara
keseluruhan, atau suatu negara, ataupun suatu kawasan tertentu yang dinyatakan
mempunyai ‘masalah kependudukan’. Sikap ini dapat tercermin dalam tindakan mau
tidaknya membantu program keluarga berencana di negara-negara bagian lain, atau
dalam kegiatan yang dilakukan oleh badan-badan internasional yang ada
hubungannya dengan masalah-masalah kependudukan’. Sejumlah 30% dari anggaran
UNFPA ( bantuan keuangan PBB untuk gerakan-gerakan kependudukan) disediakan
oleh Amerika Serikat yang selain itu juga menjadi donor utama bagi banyak
lembaga kependudukan internasioan lainnya, sedangkan pada dasarnya Uni Soviet
menentang semua usaha internasional untuk menurunkan tingkat pertumbuhan
penduduk. Namun demikian, sikap Soviet tampak agak lunak mulai tahun 1960-an ( Besemeres,
1976:19; Brackett, 1968).
Gerakan Rencana Kependudukan Dunia tahun
1974 juga mengusulkan agar tren dan kebijaksanaan kependudukan dicatat secara
kontinu oleh PBB. Dari 156 negara yang diteliti oleh PBB pada tahun 1976, 132
diantaranya berpendapat bahwa tingkat pertambahan penduduk alami merupakan
rintangan bagi pembangunan. Kebanyakan dari 132 negara tersebut menjalankan
kebijaksanaan intervensi yang ‘multidimensional’ yaitu menggabungkan semua
faktor yang mempengaruhi variabel-variabel demografi maupun ekonomi, sosial,
politik, dan teknologi ( United Nations, 1979a :14). Meskipun demikian,
PBB(1979b : 19) menekankan bahwa suatu pemerintah mungkin saja menjalankan
kebijaksanaan non0intervensi yang ekspilit atau implisit. Keadaan semacam itu
mungkin timbul setelah dilakukan penelitian secara mendalam; pemerintah lalu
menarik kesimpulan bahwa pemerintah tidak perlu mengadakan intervensi.
Sebelum membicarakan pengaruh
kebijaksanaan kependudukan terhadap setiap komponen perubahan penduduk, perlu
diingat bahwa beberapa kebijaksanaan tidak pernah dilaksanakan dan bahwa
kebijaksanaan-kebijaksanaan mungkin berubah jika ada perubahan
pemerintah(Stamper, 1977 :44). Revolusi Islam di Iran merupakan suatu contoh
yang menarik tentang hal ini : pada tahun1979, pemerintah yang baru menyatakan
bahwa pengguguran dan sterilisasi sukarela tidak sah (people, 1979). Lagi pula,
harus diingat bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan kependudukan mungkin
bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah yang lainnya. Perancis menganjurkan
keluarga besar dengan memberikan tunjangan berdasarkan jumlah anak dan umurnya
(Bourgeois-Pichat, 1972 :8). Bersamaan dengan itu, hak individu untuk memilih
diakui sehingga hukum-hukum tentang pengguguran kandungan dan kontrasepsi lebih
lunak.
2.1.1 Tiga Masalah Penting dalam Kebijaksanaan
Kependudukan
Ada
tiga masalah penting dalam bidang kependudukan di Indonesia saat ini, yaitu :
1.
Pertambahan penduduk
yang cukup tinggi, sekitar 2,5 % per tahun.
Doubling
time akan terjadi dalam waktu 29 tahun. Kalau penduduk Indonesia dalam tahun
1979 jumlahnya 144 juta jiwa, maka 29 tahun lagi, yakni pada tahun 2008 akan
menjadi 288 juta jiwa. Pada tahun 1979 dengan jumlah penduduk 144 juta jiwa,
negara kita mengimpor : beras = 2,4 juta ton. Tekstil = 39.000 km
panjang-nya. Suatu negara termasuk
pertambahannya kurang dari 1 %. Jika pertambahan penduduknya antara 1% - 2%
termasuk sedang. Pertambahan penduduknya tinggi bila lebih dari 2 %.
2.
Penyebaran yang tidak
merata
Pulau
Jawa yang luasnya hanya 6,83 % didiami 82,513%
jiwa atau 62,57% dari seluruh penduduk Indonesia. Kelihatan sekali
ketimpangannya. Di daerah luar Pulau Jawa sangat sedikit penduduknya, sehingga
kekurangan tenaga pembangun. Di Pulau Jawa banyak buruh tani tidak memiliki
tanah. Perbandingan antara luas tanah dengan jumlah petani di Pulau Jawa banyak
buruh tani tidak memiliki tanah 0,214 hektar. Menurut perhitungan bahwa petani
belum dapat hidup layak bila memiliki tanah hanya 0,5 hektar.
Kedua
permasalahan di atas ternyata menimbulkan persoalan yang lain :
1)
Pertambahan penduduk
dan kesejahteraan
Pertambahan
penduduk yang cepat dapat mempengaruhi upaya meningkatkan kemakmuran.Pelita
pelaksanaannya dari tahap ke tahap hasilnya sangat dipengaruhi oleh pertambahan
penduduk.
2)
Pertambahan penduduk
dan masalah kesehatan
Pertambahan
penduduk yang cepat menuntut adanya prasarana kesehatan yang pertambahannya
lebih cepat pula. Misalnya program KB dapat berhasil dengan baik, bila
ditunjang oleh sarana kesehatan. Sarana kesehatan memadai bila ditingkatkan
segala sesuatu melebihi tingkat pertambahan penduduk, yang 2,5 % pertahun.
3)
Pertambahan penduduk
dan lapangan kerja
Saat
ini diperkirakan terdapat 10 juta penganggur riel atau penganggur tidak kentara
di negara kita. Pertambahan penduduk harus diimbangi dengan pertambahan
lapangan kerja. Usaha pemerintab menampung dan member lapangan pekerjaan
penduduk dengan melaksanakan proyek padat karya. Mengadakan pusat-pusat
pendidikan keterampilan, agar yang berkepentingan dapat menentukan ataupun
mencari lapangan kerja sendiri.
4)
Pertambahan penduduk
dan perumahan
Pertambahan
penduduk menurut tersedianya perumahan, bila perumahan kurang akan terjadi
tunawisma. Keadaan perumahan di negara kita masih jauh dari memadai. Menurut
hasil sensus dalam tahun 1971 terdapat 65,3 % dari seluruh rumah tangga yang
ada tinggal dalam satu kamar dan 23,2 % selebihnya tinggal dalam dua kamar.
5)
Pertambahan penduduk
dan bahan pangan
Peningkatan
produksi pangan saat ini oleh pemerintah mendapat prioritas utama. Namun karena
pertambahan penduduk yang cepat menyebabkan peningkatan produksi pangan
seolah-olah tidak berarti. Angka impor beras di negara kita sangat tinggi.
Masalah beras ini berkaitan dengan bahan makanan bergizi . Jika seseorang
kekurangan gizi, maka kesegaran jasmaninya terganggu.
3.
Masalah komposisi umur
penduduk
Beban
ketergantungan di Indonesia adalah tinggi. Penduduk yang berumur 15 tahun ke
bawah, atau yang usia belum produktif terlalu banyak jumlahnya. Hal ini terjadi
karena tingkat kesuburan penduduk Indonesia tinggi. Untuk mengatasinya
memerlukan pengaturan yang cermat dan seksama, ditempuh melalui berbagai usaha
yang dijalankan pemerintah.
2.1.2 Kebijakan
Kependudukan di Indonesia
Guna
mengatasi persoalan kependudukan di Indonesia langkah-langkah kebijaksanaan
pemerintah Indonesia antara lain :
1)
Meratakan penyebaran
penduduk
Mulai
tahun 1917 usaha kearah pemecahan masalah ini telah mulai dirintis, namun jika
dibandingkan dengan pertambahan penduduk Pulau Jawa dan Madura sendiri masih
kurang efektif. Meskipun pelaksanaan transmigrasi berhasil memindahkan penduduk
ke luar Pulau Jawa dan Madura rata-rata 50.000 jiwa per tahunnya. Karena dan
Madura, maka seakan sia-sialah transmigrasi tersebut. Dalam tahun tersebut penduduk
yang masuk ke Pulau Jawa.
Tujuan
transmigrasi dalam pelaksanaan pembangunan di negara kita, yakni :
(1)Memindahkan
penduduk dari daerah yang padat di Pulau Jawa, Madura dan Bali.
(2)
Suatu usaha meratakan penduduk Indonesia
(3)
Memberikan kesempatan kerja kepada penduduk yang menganggur di Pulau Jawa,
Madura dan Bali.
(4)
Mengeksploitir kekayaan alam di luar Pulau Jawa, yang merupakan realisasi yang
tercantum dalam UUD 1945 pasal 33.
(5)
Untuk menghilangkan perasaan kesukuan dengan adanya komunikasi seluruh bangsa.
(6)
Untuk pertahanan, keamanan dan ketahanan nasional, terutama untuk daerah yang
kosong di perbatasan didisi dengan para Veteran
(7)
Dengan penyebaran penduduk yang merata berarti program pembangunan merata di
seluruh pelosok Tanah Air.
Daerah
asal transmigrasi ada tiga golongan, yaitu :
(1)Daerah tandus, kering, sering
dilanda kelaparan
Contoh : Gunung Kidul dan beberapa
daerah di Wonogiri.
(2)Daerah
yang sering dilanda bencana alam
Misalnya:
letusan gunung api, banjir, erosi. Daerah ini antara lain di sekitar Gunung
Merapi, Gunung Kelud , daerah Ciamis Selatan, dsb.
(3)Daerah
padat penduduknya meskipun subur
Misalnya:
Kabupaten Bantul ( di wilayah DIY)
Berdasarkan
surat keputusan Presiden RI No.2 tahun 1972
dan No.1 tahun 1973 dinyatakan bahwa daerah asal transmigrasi adalah :
Pulau Jawa, Madura , Bali dan Lombok.
Daerah
penerima atau daerah tujuan transmigrasi,yaitu :
(1)Di
Sumatera : Lampung, Bengkulu, Sumatra Selatan, Jambi, dan Sumatera Barat.
(2)Kalimantan
: Kaltim, Kalsel, dan Kalbar.
(3)Sulawesi
: Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara.
(4)Irian
Jaya
Dalam
pelaksanaan transmigrasi Pemerintah telah menetapkan kebijaksanaan , antara
lain:
(1)
Para transmigran
hendaknya mempunyai keuletan dan kemauan untuk bekerja keras di tempat yang baru.
(2)
Daerah yang dituju
merupakan daerah yang subur, tetapi belum dibuka dan arealnya cukup luas.
(3)
Mengadakan pusat-pusat
pengembangan atau growth pool untuk menyediakan tenaga kerja di bidang
industri. Dengan adanya program ini diharapkan dapat mendorong adanya
transmigrasi spontan , yang nantinya dapat menjadi tenaga kerja baru di bidang
industri.
