Look at this

Selasa, 20 November 2018

MAKALAH DEMOGRAFI KESEHATAN TENTANG KEBIJAKSANAAN KEPENDUDUKAN


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketika era globalisasi dan informasi belum sepenuhnya diantisipasi, Indonesia harus menghadapi krisis ekonomi dan reformasi yang berlanjut dengan berbagai tuntutan seperti otonomi, demokratisasi, dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Berbagai hal itu sering terkait satu dengan lainnya. Tuntutan seperti itupun merupakan hal yang wajar. Sayangnya, masalah-masalah besar itu tidak bias dipecahkan segera dan serempak, bahkan fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa satu permasalahanpun seringkali tidak dapat dipecahkan dengan memuaskan. Karenanya, masalah yang dihadapi Indonesia sekarang sangat kompleks dan berlarut-larut.
Apakah kaitan antara perubahan-perubahan itu dengan kebijakan kependudukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dilihat dulu lingkup permasalahan kependudukan. Pada satu sisi, permasalahan itu berputar pada masalah pokok demografis, yaitu fertilitas (kelahiran), mortalitas (kematian), dan mobilitas (migrasi).
Secara sepintas, terutama bagi orang awam, permasalahan ini tampak sederhana. Namun, bila menyadari bahwa permasalahan kependudukan tidak mengkaji individu per individu, masalahnya tidak pernah sederhana. Oleh karena itu, pada sisi lain, permasalahan kependudukan bias melebar ke berbagai permasalahan sosial ekonomi lain.
Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai kebijakan kependudukan, sehingga diharapakan dengan adanya pembahasan mengenai kebijakan kependudukan, akan menambah pengetahuan dan wawasan kita tentang kebijakan kependudukan.

1.2 Tujuan

Makalah ini dibuat dengan tujuan agar kita dapat mengerti dan memahami jumlah kependudukan dan bagaimana menciptakan kebijaksanaan kependudukan yang jumlahnya makin bertambah tiap tahun.

BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Definisi dan Tipe Kebijaksanaan Kependudukan

Menurut publikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (1973 : 632) tidak ada definisi kebijaksanaan kependudukan yang dapat diterima oleh semua orang. Dalam bab ini kebijaksanaan kependudukan meliputi semua tindakan pemerintah yang dengan sengaja (misalnya melalui hukum, peraturan dan program-program) yang bertujuan mempengaruhi pertumbuhan, jumlah, distribusi dan komposisi penduduk (Eldridge, 1968:632).
            Menurut Berelson (1971:173), kebijaksanaan ini juga meliputi semua tindakan pemerintah yang direncanakan untuk merubah peristiwa-peristiwa kependudukan, atau semua tindakan yang memang merubahnya. Menurut Stycos (1977:106), definisi Berelson yang luas itu membingungkan, karena mengikutsertakan tindakan-tindakan yang pengaruhnya tidak diharapkan.
Misalnya, suatu program kesehatan untuk mengurangi penyakit kelamin juga dapat mengurangi sterilitas yang menyebabkan naiknya fertilitas. Stycos menyimpulkan bahwa apabila pembuat kebijaksanaan tidak menyadari adanya pengaruh ini, atau bahkan mengabaikannya, maka program kesehatan tidak termasuk kebijakan kependudukan.
            Suatu definisi yang sama luasnya, yaitu yang dibuat oleh Nasional Academy of Sciences di USA (1974:86-7), memasukkan kebijakan-kebijakan kependudukan yang bersifat responsif. Ini meliputi cara-cara pemerintah menanggapi perubahan penduduk, misalnya dengan membangun lebih banyak sekolah apabila jumlah anak sekolah meningkat. Pemerintah Kenya menanggapi banyaknya migrasi ke Nairobi pada tahun 1960-an dengan mendorong para pengusaha swasta untuk menerima lebih banyak buruh (Farooq, 1975:143).
Tindakan kependudukan yang responsif ini lebih baik disebut sebagai kebijaksanaan ketenagakerjaan daripada sebagai kebikjasanaan kependudukan.
Membagi kebijaksanaan kependudukan ke dalam berbagai tipe dapat juga membingungkan. Menurut beberapa penulis, kebijaksanaan kependudukan dapat :
-          Langsung atay tidak langsung
-          Eksplisit atau implisit
-          Domestik atau internasional
-          Intervensi atau bukan intervensi