Jenis
– jenis transmigrasi yang ada di Indonesia saat ini gambarannya antara lain
sebagai berikut :
1.
Transmigrasi umum.
Pemerintah dalam hal ini memberikan bantuan berupa: angkutan dalam
perjalanan,pemeliharaan kesehatan dalam perjalanan, alat-alat pertanian,
bibit-bibit, alat-alat dapur, tekstil, pakaian kerja, alat penggergajian
diberikan kepada kelompok, tanah garapan seluas 2 hektar, rumah, jaminan hidup
( 18 bulan untuk proyek pasang surut dan 12 bulan untuk non pasang surut,
pembinaan dan pengembangan.
2.
Transmigrasi spontan
dengan bantuan biaya. Pemerintah dalam hal ini memberikan bantuan berupa :
angkutan dalam perjalanan, pemeliharaan kesehatan dalam perjalanan, 2 hektar
tanah, bahan-bahan bangunan rumah dan alat-alat pertanian.
3.
Transmigrasi spontan
tanpa bantuan biaya. Pemerintah tidak memberikan bantuan berupa apapun, kecuali
tanah garapan seluas 2 hektar.Namun dalam prakteknya penampungan transito
memberikan bantuan kendaraan untuk mengangkut mereka dan sekaligus
menampungnya.
4.
Transmigrasi spontan
dengan biaya bantuan presiden. Transmigrasi ini dilakukan berdasarkan instruksi
Presiden tahun 1973. Presiden memberikan bantuan biaya Rp 100.000,00 per kepala
keluarga yang diwujudkan dalam angkutan perjalanan, pemeliharaan kesehatan,
bahan bangunan rumah, alat-alat pertanian dan jaminan hidup selama 4 bulan.
5.
Transmigrasi sektoral,
merupakan suatu jenis transmigrasi yang dibiayai bersama antara daerah asal dan
daerah penempatan. Pembagian biaya dari masing-masing daerah sebanyak 50%.
Bantuan yang diberikan kepada para transmigran ialah : biaya angkutan,
pemeliharaan kesehatan, alat-alat pertanian, bibit-bibit, alat-alat dapur,
tekstil, pakaian kerja, alat-alat penggergajian, tanah garapan seluas 2 hektar,
rumah, jaminan hidup lamanya tergantung para persetujuan kedua belah pihak dan
pembinaan. Jenis transmigrasi ini sebenarnya hampir sama dengan transmigrasi
umum. Bedangya hanya pada jumlah alat-alat dan bibit-bibit, di samping biaya
jaminan hidup ditanggung oleh masing-masing daerah.
6.
Transmigrasi integral
ABRI, jaminan yang diberikan sama dengan jumlah jaminan transmigrasi umum
ditambah dengan bantuan Hankam Rp 100.000,00 per kepala keluarga yang
diwujudkan dengan pendidikan ketrampilan dan alat-alat pertanian yang lebih
lengkap.
Sebenarnya
selain jenis transmigrasi di atas masih ada lagi transmigrasi :
-bedol
desa
-famili/keliarga
-lokal
-gaya
baru, dsb.
Selama Pelita III diharapkan secara
riil dapat ditransmigrasikan dari pulau Jawa, Madura, Bali dan Lombok sebanyak
12.500.000 jiwa.
Dalam usaha agar suksesnya program
transmigrasi, guna meratakan penyebaran penduduk, dewasa ini dikembangkan
pengubahan orientasi berurbanisasi menjadi citra bertransmigrasi.\
2)
Intensifikasi dan
ekstensifikasi pertanian
Peningkatan produksi pertanian
dilaksanakan untuk :
-
Penyediaan bahan pangan
dalam jumlah cukup dan merata di seluruh Indonesia
-
Peningkatan gizi
makanan rakyat
-
Peningkatan produksi
pertanian lainnya, yang bukan bahan pangan.
Di
Indonesia peningkatan produksi pangan sangat memungkinkan sebab :
1.
Faktor alam :
-
Wilayah Indonesia yang
dapat dieksploitasi cukup luas
-
Tanah dan iklim di
Indonesia cocok untuk diolah sepanjang tahun.
2.
Faktor manusian :
-
Partisipasi seluruh
lapisan masyarakat dalam bidang produksi pertanian.
-
Dianjurkannya garden
industri, misalnya penanaman palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, dsb.
-
Mulai dibangun sekolah
telah diajak memproduksi bidang pertanian.
Usaha
peningkatan pangan dilakukan dengan Panca Usaha yang meliputi :
a.
Pengolahan tanah yang
baik
b.
Pemakaian bibit unggul
c.
Pemakaian pupuk
d.
Pengairan
e.
Pemberantasan hama
Dalam
rangka peningkatan produksi pangan doprioritaskan kepada :
a.
Industri yang langsung
membantu peningkatan produksi pangan, misalnya : industri pupuk, obat hama, dan
alat-alat pertanian.
b.
Industri pengolahan
hasil pertanian untuk konsumsi dalam dan luar negeri.
c.
Industri yang
menghasilkan barang pengganti impor, misalnya : Industri tekstil dan industri
kertas.
d.
Industri bahan
bangunan, seperti : semen dan perkayuan yang membantu sarana perumahan.
e.
Industri ringan dan
kerajinan rakyat yang dapat membantu mengatasi penggangguran dan menambah tenaga
kerja.
f.
Industri yang langsung
membantu peningkatan produksi pangan, misalnya : industri pupuk, obat hama, dan
alat-alat pertanian.
g.
Industri pengolahan
hasil pertanian untuk konsumsi dalam dan luar negeri.
h.
Industri yang
menghasilkan barang pengganti impor, misalnya : Industri tekstil dan industri
kertas.
i.
Industri bahan
bangunan, seperti : semen dan perkayuan yang membantu sarana perumahan.
j.
Industri ringan dan
kerajinan rakyat yang dapat membantu mengatasi penggangguran dan menambah
tenaga kerja.
k.
3)
Peningkatan
industrialisasi
Peningkatan
produksi meliputi barang-barang konsumsi. Misalnya : bahan sandang, alat rumah
tangga, barang industri yang diperlukan sektor lain, dan merangsang sektor
industri itu sendiri.
Produksi pertambangan dan minyak
bumi mengalami pertumbuhan pesat. Keadaan pulihnya ekonomi dunia pengaruhnya
secara berangsur-angsur ikut meningkatkan industri kita.
4)
Pengaturan kelahiran
Kebijakan pengaturan kelahiran di
Indonesia khususnya oleh pemerintah dituangkan dalam program keluarga
berencana. Istilah keluarga berencana disingkat KB terjemahan dari family
Planning atau Planned Parenthood. Pengertiannya adalah suatu ikhtiar manusia
secara sengaja untuk mengatur kehamilan dalam keluarga secara tidak melawan
hukum negara dan agama serta sesuai dengan moral pancasila. Tujuannya untuk
mencapai kesejahteraan keluarga, masyarakat, negara, dan dunia.
Penerapan KB di negara kita
berorientasi kepada kepentingan kesejahtaraan rakyat, bukan pencegahan
kelahiran semata-mata, seperti yang saat ini dilaksanakan di India dan RRC. KB
yang semata-mata hanya untuk mencegah kelahiran bertentangan dengan moral
Pancasila.
1.
Tujuan pokok KB
Tujuan
pokok KB adalah :
-
Meningkatkan derajat
kesejahtaraan dan kesehatan ibu dan anak serta keluarga dan bangsa pada
umumnya.
-
Meningkatkan derajat
rakyat dengan cara menurunkan angka kelahiran, sehingga pertumbuhan penduduk
tidak melebihi kemampuan kita untuk menaikkan produksi.
Dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, persoalan pengendalian penduduk
merupakan faktor yang sangat menentukan, yang merupakan tantangan berat bagi
kemajuan nasional kita. Dalam pelaksanaan KB yang penting adalah perubahan
sikap mental bagi generasi yang akan datang.
2.
Sasaran program
nasioanal KB
Program
nasional KB untuk mencapai sasarannya berdasarkan program, yang dibagi dalam
dua jangka waktu.
a.
Program jangka pendek
Sasaran
yang diutamakan :
-
Pasangan suami-istri
yang baik mampu untuk berputera(elco),
-
Orang dewasa yang sudah
akan memasuki kehidupan rumah tangga,
-
Tokoh-tokoh yang ada dalam
masyarakat,
-
Organisasi masyarakat,
-
Aparat pemerinta dan
lembaga-lembaga yang langsung berhubungan dengan masyarakat.
b.
Program jangka panjang
Sasaran
yang hendak dicapai dengan program ini adalah perubahan sikap mental yang
secara sadar dan bertanggung-jawab atas masalah-masalah kependudukan. Program
ini baru terasakan hasilnya dalam kurun waktu 10 sampai 15 tahun sesudahnya.
Program ini disebut sebagai Pendidikan Kependudukan.
3.
Bentuk Kegiatan
Bentuk
Kegiatan program KB di Indonesia pada garis besarnya dibagi tiga kegiatan
pokok, yaitu :
a.
Penerangan dan motivasi
b.
Pelayanan medis
c.
Pembinaan lanjutan
Uraian
lebih lanjut masing-masing kegiatan pokok diatas sebagai berikut :
a.
Penerangan dan motivasi
Kegiatannya
antara lain :
-
Memberikan penerangan
kepada masyarakat tentang kebijaksanaan pemerintah dalam pelaksanaan program
KB.
-
Menyebarluaskan ide KB
di kalangan masyarakat, sehingga cita-cita KB dapat diterima, didukung dan
dijadikan pandangan hidup seluruh rakyat.
-
Mengajak dan mendorong
organisasi masyarakat untuk berpartisipasi terhadap pelaksanaan program
nasional KB.
-
Membina para akseptor
untuk mencegah kemungkinan terjadinya drops out.
Pelaksanaan
penerangan dan motivasi secara : penerangan umum (public information),
penerangan kelompok (community education) dan penerangan peorangan(face to face
communication).
b.
Pelayanan medis
Kegiatannya
antara lain :
Medis teknis meliputi :
-
Mengadakan seleksi
terhadap peserta baru.
-
Menentukan jenis
kontrasepsi yang dikehendaki oleh seseorang calon peserta atas dasar indikasi
medis.
-
Mengatasi keluhan atau
komplikasi dari pada peserta.
-
Melaksanakan pemasangan
atau pelepasan alat kontrasepsi.
Medis
administratif :
-
Menyelesaikan segala
sesuatu yang berhubungan dengan administrasi, keuangan,
distribusi
kontrasepsi, pelaporan.
-
Memajukan kebutuhan
obat-obatan kontrasepsi dengan saluran yang sewajarnya.
c.
Pembinaan lebih lanjut
Bidang
ini memiliki arti yang penting pula. Para akseptor dengan susah payah berhasil
kita ajak mengikuti program KB adakalanya tidak mantap hatinya, jika tidak
terus menerus terbina. Para PLKB ( Petugas Lapangan Keluarga Berencana)
bertugas menangani program ini, di samping mencari akseptor baru.
4.
Pelaksanaan KB di
Indonesia
Situasi Kependudukan
|
Jumlah Penduduk
|
|
Tanpa KB
|
Jika KB berhasil
|
|
1. Jumlah
penduduk
2. Densitas
per km2
3. Bayi
lahir per menit
4. Bayi
mati per menit
5. Tambah
penduduk per menit
6. Anak
usia 0-14 tahun
7. Dewasa
usia 15-64 tahun(bekerja)
8. Tua
usia 65 tahun ke atas
9. Depedency
ratio per 100 penduduk
|
282 juta
148 jiwa
22 jiwa
7 jiwa
15 jiwa
127 juta
48 juta
7 juta
91 jiwa
|
220 juta
116 jiwa
10 jiwa
6 jiwa
4 jiwa
73 juta
140 juta
7 juta
57 jiwa
|
Berdasarkan
asumsi diatas suksesnya program KB merupakan faktor yang dominan bagi
berhasilnya pembangunan negara kita dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Sejak
dicanangkan program KB target yang direncanakan setiap tahun, setelah
dilaksanakan dievaluasi hasilnya. Adapun perkembangan target dan hasil akseptor
program KB tahun 1969-1977.
Salah
satu ukuran yang dipergunakan untuk menilai hasil pelaksanaan program KB secara
dini adalah dengan indikator peserta KB baru. Di dalam face perluasan jangkauan
usaha pertama diarahkan untuk memperkenalkan program KB, sehingga masyarakat
mau diajak menjadi peserta program KB.
Ditinjau
dari indikasi awal pada tahun 1978/1979 selama triwulan I( April s.d Juni 1978)
diseluruh 16 propinsi tercatat 457.869 peserta KB baru. Dari hasil tersebut metode kontrasepsi yang
dipakai terdiri dari : 68,65% pil, 18,57% IUD, 7,93% kondom, 0,05% tablet,
2,89% suntikan dan 1,91% metode lainnya.
Propinsi-propinsi
di pulau Jawa dan Bali pada kurun waktu tersebut tercatat 380.733 peserta baru.
Mereka menggunakan metode kontrasepsi 67,53% pil, 19,75% IUD, 8,26% kondom,
0,05% tablet vaginal, 2,46% suntikan dan 1,96% menggunakan metode yang lain.
Sedangkan
untuk propinsi-propinsi lain di luar pulau Jawa dan Bali tercatat akseptor baru
berjumlah 77.136. Mereka menggunakan metode kontrasepsi 74,17% pil, 12,74% IUD,
6,31% kondom, 0,03% tablet, 5,04% suntikan dan 1,71% metode yang lain.
Pelaksanaan
program nasional KB selama Pelita II berhasil menurunkan tingkat fertilitas di
berbagai daerah sekitar 33% atau rata-rata 17% dibanding dengan tingkat
fertilitas tahun 1971. Selain itu peranan masyarakat bertambah meningkat, dan
dukungan aparatur pemerintah. Peserta KB baru pasangan usia subur(elco) selama
Pelita II sebanyak 10.167.508 orang. Di antara mereka yang mengikuti program KB
aktif sebanyak 4.925.622 jiwa atau 48,44%. Mereka dapat menurunkan tingkat
fertilitas antara 18 sampai dengan 22 permil.
Dr.
Harjono Sujono Deputy Kepala BKKBN Pusat Bidang KB menyatakan bahwa pelaksanaan
program nasional KB dalam Pelita III lebih sukar, dibanding dengan selama
Pelita I dan II. Kesukaran tersebut antara lain disebabkan jumlah pasangan usia
subur mencapai sekitar 21 sampai 23 juta dalam Pelita III. Dari jumlah sebesar
itu 13 sampai 14 juta mengikuti program KB, sedangkan sisanya pernah ber-KB
namun drops-out, karena sebab-sebab tertentu.
Sedangkan
Dr. Henry Pardoko Deputy Kepala BKKBN Pusat Bidang Kependudukan mengharapkan
agar cakrawala bidang kependudukan diperluas selama Pelita III. Masalahnya
sangat kompleks, tidak hanya berinti pada soal KB saja, tetapi juga menjangkau
masalah-masalah lainnya yang menunjang program tersebut. Masalah-masalah yang
dimaksud antara lain : perlunya pengembangan Undang-Undang tentang terminasi
kehamilan,penggunaan obat-obatan untuk induksi bersalin, tentang peraturan
tunjangan keluarga dan sistem penggajian yang ada.
Kebijakan
dan program kependudukan selama Pelita III menurut pendapat Dr. Henry Pardoko
mencakup : program kependudukan yang mendukung program nasional KB, memantapkan
kerjasama dan koordinasi dengan sektor-sektor pembangunan lain dalam
program-program kependudukan yang tengah dilaksanakan. Termasuk pula
mengembangkan program-program kependudukan yang belum dilaksanakan.
2.2 Ruang lingkup kebijaksanaan kependudukan
Kebijakan kependudukan
berhubungan dengan dinamika kependudukan, yait perubahan-perubahan terhadap
tingkat fertilitas, mortalitas dan migrasi.
Kebijaksanaan kependudukan dapat
memepengaruhi fertilitas baik untuk menaikkan maupun menurunkan angka
kelahiran. Pada waktu ini kebijaksanaan mengenai fertilitas sering hanya
dihubungkan dengan penurunan ferttilitas melalui Keluarga Berencana. Bahkan
banyak orang menganggap kebijaksanaan kependudukan identik dengan Keluarga
Berencana.
Kebijaksanaan mengenai mortalitas
biasanya langsung dihubungkan dengan kesehatan, bahkan sering dihubungkan
dengan klinik, rumah sakit dan dokter. Mortalitas mempunyai hubungan yang erat
dengan morbiditas (tentang sakit). Sebagian besar orang yang mati disebabkan
karena sakit, dan hanya sebagian kecil meninggal karena kecelakaan. Sebagian
sangat kecil mati karena bunuh diri. Karena itu mortalitas dan morbiditas harus
dipahami sekaligus.
Migrasi merupakan mekanisme redistribusi
penduduk. Hanya dengan migrasi distribusi penduduk dapat dipengaruhi dalam
jangka relatif pendek. Dalam membahas migrasi, biasanya urbanisasi dicakup.
Urbanisasi sebagai keadaan dan proses pemusatan penduduk di daerah urban
(perkotaan) banyak dipengaruhi oleh migrasi dari desa ke kota. Karena itu ada
anggapan seolah-olah urbanisasi disebabkan oleh migrasi desa-kota. Padahal
urbanisasi disebabkan oleh tiga faktor, yaitu pertambahan alami, migrasi
desa-kota dan reklasifikasi daerah pedesaan (rural) menjadi perkotaan (urban).
Masalah yang dapat mempengaruhi
fertilitas ialah nuptialitas, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan.
Umur perkawinan pertama, gampang atau sukarnya perceraian serta perkawinan
ulangdapat di hubungkan dengan kebijaksanaan kependudukan juga.
2.3 Macam kebijaksanaan kependudukan
Kebijaksanaan
kependudukan dapat bersifat nasional terpadu atau sektoral. Kebijaksanaan
nasional terpadu mencakup segala segi kehidupan dengan satu tujuan mengenai
kependudukan. Semua komponen yang mempunyai hubungan dengan penduduk mempunyai
orientasi yang sama, sehingga merupakan satu sistem. Masing-masing komponen
mempunyai kaitan dengan komponen-komponen lain yang menuju pada satu sasaran
yang ditentukan, misalnya penurunan fertilitas, penurunan mortalitas atau
peningkatan migrasi penduduk.
Kebijaksanaan sektoral menyerahkan
maslah kependudukan kepada satu sektor. Kegiatan sektoral dapat
dikoordinasikan, tetapi dalam kenyataan koordinasi sukar di laksanakan.
2.4 Program-program Kependudukan
Kegiatan nyata untuk
melaksanakan kebijaksanaan dengan sasaran tertentu, batas waktu dan dana
tertentu merupakan satu program. Kegiatan demikian yang bertujuan mempengaruhi
atau menanggapi aspek-aspek kependudukan merupakan program kependudukan.
Kegiatan keluarga berencana adalah
program kependudukan. Peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang akan
menurunkan angka kematian bayi juga merupakan program kependudukan.
Pemindahan penduduk yang di atur
pemerintah dalam bentuk transmigrasi adalah program kependudukan.
Di Indonesia, karena menurut sejarah
kegiatan transmigrasi dan keluarga berencana mendahului perumusan kebijaksanaan
kependudukan, kegiatan itu merupakan program sendiri-sendiri. Pengertian
program kependudukan bahkan diberi pengertian sempit yaitu kegiatan yang
mendukung program keluarga berencana. Dalam kenyataan program kependudukan di
Indonesia di artikan sebagai kegiatan “beyond
family planning” yaitu kegiatan-kegiatan yang menjangkau lebih jauh dari
keluarga berencana, misalnya perbaikan gizi, peningkatan pendapatan dan
lain-lain yang dapat menambah kemantapan program keluarga berencana.
Transmigrasi merupakan kebijaksanaan
kependudukan mengenai migrasi. Kebijaksanaanya adalah redistribusi penduduk
melalui migrasi yang diatur oleh Pemerintah. Transmigrasi yang diatur itu hanya
meliputi bagian kecil migrasi, tetapi dilakukan secara sadar dan dengan tujuan
yang jelas. Sejak tahun 1972 dengan Undang-Undang no.3 tahun 1972 yang mengatur
Pokok-Pokok Penyelenggaraan
Transmigrasi, transmigrasi tidak hanya mempunyai aspek kependudukan tetapi juga
aspek ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan. Akan tetapi karena itu di
jalankan dengan mempengaruhi variabel migrasi, maka transmigrasi merupakan satu
program kependudukan.
Usaha penyebaran fasilitas kesahatan
secara merata sehingga menjangkau seluruh penduduk merupakan satu program
kependudukan dalam rangka kebijaksanaan menurunkan kematian dan meningkatkan
harapan hidup penduduk.
2.5 Kebijaksanaan Kependudukan di Berbagai Negara
Pengertian
kebijaksanaan kependudukan dibanyak negara dihubungkan dengan keluarga
berencana. Di negara-negara liberal Barat, pemerintah negara-negara itu
mengambil sikap tidak ikut campur. Di negara-negara itu usaha keluarga
berencana dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat dengan dana dari
masyarakat pula. Prakarsa keluarga berencana datang dari kalangan masyarakat
atas yang mempunyai pendidikan paling tinggi pula. Dengan demikian,
pengetahuan, sikap positif terhadap keluarga berencana serta praktek KB dimulai
dari golongan atas menurun ke golongan menengah terus ke golongan buruh dan
akhirnya mencapai para petani di desa-desa.
Bagian besar penduduk dunia diam di
negara-negara sedang berkembang. Kebijaksanan kependudukan
oleh sebagian pemerintahnya melalui program KB hasilnya sudah mulai tampak.
Sebagian penduduk dunia di negara
yang sedang berkembang belum banyak dijamah oleh keluarga berencana baik
melalui kebijaksanaan pemerintah maupun oleh organisasi masyarakat.
2.6 Macam-macam Kebijaksanaan Kependudukan
Kebijaksanaan
yang banyak dianut adalah anti natalis. Kebijaksanaan ini mempunyai tujuan
untuk menurunkan angka kelahiran. Negara-negara yang menjalankan kebijaksanaan
keluarga berencana bersifat antinatalis, sekalipun alasannya bermacam-macam.
Alasan yang umum digunakan adalah untuk kesejahteraan ibu dan anak, baik
ditinjau dari kesehatan ibu dan anak maupun pertimbangan kesejahteraan sosial
ekonomi keluarga pada umumnya. Dengan demikian keluarga berencana tidak
dikemukakan dalam kerangka makro, tetapi mikro, demi kepentingan keluarga.
Semboyan yang digunakan untuk mencapai keluarga kecil yang bahagia mendasari
program-program itu.
Memang keluarga-keluarga tidak akan
berminat terhadap masalah makro, misalnya apakah itu berhubungan ddengan
kepadatan penduduk, cepatnya pertumbuhan ataupun penyebaran penduduk yang tidak
merata. Hal-hal ini merupakan masalah bagi pimpinan-pimpinan masyarakat baik
dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan.
Kebijaksanaan pronatalis tidak banyak
diikuti. Contoh yang sering dipakai adalah Perancis sesudah kalah perang dengan
Jerman pada tahun 1871. Pada waktu itu timbul gagasan untuk membalas kekalahan
(revanche idea) terhadap Jerman.
Keluarga-keluarga dianjurkan untuk memperbesar jumlah keluarga dengan
meningkatkan kelahiran. Berbagai subsidi maupun fasilitas-fasilitas di berikan
oleh pemerintah, tetapi hasilnya diragukan.
Negara-negara yang dipimpin oleh
diktator-diktator yang menyiapkan perang menjelang Perang Dunia II, yaitu
Rusia, Jerman, Itali dan Jepang mempunyai kebijaksanaan pronatalis pada waktu
itu.
Sesudah Perang Dunia II
negara-negara yang mempunyai kebijaksanaan pronatalis maupun anti natalis dapat
dilakukan dengan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal
ini kebijaksanaan keluarga berencana dengan menggunakan kontrasepsi merupakan
kebijaksanaan mempengaruhi variabel kependudukan dengan membatasi kelahiran
secara langsung.
Sesudah pemerintahan Orde Baru,
Indonesia mempunyai kebijaksanaan antinatalis dapat dilakukan dengan
mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini kebijaksanaan
keluarga berencana dengan menggunakan kontrasepsi merupakan kebijaksanaan yang
mempengaruhi variabel kependudukan dengan membatasi kelahiran secara langsung.
2.7 Perbedaan Kebijaksanaan Kependudukan di berbagai Negara
Negara-negara Asia
terbagi dua malam kebijaksanaan kependudukanya. Negara-negara Asia Selatan,
Tenggara dan Timur hampir semua mengikuti kebijaksanaan anti natalis. Dari
Pakistan sampai Jepang, dengan perkecualian Birma dan Vietnam, semuanya
menbjalankan program keluarga berencana. RRC bahkan sejak akhir-akhir ini
mengusahakan keluarga dengan hanya satu anak setelah penduduk mendekati jumlah
satu milyar.
Di negara-negara Asia Bagian Barat
yang sebagian besar berpenduduk Arab Islam, hanya Iran yang padaa masa Syah
Iran menjalankan kebijaksanaan anti natalis. Negara-negara lainnya tidak
mempunyai kebijaksanaan kependudukan yang jelas, kecuali Kuwait yang
nyata-nyata mempunyai kebijaksanaan pronatalis. Negara-negara Eropa tidak
mempunyai kebijaksanaan kependudukan yang secara resmi dinyatakan.
Program-program yang mempunyai akibat kependudukan lebih bersifat sosial
ekonomi atau sekedar menampung akibat-akibat negatif tindakan masyarakat.
Sebagai misal legalisasi pengguguran kandungan terutama di negara blok komunis
bukanlah untuk merunkan fertilitas, tetapi untuk menghindarkan pengguguran
tidak syah secara sembunyi-sembunyi yang membahayakan kesehatan ibu.
Negara-negara Afrika pada umumnya
merasakan kekurangan penduduk. Pendekatan dengan keluarga berencana sebagai
usaha peningkatan kesejahteraan keluarga hanya diikuti oleh Mesir dan Tunisia
di negara-negara Arab di Afrika dan oleh Ghana serta Kenya diantara
negara-negara dengan penduduk berkulit hitam.
Di Amerika Latinmengikuti paham yang
menyatakan bahwa apabila keadaan sosial ekonomi diperbaiki maka angka kelahiran
akan turun, seperti halnya dalam teori transisi demografi.
Meskipun di Timur Tengah, Afrika dan
Amerika Latin program-program keluarga berencana belum banyak diikuti sebanyak
di Asia Selatan, Tenggara dan Timur, kecendrungan untuk ke sikap anti natalis
memasuki golongan-golongan terbatas masyarakatnya, sehingganakhirnya akan
mendorong ke arah kebijaksanaan anti natalis.
2.8 Kebijaksanaan Kependudukan di Indonesia
Pemerintah
Indonesia Merdeka meneruskan program pemindaha penduduk dengan transmigrasi.
Konsep transmigrasi yang dicetuskan pada permulaan Kemerdekaan Indonesia
merupakan kebijaksanaan kependudukan yang secara sadar hendak mengurangi
pertumbuhan penduduk di Jawa, tetapi mengurangi penduduk pulau Jawa secara
absolut. Jawa diperkirakan hanya mampu menampung 30 juta penduduk dan
selebihnya harus transmigrasikan.
Kebijaksanaan kependudukan itu
dijalankan sampai pemerintahan Orde Baru memberikan orientasi yang luas mulai
tahun 1972. Undang-Undang no.3 tahun 1972 memberikan tujuan yang luas pada
transmigrasi di mana pertimbangan demografis hanya merupakan satu dari 7
sasaran yang terdiri atas :
a. Peningkata
taraf hidup
b. Pembangunan
daerah
c. Keseimbangan
penyebaran penduduk
d. Pembangunan
yang merata di seluruh Indonesia
e. Pemanfaatan
sumber-sumber alam dan tenaga manusia
f. Kesatuan
dan persatuan bangsa
g. Memperkuat
pertahanan dan keamanan nasional.
Kebijaksanaan transmigrasi ini mencakup
segi-segi politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan di samping
kebijaksanaan redistribusi penduduk.kebijaksanaan ini merupakan kebijaksaan
sektoral dan regional. Di samping itu transmigrasi di arahkan kepada
Transmigrasi Swakarsa yang akan mengurangi beban pemerintah dan mendorong
penduduk berinisiatif untuk pindah dalam rangka pembangunan daerah asal maupun
daerah tujuan transmigrasi. Di dunia ini tidak ada negara lain yang mempunyai
kebijaksanaan redistribusi penduduk yang lebih luas dari Indonesia. Malysia dan
Piliphina mempunyai program pemukiman penduduk (settlement) yang terbatas dan
lebih bersifat kegiatan pembangunan ekonomi. Proyek Felda (Federal Land
Development Authority) di Malaysiamerupakan usaha meningkatkan produksi karet
dan kelapa sawit untuk ekspor dengan mendatangkan petani-petani yang terpilih.
Philipina mempunyai program pembukaan daerah Mindanau yang ruang lingkupnya
terbatas.
Kebijaksanaan kependudukan telah
dirumuskan dalam GBHN. Kebijaksanaan ini merupakan bagian dari kebijaksanaan kependudukan
yang meliputi:
a. Bidang-bidang
pengendalian kelahiran,
b. Penurunan
tingkat kematian terutama kematian anak-anak,
c. Perpanjangan
harapan hidup,
d. Penyebaran
penduduk yang lebih serasi dan seimbang,
e. Pola
urbanisasi yang lebih berimbang dan merata,
f. Perkembangan
dan penyebaran angkatan kerja.
Kebijaksanaan
kependudukan utama di Indonesia adalah kebijaksanaan Keluarga Berencana.
Kebijaksanaan ini sudah kluas diketahui oleh semua petugas KB maupun masyarakat
luas.
2.9 Pro-natalisme
Masyarakat
masa lalu pada umumna berpola keluarga besar, mendorong terjadinya banyak
kelahiran. Ini disebabkan karena keluarga besar atau jumlah penduduk besar
membawa keuntungan dalam berbagai bidang. Pada masa itu masyarakat yang
berpenghidupan pertanian akan maju dengan tersedianya banyak tenaga, berhubung
tanah masih leluasa dan menanti penggarap-penggarapnya. Makin besar keluarga
makin banyak tenaga yang dapat dikerahkan untuk memperbesar produksi. Oleh
karena itu orang meghendaki banyak anak. Orng tidak khawatir akan hari depan
anaknya, berapa saja yang dilahirkan. Tiap anak membawa rezekinya
masing-masing, masih banyak tanah yang menanti pengusahannya.
Kecuali
motif ekonomi tersebut, kuantitas besar merupakan kebanggaan atau gengsi bagi
kelompok penduduk, kelompok etnik atau kelompok religi. Kelompok yang merupakan
minoritas penduduk selalu cenderung mendorong memperbesar populasinya, juga
atas motif keamanan dan ketentramannya. Seringkali negara mempunyai
kebijaksanaan memperbesar jumlah peduduknya dengan pertimbangan memperkuat
pertahanan negara atau memperhebat kemampuan untuk berperang. Negara-negara
maju sekarang yang penduduknya hampir tidak tumbuh, atau yang dianggap terlalu
lambat pertumbuhannya, seperti Prancis, Jerman, Uni Soviet, dan lain-lain, juga
bersikap pro-natalis. Untuk mempercepat pertambahan penduduk, beberapa negara
memperlunak hambatan-hambatan atau melancarkan proses immigrasi, seperti Jerman
Barat, Australia, U.S.A, Canada, yang misalnya dengan suka menerima immigran
dari Vietnam. Motif memperbesar jumlah penduduk tersebut terutama dimaksudkan
untuk memperkuat angkatan-kerja, atau untuk mengisi wilayah-wilayah yang masih
terlalu jarang penduduknya guna perkembangan wilayah dan eksploitasi smber daya
alam. Pemerintah Prancis dan Uni-Soviet misalnya memberi dana atau hadiah dan
penghargaan-penghargaan kepada ibu-ibu yang mempunyai jumlah anak banyak untuk
merangsang kenaikan fertilisasi penduduk.
2.10 Anti-natalisme
Penduduk
di negara-negara maju pada umumnya berikap anti-natalisme, berpola kelurga kecil,
satu atau dua anak sudah cukup, karena banyak anak dirasakan sebagai beban,
ekonomi atau beban psikologi. Akibatnya ialah bahwa pertumbuhan penduduk di
negara-negara tersebut sangat lambat, bahkan dapat berhenti atau mundur. Memang
ada negara-negara yang mempunyai kebijaksanaan penduduk stabil, seperti Swedia
misalnya, tetapi kebanyakan negara maju menginginkan juga supaya penduduknya
bertambah meskipun lambat, sehingga pemerintahannya lebih bersikap pro dari
anti-natalisme.
Sebaliknya
sebagian besar negara-negara berkembang menentukan kebijaksanaan menentang
keluarga besar, karena kesuburan penduduk di negara-negara tersebut masih
tinggi dan mortalitasnya sudah menurun yang mengakibatkan ledakan penduduk.
Karena penduduk belum mempunyai kesadaran cukup akan masalah fertilitas yang
tinggi itu, maka pemerintah terpaksa mengundang “policy”-nya guna mengatasi
pertumbuhan yang terlampau cepat itu.
Indonesia
mengarahkan penduduknya mempunyai anak tiga saja. Bapak, Ibu dan tiga anak
merupakan keluarga ideal. Pada pegawai pemerintah dan pegawai lembaga swasta
pada umumnya ketiga anak tersebut sampai batas umur tertentu mendapat tunjangan
anak. Anak-anak selebihnya kalau ada tidak mendapat dana sosial itu. Untuk
dapat merealisasikan rencana tersebut program keluarga berencana, terutama
dengan kontrasepsi, sangat digalakkan pelaksanaannya.
India
yang penduduknya sudah sangat padat mempunyai langkah-langkah yang lebih keras.
Orang harus mempunyai dua anak saja. Pada pemerintahan yang lampau, keluarga
yang sudah mempunyai dua anak harus dimandulkan, yang terutama dilaksanakan
pada pihak ayah dengan vasektomi. Singapura yang merupakan negara yang
berwilayah sangat sempit juga menjalankan program keras. Seolah-olah orang
dipaksa untuk mempunyai anak maksimum dua. Apabila mempunyai anak lebih, anak
kelebihan tersebut diperlakukan lain. Ia dikenakan biaya tinggi di sekolah, dan
orang tua kehilangan hak membeli rumah murah. Agar prgram tersbut dapat
berjalan lancar, maka abortus provokatus tidak dilarang di negara itu, bahkan
digalakkan.
Tindakan
reskriktif terhadap pertumbuhan populasi ini sudah dilakukan pula oleh bangsa
atau suku-suku bangsa yang belum maju, yang seringkali pelaksanaannya
terselubung di dalam tradisi kemasyarakatan dan keagamaan; misalnya dengan tabu
berkumpul suami-istri untuk masa jangka waktu tertentu yang diatur adat; bahkan
ada pula yang sampai melakukan penumbuhan anak demi mengatasi masalah
kekurangan pangan.
2.11 Penduduk optimum
Dapatkah
penduduk optimum dijadikan sasaran kebujaksanaan negara ? yang dimaksud optimum
disini ialah optimum ekonomi, sebab dikenal optimum dengan kriteria lain,
seperti optimum secara kemiliteran, atau optimum dalam bidang keagamaan. Suatu
wilayah mencapai optimum ekonomi apabila terdapat sejumlah penduduk yang menghasilkan
produksi rata-rata maksimum perkapita dengan sumber daya dan kebutuhan produksi
yang tersedian di wilayah itu. Dalam keadaan ini ada suatu hubungan kuantitatif
antara tenaga kerja, modal, dan sumber daya; tetapi disamping itu dalam
pengelolaan suatu sistem ekonomi juga terdapat hubungan kualitatif.
Di
dalam sistem ekonomi statik jumlah penduduk optimum tadi memang dapat
ditentukan sebagai sasaran kebijaksanaan, tetapi sistem ekonomi zaman modern
ini sangat dinamik, setiap saat berubah arah dan berubah teknologi yang
membutuhkan jumlah penduduk optimumnya. Karena perubahan-perubahan berjalan
cepat maka sukar sekali atau tidak mungkin menentukan jumlah penduduk sebagai
sasaran kebijaksanaan.
Pada
sistem pertanian tradisional yang keadaannya statik dalam jangka waktu lama,
dapatlah jumlah penduduk ideal tersebut dijadikan sasaran. Pulau Jawa sebagai
daerah pertanian tradisional mengalami optimum ekonomi pada waktu penduduknya
lebih kurang 35 juta orang. Sekarang sudah berjumlah dua kali lipat sehingga produksi
rata-rata per-kapitanya jauh dibawah maksimum. Sebagai daerah pertanian jumlah
penduduknya harus dikurangkan, atau sistem ekonominya harus berubah
menyesuaikan dengan jumlah penduduknya agar dapat mendekati optimum ekonomi.
2.12 Retribusi penduduk
Manusia
yang menduduki wilayah di permukaan bumi ini seringkali dianggap kurang ideal
penyebarannya, sehinga tidak diperoleh jumlah optimum secara ekonomik, politik,
atau sosial. Oleh karena itu ada kecenderungan untuk menyebarkan penduduk ssuai
dengan sasaran-sasaran yang diinginkan. Meskipun ada kecenderungan untuk
melakukan pemindahan-pemindahan, pada umumnya pemerintahan negara tidak
mengundangkan kebijaksanaan khusus untuk menangani migrasi tersebut. Gerakan
pindah lebih diserahkan kepada keinginan penduduk yang ersangkutan; negara
hanya membuatkan prasarana-prasarana untuk menggalakkan restribusi yang ideal
itu, misalnya dengan membangun jalan-jalan untuk mempermudah perpindahan,
mendirikan pusat-pusat industri, perdagangan, dan sebagainya, untuk menarik
migran.
Andaikata
negara-negara di dunia ini belum membuat restriksi immigrasi ketat, tentu ada
baiknya dibuat kebijaksanaan internasional untuk menyebarkan penduduk dunia
lebih baik dari sekarang. Negara berkembang pada umumnya mempunyai penduduk sangat
padat terhadap sistem ekonominya sehingga mempunyai tekanan penduduk, tetapi
negara-negara lain sangat membatasi imigrasi. Memang ada negara-negara yang
memberikan kesempatan migran masuk, Australia misalnya, hanya negara itu
mengutamakan migran kulit putih terutama dari Inggris, yang justru tidak
seberapa mengalami tekanan penduduk.
Redistribusi
regional terjadi pula di banyak negara, seperti di USSR yaitu pindah atau
dipindahkan penduduk ke daerah sebelah Timur pegunungan Ural; juga di Indonesia
sendiri, terutama dari Jawa ke daerah-daerah lainnya, yang dikenal dengan
istilah transmigrasi. Kecuali itu ada pula redistribusi yang bersifat lokal,
misalnya di dalam wilayah kota akibat perencanaan kota sehingga zone-zone
tertentu harus dikosongkan untuk keperluan lain, untuk industri atau pusat
perbelanjaan, atau zone rekreasi. Selanjutnya dapat pula diadakan usaha-usaha
gerakan pindah dari kota ke desa untuk mengurangi kepadatan penduduk kota dan
membangkitkan kedinamikan lingkungan pedesaan.
2.13 Pokok Pikiran Tentang Aspek Ekonomi Dalam Kebijaksanaan Kependudukan
Beberapa Pokok Pikiran Tentang Aspek
Ekonomi Dalam Kebijaksanaan Kependudukan
:
1.
Kebijaksanaan
Ekonomi Makro
Dalam
hal kita membicarakan kebijaksaan ekonomi secara makro, biasanya hal ini
mencakup baik kebijaksaan fiskal, yaitu melalui APBN, dan kebijaksanaan
moneter, melalui sistim perbankan. Kebijaksanaan melalui jalur bank merupakan
tindakan moneter yang relevan dan efektif dalam hal ini adalah yang bersifat selektif dan mikro sifatnya.
Kebijaksaan dalam hal pembinaan kredit misalnya pola pengembangan dan
perluasaan kegiataan ini sedikit banyak akan mempengaruhi aspek-aspek demografi
,meskipun tentu saja tidak secara langsung. Namun ini tidak berarti kita dapat
begitu saja menggunakan kebijakan perkreditan ini untuk mendukung tercapainya
tujuan kependudukan, karena dalam sistim perbankan ada kondisi-kondisi atau
syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuk menjamin tidak terjadinya penyimpangan
dalam sistim bank itu sendiri, secara luas hal ini akan kita bicarakan dalam
pembahasan kebijaksaan ekonomi mikro. Dalam hal kebijaksanaan fiskal melalui
APBN kita dapat meninjau baik dari neraca pendapatan maupun dari neraca pembelanjaan.
Dari sisi neraca pendapatan, pendapatan negara adalah berdasar dari pajak
langsung maupun pajak tidak langsung, serta pajak-pajak dari sumber alamiah,
seperti minyak yang merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang penting.
Pajak-pajak
dari sumber alamiah ini sangat potensial sekali dan merupakan alat terpenting
guna mengotrol tingkat dan bentuk pengeksploitasian sumber-sumber alamiah itu
sendiri, dan juga bersamaan dengan pajak-pajak tanah bisa dipergunakan sebagai
bantuan untuk suatu kebijaksaan kependudukan dan lingkungan hidup yang terpadu.
Sebagai contoh pajak terhadap perusahaan kayu dapat dipergunakan untuk menjamin
pelaksanaan sistim reboisasi (penanaman hutan kembali). Pajak Langsung adalah
pajak terhadap pendapatan perorangan seperti upah, gaji, dan pajak atas laba
suatu perusahaan (pajak perusahaan). Pajak atas pendapatan perorangan akan
memberikan suatu kesempatan bagi pemerintah untuk menerapkan sistem insentif
dan dis insensitif yang dapat mempengaruhi jumlah anak yang akan dipunyai oleh
suatu keluarga. Tapi lebih efektif lagi apabila proporsi warga negara yang
wajib membayar pajak jumlahnya relatif sangat kecil sekali, maka pengaruhnya
terhadap tingkat fertilitas masih diragukan, setidak-tidaknya dalam waktu ini. Hal ini tentu saja tidak berarti kita harus
berhenti untuk tidak memikirkannya dimasa-masa yang akan datang, terutama
apabila kesadaran wajib pajak telah membudaya pada masyarakat kita.
Pajak
perusahaan dapat mendukung keberhasilan program keluarga berencana dengan memberikan
kelonggaran-kelonggaran pajak kepada perusahaan yang ikut membantu tercapainya
tujuan keluarga berencana di perusahaan tersebut, contohnya dengan pemberian
yang insentif kepada para pekerja (buruh) oleh perusahaan agar mereka bisa ikut
berKB. Atau perusahaan dapat membantu tercapainya tujuan dari kependudukan di
bidang penyebaran penduduk dengan cara mengurangi pajak obligasi dari
perusahaan yang ingin menempatkan diri di daerah lokasi transmigrasi. Tentu
untuk pelaksanaan kebijaksaan ini perlu didukung oleh suatu administrasi
perpajakan yang bersih dan keras agar perusahan benar-benar dapat merasakan
kebijaksanaan tersebut sebagai satu-satunya insentif dan karenanya perusahaan
tidak perlu mencari cara-cara lain yang tidak sehat dalam usaha mengurangi
kewajiban-kewajiban membayar pajak.
Pajak
tidak langsung adalah pajak penjualan/cukai dan bea masuk yang dikumpulkan dan
diberikan oleh pedagang kepada pemerintah. Kebijaksanaan bea masuk dalam
rangkaian proteksionisme industri dalam negeri misalnya secara tidak langsung
akan memberikan kesempatan kerja yang lebih luas. Namun kebijaksanaan ini agar
dapat efektif perlu diimbangi dengan program peningkatan ketrampilan untuk
mendukung kebijaksanaan tersebut. Contohnya kebijakan ekonomi dalam kaitan dengan
pajak tidak langsung ini yaitu pembatasan bea masuk terhadap alat-alat
kontrasepsi maupun alat-alat lain yang ditentukan dalam rangka pelaksanaan
program kependudukan dan keluarga berencana. Demikian pula pajak terhadap
kegiatan promosi KB seperti cukai iklan perlu dibebaskan atau diberikan
potongan pajak/cukai secara maksimal.
Sisi
kebijakan lain yaitu menyangkut pengeluaran atau belanja negara, pemerintah
Indonesia menganut sistem anggaran belanja berimbang dan oleh karenanya tidak mungkin mempergunakan
sistem anggaran defisit guna melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
telah ditetapkan. Namun demikian, dalam tingkat pengeluaran tertentu kita
dalam melihat alokasi sumber-sumber dana
atau anggaran yang disediakan untuk kegiatan kependudukan sebagai suatu ukuran
relatif dari penetapan prioritas pemerintah dalam melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Besarnya alkasi anggaran yang disediakan tentu
saja tergantung dari kemampuan instansi/sektor atau dpartemen tersebut
menjabarkan kegiatan-kegiatan operasionalnya secara jelas dan meyakinkan, baik
dalam menetapkan sasaran-sasaran yang ingi dicapai maupun ukuran-ukuran
keberhasilannya.
Sehubungan
dengan hal diatas, APBN dapat merupakan suatu alat dari suatu kebijaksanaan
kependudukan secara makro. Tujuan dari kebijaksanaan ini adalah untuk membuat
suatu pola dari pengeluaran pemerintah dan pola kegiatan-kegiatan pemerintah di
bidang ekonomi yang diarahkan untuk tercapainya tujuan dari kependudukan
sebagai program yang diintegrasikan. Pola dan pengaruh dari tindakan pendapatan
tersebut haruslah konsisten dan dapat membantu terlaksananya pelaksanaan
kebijaksanaan kependudukan.
2. Kebijaksanaan Ekonomi Mikro
Bersama
dalam kebijaksanaan ekonomi mikro, pemerintah mengembangkan berbagai program
dengan kegiatan-kegiatan yang diharapkan mampu merangsang pertumbuhan ekonomi
yang sehat pada berbagai lapisan atau kelompok masyarakat, termasuk usaha
peningkatan produktivitas dan pendapatan keluarga. Dalam kaitan ini dikenal
berbagai paket bantuan, baik yang berupa pengembangan dan pembinaan
ketrampilan, bimbingan manajemen maupun kredit seperti KIK,KMKP,BINAS dan
lain-lain. Bertitik tolak pada asumsi atau anggapan tersebut, serta melihat
bahwa ada kesamaan tugas dengan program kependudukan dan keluarga berencana
yaitu pelembagaan Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera, maka ada
kemungkinan untuk mengintegrasikan kedua program tersebut, meskipun tentu saja
harus secara selektif dengan memperhatikan agar tidak terjadi distorsi atau
gangguan/penyimpangan terhadapkebijaksanaan yang telah ditetapkan.
Sebagai
contoh, kuranglah tepat apabila kita ingin memasukkan kriteria kesertaan KB
terhadap program yang diarahkan kepada pemberian insentif kepada petani yang
dianggap berjasa menemukan teknologi baru dalam pengolahan tanah. Demikian pula
adalah kurang bijaksana apabila kita ingin menggalakkan program peningkatan
produksi pada perusahaan tetapi mengharuskan perusahaan-perusahaan tersebut
membayar insentif kepada karyawan mereka yang berKB. Jelas hal ini kurang tepat
karena tingkat produktivitas dari perusahaan tidaklah semata-mata disebabkan
oleh keikutsertaan atau tidaknya karyawan menjadi peserta (akseptor) keluarga
berencana. Apabila toh kebijaksanaan ini ingin diterapkan, maka hal ini
merupakan interference (campur tangan) dari pemerintah yang akan merugikan atau
mengganggu bidang usaha mereka. Dan dengan demikian tingkat kerjasama
pemerintah dengan pengusaha cenderung akan menurun.
Dari
contoh kasus diatas, perlu kiranya bagi kita untuk lebih berhati-hati apabila
kita hendak mengintegrasikan aspek-aspek kebijaksanaan ekonomi dalam
kebijaksanaan kependudukan karena meskipun antara keduanya ada kesamaan tujuan
secara umum, tetapi masing-masing mempunyai tujuan spesifik yang mungkin
komponen-komponennya tidak mungkin dikaitkan begitu saja satu dengan lainnya.
Apa yang kiranya diharapkan dalam suatu kebijaksanaan terpadu adalah bahwa
kebijaksanaan yang satu dapat memperkuat kebijaksanaan yang lain dan bukan
sebaliknya saling mengganggu atau mengakibatkan distorsi terhadap kebijaksanaan
yang ada.
2.14 Kebijaksanaan Kependudukan, Mortalitas, dan Morbiditas
Ada
pendapat yang menyatakan bahwa “karena semua Negara mempunyai kebijaksanaan
kesehatan dan ini ada hubungannya dengan mortalitas, sudah selayaknya jika
semua Negara mempunyai semacam “kebijaksanaan
kependudukan nasional” (PBB, 1979a :14). Meskipun demikian, Eldridge
(1968:383-4) mengingatkan bahwa apabila tujuan dari suatu tindakan pemerintah
adalah memperbaiki kesehatan penduduk, maka tindakan ini belum tentu merupakan
kebijaksanaan kependudukan. Untuk memperbaiki keadaan kurang gizi, Papua New
Guenia (1974:232) menganjurkan pemberian air susu ibu dan bukan susu botol
kepada bayi. Tindakan ini dapat digolongkan sebagai kebijaksanaan kependudukan
karena pemerintah juga bermaksud mengurangi mortalitas bayi dan anak.
Di negara-negara berkembang, campur
tangan pemerintah lebih berhasil dalam hal mengurangi mortalitas daripada
fertilitas. Jadi, negara-negara yang ingin mengurangi tingkat pertambahan
penduduk alaminya, harus memperhitungkan pengaruh turunnya mortalitas (United
Nations, 1979b: 24-7).
Dalam sejarah, kadang-kadang suatu
pemerintah berusaha menghancurkan suatu suku bangsa atau kelompok etnis
tertentu. Tindakan ini disebut genocide.
Kebijaksanaan Hitler terhadap orang yahudi adalah genocide, ia juga memerintahkan untuk menggempur bangsa Polandia sehingga
bangsa Jerman dapat memperoleh “ruang hidup” yang lebih luas. Karena
kebijaksanaan genocide oleh bangsa
Turki, 1,5 juta bangsa Armenia di Turki meninggal antara 1895 sampai 1920,
sedangkan setengah juta lainnya menjadi pengungsi (Lang and Walker, 1976).
2.15 Kebijaksanaan Kependudukan dan Fertilitas
Untuk mendorong pertambahan
penduduk, suatu pemerintah dapat menjalankan kebijaksanaan pro-natalis untuk menaikkan tingkat kelahiran. Kalau kebijaksanaan
pemerintah dirancang untuk mengurangi tingkat kelahiran, maka negara itu
anti-natalis.
Bila tingkat kematian tinggi (Eropa
abad 19), suatu negara biasanya bersikap pro-natalis. Bahkan setelah Perang Dunia
I, banyak negara Eropa mendorong kenaikan fertilitas dengan alasan-alasan
nasionalisme dan militer (Glass, 1940 dan 1967 ; Thomlinson , 1976 : Bab 8). Di beberapa
negara maju, rendahnya tingkat kelahiran dan menuanya penduduk sangat
mempengaruhi orientasi kebijaksanaan pemerintahnya (United Nations, 1979c :
85). Meskipun demikian kebijaksanaan pro-natalis di negara-negara maju ini
hanya kecil pengaruhnya, mungkin karena jumlah penduduknya sudah mencapai tahap
akhir dari transisi demografi (Stycos, 1977: 103-104) sehingga fertilitasnya
sangat rendah.
Gagasan “Berkembang biak atau punah”
dulu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah Australia, dan
pengaruh pro-natalis jelas tampak dalam tunjangan untuk wanita yang berstatus
ibu pada 1912, dan jaminan anak (atau tunjangan keluarga) pada 1941. Selain
dari itu, telah dikeluarkan berbagai larangan penjualan alat-alat kontrasepsi
dan pemasangan iklan tentang alat-alat kontrasepsi pada tahun 1931-1946
(National Population Inquiry, 1975:178, Browne, 1979: Bab 3)
“Undang-Undang tahun 1920” tentang
larangan pengguguran kandungan di Perancis dan semua koloni Perancis, juga
larangan iklan, distribusi serta penjualan alat- alat kontrasepsi, merupakan
satu warisan kolonial yang dikeluarkan oleh pemerintah Perancis. Undang-Undang
tersebut tidak berlaku lagi di Perancis pada tahun 1967. Akan tetapi, tidak
demikian halnya dengan di banyak negara Francophone (berbahasa Perancis) di
Afrika (Wolf, 1973:18). Untuk daerah Sub-Sahara di Afrika pada tahun 1976, tampak
bahwa 9 negara yang pemerintahnya ikut campur dalam usaha penurunan
fertilitasnya semua Anglophone (berbahasa Inggris), sedangkan 6 negara yang
jelas pro-natalis dulunya merupakan koloni negara-negara Katolik yaitu
Perancis, Spanyol, atau Portugis.
Sebelum tahun 1950, tidak ada negara
berkembang yang mempunyai kebijaksanaan kependudukan yang eksplisit, sedangkan
kebijaksanaan di negara-negara maju hampir semuanya dirancang untuk
meningkatkan fertilitas dan imigrasi.
Dalam rencana lima tahunnya yang pertama
(1951-1956), India merupakan negara berkembang pertama yang melaksanakan
kebijakan anti-natalis secara resmi. Menurut Symonds dan Carder (1973:202),
ketika pemerintah India minta bantuan internasional untuk menyokong
kebijaksanaan tersebut , makin sulitlah bagi badan – badan PBB untuk tetap
mengabaikan masalah tersebut.
Dari 41 negara yang pemerintahannya
ikut campur tangan dalam masalah penurunan fertilitas pada tahun 1976, 17
diantaranya termasuk termasuk wilayah ESCAP (Komisi Ekonomi dan Sosial untuk
Asia dan Pasifik), dan meliputi tiga negara “raksasa” dalam hal jumlah penduduk
di negara-negara berkembang, yaitu RRC, India, dan Indonesia. Ke empat negara
ESCAP yang pro-natalis semuanya adalah negara sosialis atau negara yang
perancanaan ekonominya terpusat yaitu Korea Utara, Mongolia, Kamboja, dan Laos
(United Nations , 1979b : Tabel 60). Meskipun Burma tidak menjalankan
kebijaksanaan kependudukan secara resmi, tetapi alat-alat kontrasepsi tidak
diijinkan dan tidak ada pelayanan keluarga berencana di sana (Whitney, 1976 :
347).
Proram Keluarga
Berencana
Program Keluarga Berencana adalah
sarana untuk mencapai penurunan tingkat kelahiran. Meskipun demikian, menurut
pengamatan Watson (1977 : 1), tingkat kebijaksanaan keluarga berencana hanya
dapat berubah sedikit demi sedikit saja, maka gagasan program keluarga
berencana dapat dicetuskan sebelum dikeluarkan kebijaksanaan yang resmi
Mauldin dan Berelson menggunakan 15 kriteria untuk membagi program keluarga ke dalam 3 kategori : kuat , sedang, dan lemah.
Mauldin dan Berelson menggunakan 15 kriteria untuk membagi program keluarga ke dalam 3 kategori : kuat , sedang, dan lemah.
Di Luar
Jangkauan Keluarga Berencana
Berelson (1969)
telah menggolongkan usul-usul untuk membatasi fertilitas yang terdapat di luar
jangkauan program keluarga berencana nasional. Berelson menerapkan 6 kriteria
(kesiapan ilmiah, kelonggaran politis, kemungkinan administratif, kemampuan
ekonomi, dapat diterima secara etis, dan efektivitas yang dapat dicapai). Wajib
sterilisasi untuk pria, misalnya, memang sangat efektif, tetapi agaknya tidak
dapat diterima secara etis. Kenyataannya, desas-desus tentang pelaksanaan
sterilisasi secara paksa di India, menyebabkan jatuhnya pemerintahan pada tahun
1977 (Gwatkin,1979)
Program disinsentif (pencabutan tunjangan anak setelah jumlah
anak tertentu dimiliki) di Singapura yang memiliki sanksi terhadap yang
berkeluarga besar, sukar dilaksanakan. Salah satu cara pelaksanaan
disinsentif adalah membuat skala biaya
untuk melahirkan di rumah sakit pemerintah yang jumlahnya meningkat secara
mencolok menurut paritas seorang ibu. Namun demikian, pada kenyataanya, staff
rumah sakit sangat sibuk sehingga hanya dapat memeriksa catatan-catatan tentang
kelahiran-kelahiran dalam bentuk sampel saja, bahkan rumah sakit tidak mungkin
menyeret orang tua ke pengadilan apabila mereka menolak rekening yang diajukan
(Salaff and Wong, 1978: 50-1)
Sebaliknya, dalam dasawarsa setelah
makalah Berelson terbit, beberapa kategori di “luar jangkauan keluarga
berencana” mengalami perkembangan yang cukup pesat. Misalnya Undang-Undang
Pengguguran telah diperlunak di banyak negara dan beberapa negara bagian
Australia (Cook, 1978).
2.16 Kebijaksanaan Kependudukan dan Nupsialitas
Duza dan Baldwin (1977 : 1) menulis
bahwa menurut ahli demografi, “meningkatkan usia kawin merupakan salah satu
dari hanya beberapa kebijaksanaan
intervensi di luar jangkuan keluarga berencana yang mungkin dapat
digunakan untuk memulai atau merangsang perubahan pertumbuhan penduduk secara
besar-besaran”. Tunisia adalah sebuah negara yang telah mencoba melakukan hal
ini dengan menaikkan usia kawin yang sah. Pada tahun 1964, usia kawin yang sah
untuk wanita ditetapkan 17 tahun, dan pria 20 tahun. Undang-Undang tahun 1964
ini hanya sebagian dari suatu program hukum yang berlaku sejak pertengahan
tahun 1950an, yang ditujukan kea rah pembangunan, pendidikan, dan perbaikan
kedudukan wanita. Pada bulan Juni 1956, pemerintah RRC mengumumkan suatu
kebijaksanaan untuk mendorong usia kawin yang lebih tua dan pembatasan
kelahiran (Chen, 1976 : 78), dengan asumsi bahwa perkawinan pada umur yang
lebih tua sering menurunkan tingkat kelahiran dan tingkat pertambahan penduduk.
2.17 Kebijaksanaan Kependudukan dan Migrasi Internaisonal yang Permanen
Latar Belakang
Sejarah
Appleyard (1977) telah menyusun
daftar tentang arus migrasi yang penting pada abad ke 19 dan permulaan abad ke
20 sebagai berikut :
1.
Migrasi tertua ke Amerika Serikat dari
Inggris , Irlandia, Skandinavia, dan Jerman.
2.
Migrasi baru tambahan ke Amerika Serikat
dan Amerika Latin dari Eropa Selatan dan Eropa Tenggara pada akhir abad ke 19
dan permulaan abad ke 20.
3.
Imigrasi Inggris dan negara Eropa
lainnya ke Kanada , Afrika Selatan, Australia, dan Selandia Baru
4.
Migrasi orang Yahudi ke Palestina.
5.
Migrasi orang Cina ke Asia Tenggara.
6.
Migrasi orang India, terutama ke Ceylon,
Malaysia, Mauritus dan Afrika Selatan sebagai pekerja kontrak di
tambang-tambang dan perkebunan.
7.
Migrasi orang Jepang sesudah tahun 1885
ke wilayah Asia di Rusia, Hawaii dan bagian lain dari Amerika Serikat.
Uraian selanjutnya akan
menunjukkan bahwa hampir semua arus tersebut di atas dalam beberapa tahap
dipengaruhi oleh kebijaksanaan pemerintah.
Mendukung dan
Mencegah Emigrasi
Undang-Undang yang membatasi
emigrasi berlaku umum di Eropa pada abad ke-17 dan 18, dan sekarang malahan
berlaku di hampir semua negara sosialis. Di Tiongkok, emigrasi juga tidak
diijinkan pada tahun 1718-1860, dan di Jepang hingga tahun 1885. Sebaliknya,
pemerintah Inggris telah beberapa kali, terutama pada pertengahan abad ke 19,
membantu emigrasi, sedangkan sejumlah negara termasuk Italia dan Malta secara
aktif mendukung emigrasi sesudah Perang Dunia II (United Nations, 1973 :
240-1).
Pada 1940-an, ketika penduduk pulau
kecil Malta berjumlah lebih dari 300.000, pemerintahnya memutuskan bahwa jumlah
optimal penduduk Malta adalah 250.000 jiwa dan ini akan tercapai dengan
emigrasi netto sebesar 5 persen per tahun.
Pada abad ke 19, migrasi bangsa India ke koloni-koloni Inggris merupakan persediaan tenaga kerja murah ke perkebunan- perkebunan setelah perbudakan larang. Setelah menerima banyak kritik, sistem masuknya migrant dan kuli kontrak ini dihapuskan pada tahun 1920. Suatu akta baru yang dikeluarkan pada tahun 1922, sangat membatasi perpindahan tenaga kerja yang tidak terampil dari India, tetapi mendukung migrasi jangka pendek bagi tenaga kerja terampil ke Malaysia, Ceylon, dan Burma (Davis, 1951 : Bab 13). Karena arus migrasi pada abad 19 dan 20 ini, maka sekarang banyak penduduk asal India bertempat tinggal di banyak tempat di Asia, Afrika, dan kepulauan Karibia, kehadiran mereka kadang-kadang menimbulkan berbagai masalah politik.
Pada abad ke 19, migrasi bangsa India ke koloni-koloni Inggris merupakan persediaan tenaga kerja murah ke perkebunan- perkebunan setelah perbudakan larang. Setelah menerima banyak kritik, sistem masuknya migrant dan kuli kontrak ini dihapuskan pada tahun 1920. Suatu akta baru yang dikeluarkan pada tahun 1922, sangat membatasi perpindahan tenaga kerja yang tidak terampil dari India, tetapi mendukung migrasi jangka pendek bagi tenaga kerja terampil ke Malaysia, Ceylon, dan Burma (Davis, 1951 : Bab 13). Karena arus migrasi pada abad 19 dan 20 ini, maka sekarang banyak penduduk asal India bertempat tinggal di banyak tempat di Asia, Afrika, dan kepulauan Karibia, kehadiran mereka kadang-kadang menimbulkan berbagai masalah politik.
Merangsang
Imigrasi
Pada abad ke 19, berbagai negara
terutama Amerika Serikat, Kanada, dan Selandia Baru, merangsang imigrasi dengan
menghadiahkan atau menjual tanah secara murah kepada imigran. Meskipun
demikian, menjelang tahun 1870, tanah tidak lagi merupakan faktor “penarik”
yang kuat bagi migrant Eropa (Borrie, 1970 : 90). Negara-negara penerima
seperti Brazil, Argentina, Australia dan Selandia Baru biasanya menarik imigran
dengan membantu biaya perjalanan.
Pada saat ini orang makin bebas mengadakan perjalanan, tetapi sejak Perang Dunia I, kesempatan untuk bermigrasi secara permanen makin sulit dengan dikeluarkannya undang-undang seperti Quota Acts tahun 1921 dan 1924 oleh Amerika Serikat. Diantara beberapa negara yang menjalankan kebijaksanaan yang jelas merangsang migrasi permanen namun terbatas adalah Amerika Serikat, Kanada, dan Australia (United Nations, 1979b: 79-80). Karena negara-negara ini mempunyai daerah yang luas, ada kemungkinan imigran gelap masuk.
Pada saat ini orang makin bebas mengadakan perjalanan, tetapi sejak Perang Dunia I, kesempatan untuk bermigrasi secara permanen makin sulit dengan dikeluarkannya undang-undang seperti Quota Acts tahun 1921 dan 1924 oleh Amerika Serikat. Diantara beberapa negara yang menjalankan kebijaksanaan yang jelas merangsang migrasi permanen namun terbatas adalah Amerika Serikat, Kanada, dan Australia (United Nations, 1979b: 79-80). Karena negara-negara ini mempunyai daerah yang luas, ada kemungkinan imigran gelap masuk.
Pengungsi
Kategori migrant yang khusus ini meliputi mereka yang tidak mau kembali ke negaranya sendiri karena takut dikejar-kejar sehubungan dengan ras mereka, agama, nasionalitas, paham politik, atau keanggotaan suatu organisasi social tertentu. Mereka yang status pengungsinya diakui oleh UNHCR (United Nation High Commissioner for Refugees) diurus dan dilindungi sampai mereka mendapat pemukiman baru yang permanen.
Kategori migrant yang khusus ini meliputi mereka yang tidak mau kembali ke negaranya sendiri karena takut dikejar-kejar sehubungan dengan ras mereka, agama, nasionalitas, paham politik, atau keanggotaan suatu organisasi social tertentu. Mereka yang status pengungsinya diakui oleh UNHCR (United Nation High Commissioner for Refugees) diurus dan dilindungi sampai mereka mendapat pemukiman baru yang permanen.
2.18 migrasi dan Migrasi Internasional Sementara
Banyak
negara menggunakan migran buruh untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja untuk sementara
atau jangka panjang. Bohning (1977) menggambarkan 4 kategori perpindahan
migrant dari negara miskin ke negara kaya sebagai berikut :
1.
Sekitar tahun 1976, Eropa Barat terutama Perancis dan Jerman memperkerjakan
sekitar 2,5 juta “buruh tamu” dari negara-negara
Lautan Tengah yang lebih miskin.
2.
Amerika Serikat dan Kanada mengijinkan
“non-migran” dari negara-negara miskin untuk bekerja sebagai pegawai musiman.
3.
Negara-negara minyak di Arabia
memperkerjakan sekurang-kurangnya satu juta orang asing dalam berbagai
pekerjaan.
4.
Afrika Selatan mempekerjakan sekitar
400.000 orang yang berasal dari negara-negara Afrika sekitarnya yang kebanyakan
digunakan dalam pekerjaan di pertambangan.
2.19 Kebijaksanaan-Kebijaksanaan Migrasi Intern
Kebijaksanaan-kebijaksanaan
migrasi intern antara lain bertujuan :
1.
Mendorong migrasi
intern permanen ke daerah-daerah tertentu.
2.
Mencegah migrasi
intern.
3.
Merubah komposisi
kesukuan atau jenis pekerjaan suatu daerah.
2.20 Pengertian E-KTP
E-KTP atau KTP
Elektronik adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem keamanan /
pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan
berbasis pada database kependudukan nasional. Penduduk hanya diperbolehkan
memiliki 1 (satu) KTP yang tercantum Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK
merupakan identitas tunggal setiap penduduk dan berlaku seumur hidup. NIK bersifat unik atau khas, tunggal
dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia dan
berlaku seumur hidup serta sudah dimiliki seseorang sejak bayi ketika
kelahirannya didaftarkan (akte kelahiran), sedang e-KTP wajib bagi yang masuk
usia 17 tahun atau kawin. “Jadi, NIK dicantumkan di e-KTP yang disimpan dalam chip
e-KTP dan diterbitkan setelah penduduk mengisi biodata penduduk per keluarga
(F1-01) dengan menggunakan SIAK Kabupaten/Kota. Nomor NIK yang ada di e-KTP
nantinya akan dijadikan dasar dalam penerbitan Paspor, Surat Izin Mengemudi
(SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Polis Asuransi, Sertifikat atas Hak Tanah
dan penerbitan dokumen identitas lainnya (Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Adminduk)
Penerapan KTP berbasis
NIK (Nomor Induk Kependudukan) telah sesuai dengan pasal 6 Perpres No.26 Tahun
2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional Jo
Perpres No. 35 Tahun 2010 tentang perubahan atas Perpres No. 26 Tahun 2009 yang
berbunyi :
1. KTP berbasis NIK memuat kode keamanan dan rekaman
elektronik sebagai alat verifikasi dan validasi data jati diri penduduk;
2. Rekaman
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi biodata, tanda tangan, pas
foto, dan sidik jari tangan penduduk yang bersangkutan;
3. Rekaman
seluruh sidik jari tangan penduduk disimpan dalam database kependudukan;
4.
Pengambilan seluruh sidik jari tangan penduduk sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan pada saat pengajuan permohonan KTP berbasis NIK, dengan
ketentuan : Untuk WNI, dilakukan di Kecamatan; dan Untuk orang asing yang
memiliki izin tinggal tetap dilakukan di Instansi Pelaksana ;
5. Rekaman
sidik jari tangan penduduk yang dimuat dalam KTP berbasis NIK sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berisi sidik jari telunjuk tangan kiri dan jari telunjuk
tangan kanan penduduk yang bersangkutan;
6. Rekaman
seluruh sidik jari tangan penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
perekaman sidik jari diatur oleh Peraturan Menteri.
2.21 Fungsi Dan Kegunaan E-KTP
Selain digunakan
sebagai Kartu Tanda Penduduk (KTP), manfaat dari e-KTP yaitu dapat
meminimalisirkan identitas ganda dan KTP palsu. Karena di dalam kartu telah
direkam data biometrik 2 sidik jari telunjuk penduduk, iris mata dan
gambar tanda tangan penduduk. Semua data itu disimpan dalam chip yang tertanam
dalam kartu sebagai alat penyimpan data secara elektronik, dan alat pengamanan
data (security) baik secara pembacaan, penyimpanan data maupun secara transfer
data.
Fungsinya antara lain :
1. Sebagai identitas jati diri
2. Berlaku
Nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk pengurusan izin,
pembukaan rekening Bank, dan sebagainya;
3. Mencegah KTP ganda dan pemalsuan KTP;
4. Terciptanya keakuratan data penduduk untuk
mendukung program pembangunan.
Dengan mengetahui
berbagai manfaat dari e-KTP dan sistem komputasinya maka masyarakat wajib
mengetahui cara menjaga kartu tersebut. “e-KTP diharapkan diperlakukan seperti
memperlakukan KTP yang sekarang. Jangan digunting atau dipotong pinggirnya,
karena berpotensi merusak lapisan antena dan chip, tetapi masih
berfungsi dengan baik apabila basah, kena air/hujan, tercelup.
2.22 Kelebihan e-KTP Bagi Masyarakat
Bisa Dipakai di Berbagai Instansi
Program e-KTP merupakan
program nasional, sehingga pencetakannya juga dilakukan di pusat.
Kabupaten/kota hanya membantu melakukan perekaman di daerah masing-masing, dan
hasil perekaman itu juga dicetak di pusat. Hingga saat ini di KKR belum ada e-
KTP yang sudah dicetak, dan hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan
e-KTP bisa dibagikan. Jika e-KTP sudah dikirim dan tiba di KKR, kita juga bakal
melakukan pemanggilan terhadap masyarakat untuk pengambilannya melalui jalur
undangan. Waktu pengambilan e-KTP juga akan diidentifikasi kembali melalui
sidik jari, apakah benar e-KTP yang akan diambil adalah miliknya.
e-KTP
jelas memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan KTP SIAK pada
umumnya. e-KTP merupakan kartu berisikan data pemilik yang bisa digunakan di
berbagai instansi seperti di bank, Imigrasi dan sebagainya. Sehingga kita tak
perlu melampirkan fotokopi KTP yang dilegalisir, ketika e-KTP dimasukkan, data
pribadi pemilik sudah bisa muncul.
Kelebihan
lainnya, e-KTP berlaku seluruh indonesia. Ketika berada di daerah lain tak
perlu membuat KTP di daerah tersebut, dengan e-KTP sudah bisa kendati pun
sebagai penduduk KKR.Selain itu e-KTP terdapat sidik jari dan iris mata,
sehingga tak bisa dipalsukan, karena sidik jari dan iris mata seseorang berbeda
satu dengan yang lainnya.
Program
e-KTP di Indonesia sudah digencar-gencarkan sejak tahum lalu. Namun
sampai sekarang, program
itu belum bisa direalisasikan sepenuhnya karena beberapa hal. Selain itu,
banyak pihak yang kurang setuju dengan e-KTP, membuat program ini semakin
molor. Mimin
sendiri sebenarnya kurang setuju atas program yang dicanangkan pemerintah ini.
Ada banyak sebab yang membuat mimin kurang menyetujui e-KTP.
2.23 Kekurangan e-KTP
1. Infrastruktur Kurang Memadai
Memang pertumbuhan Internet
di Indonesia sudah sangat maju. Namun tidak semuanya menjangkau ke
daerah-daerah terpencil. Juga tidak semua orang bisa mengoperasikan komputer
dengan baik. Seharusnya daripada mencanangkan program e-KTP, seharusnya
pemerintah mengadakan program "Indonesia Ber Internet". Maksudnya
adalah pemerintah mengayakan jaringan Internet untuk semua wilayah. Baik di
kota, maupun di desa. Atau juga dengan mengintegrasikan antara jalur Internet
dengan instalasi listrik sehingga hanya dengan mencolokan ke stopkontak, kita
langsung dapat terhubung ke Internet.
2. Wajib Mengirimkan Data yang Sangat Pribadi
2. Wajib Mengirimkan Data yang Sangat Pribadi
e-KTP ini selain harus memasukan data
pribadi selain nama, alamat, status, pengguna e-KTP juga diharuskan
memindai retinanya yang jelas-jelas itu merupakan data yang sangat rahasia dari
seorang manusia selain sidik jari. Memang alasannya untuk keamanan, tapi
terlalu berlebihan untuk memasukan data retina. Kesannya seperti memata-matai.
3. Rawan Hacking
3. Rawan Hacking
Karena
e-KTP menggunakan program komputer
dalam pembuatannya, maka pasti akan ada celah yang bisa dieksploitasi oleh cracker
untuk mencuri data seseorang pada e-KTP. Walaupun jarang terdengar cracker
yang melakukan aksi di Indonesia, tapi pasti ada. Bahkan banyak. Lihat saja
kasus defacing di Indonesia pada tahun 2011 banyak terjadi termasuk saat
defacing situs PSSI yang menghebohkan itu. Selain itu, server yang
menunjang e-KTP juga harus selalu siaga 24 jam setiap harinya agar mudah
diakses. Tapi kita tahu bahwa di Indonesia rawan dengan pemadaman bergilir.
Sehingga jika listrik yang menghidupkan server e-KTP mati, maka akan
sangat gawat sekali. Belum keamanan server baik itu secara langsung maupun
secara virtual harus selalu dijaga.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Lucas
, David. dkk.1995.Pengantar Kependudukan.Yogyakarta
: Gadjah Mada University Press.
Prawiro,
Ruslan H.1981.Kependudukan: Teori Fakta
dan Masalah. Bandung : Penerbit Alumni.
Salladien.1980.Konsep Dasar Demografi.Surabaya : PT
Bina Ilmu Surabaya
Wirosuharjo,
Kartomo.dkk. 1981. Dasar-Dasar Demografi.Jakarta
: Penerbit F.E.U.I
Wirosuharjo,
Kartomo.dkk. 1986.Kebijaksanaan Kependudukan
dan Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit F.E.U.I
EmoticonEmoticon