Kebijaksanaan yang langsung, mempengaruhi variabel-variabel kependudukan secara langsung : misalnya merangsang imigrasi dapat menaikkan tingkat pertumbuhan penduduk. Seperti disebutkan dalam Bab 4, naiknya tingkat pendidikan biasanyamenurunkan fertilitas. Jadi mewajibkan pendidikan hingga sekolah menengah secara tidak langsung akan mempengaruhi fertilitas. Menurut Veil (1978:316), orang perancis mungkin akan menolak campur tangan langsung dari pemerintah untuk menaikkan tingkat kelahiran, tetapi dengan sangat gembira mereka menerima tunjangan ini untuk mengganti sebagian biaya yang sudah dikeluarkan oleh orang tua untuk mengasuh anak, dengan harapan dapat mempertinggi tingkat fertilitas secara tidak langsung.
      Kebijaksanaan yang eksplisit sering dihubungkan dengan rencana pemerintah untuk mempengaruhi peristiwa –peristiwa kependudukan. Misalnya, setelah Perang Dunia II, Australia menjalankan kebijaksanaan langsung dan ekplisit dalam bidang imigrasi yang dirancang untuk menambah jumlah penduduknya. Kebijaksanaan yang emplisit tidak tertulis, karena kadang-kadang tujuannya dapat diterima secara umum, seperti misalnya menurunkan mortalitas atau jika kebijaksanaan itu diumumkan justru akan menimbulkan pertentangan politik ( Stamper, 1977:44). Pemerintah dapat saja memberi bantuan keuangan kepada klinik keluarga berencana ( klinik kesehatan ibu dan anak) misalnya, tetapi jika program keluarga berencana itu kurang disetujui oleh masyarakat, maka dalam peraturan pemerintah yang ditekankan adalah pelayanan kesehatan ibu dan anak.
      Menurut Dobson (1975:625), sasaran utama pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk, dan salah satu cara untuk mencapai sasaran itu adalah dengankebijaksanaan kependudukan. Bab 14c dari Gerakan Rencana Kependudukan Dunia yang disetujui di Bucharest pada tahun 1974 berbunyi :’Kependudukan dan pembanguna saling berkaitan : variabel-variabel kependudukan mempengaruhi dan juga dipengaruhi oleh pembangunan’(konperensi kependudukan dunia, 1975:157). Banyak negara ingina menggabungkan kebijaksanaan kependudukan ke dalam kebijaksanaan pembangunan yang lebih luas sehingga kebijaksanaan kependudukan yang eksplisit sering dianggap sebagai bagian dari rencana pembangunan. Stamper (1976:56-7) telah meneliti 60 buah rencana pembangunan dari negara-negara berkembnag : 15 diantaranya ( liam di Afrika, delapan di Asia dan dua di karibia) mempunyai tujuan atau target yang pasti, yaitu mengurangi tingkat pertumbuhan penduduk. Misalnya, Bangladesh merencanakan untuk menurunkan tingkat pertambahan alaminya dari 3% menjadi 2,8% dalam rencana periode tahun 1973-1978).
      Di RRC, pertumbuhan penduduk yang cepat dianggap berpengaruh jelek terhadap pertumbuhab ekonomi. Pemerintah mempunyai target mengurangi tingkat pertumbuhan penduduk per tahun menjadi 0,5% menjelang tahun 1985, terutama dengan cara menganjurkan keluarga dengan satu anak. Untuk mencapai tujuan ini, direncanakan sejumlah tindakan pemerintah yang meliputi produksi alat kontrasepsi secara besar-besaran dan pendidikan kependudukan, serta pemberian prioritas, untuk mendapatkan perumahan atau lowongan pekerjaan bagi wanita yang anaknya hanya satu ( Chen Muhua, 1979:19).
      Sampai disini kami baru membicarakan kebijaksanaan domestik saja. Besemeres (1976:19) mengartikan kebijaksanaan internasioanal sebagai ‘sikap resmi yang diambil oleh suatu negara dalam usahanya mempengaruhi tingkat-tingkat pertumbuhan penduduk dunia secara keseluruhan, atau suatu negara, ataupun suatu kawasan tertentu yang dinyatakan mempunyai ‘masalah kependudukan’. Sikap ini dapat tercermin dalam tindakan mau tidaknya membantu program keluarga berencana di negara-negara bagian lain, atau dalam kegiatan yang dilakukan oleh badan-badan internasional yang ada hubungannya dengan masalah-masalah kependudukan’. Sejumlah 30% dari anggaran UNFPA ( bantuan keuangan PBB untuk gerakan-gerakan kependudukan) disediakan oleh Amerika Serikat yang selain itu juga menjadi donor utama bagi banyak lembaga kependudukan internasioan lainnya, sedangkan pada dasarnya Uni Soviet menentang semua usaha internasional untuk menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk. Namun demikian, sikap Soviet tampak agak lunak mulai tahun 1960-an ( Besemeres, 1976:19; Brackett, 1968).
      Gerakan Rencana Kependudukan Dunia tahun 1974 juga mengusulkan agar tren dan kebijaksanaan kependudukan dicatat secara kontinu oleh PBB. Dari 156 negara yang diteliti oleh PBB pada tahun 1976, 132 diantaranya berpendapat bahwa tingkat pertambahan penduduk alami merupakan rintangan bagi pembangunan. Kebanyakan dari 132 negara tersebut menjalankan kebijaksanaan intervensi yang ‘multidimensional’ yaitu menggabungkan semua faktor yang mempengaruhi variabel-variabel demografi maupun ekonomi, sosial, politik, dan teknologi ( United Nations, 1979a :14). Meskipun demikian, PBB(1979b : 19) menekankan bahwa suatu pemerintah mungkin saja menjalankan kebijaksanaan non0intervensi yang ekspilit atau implisit. Keadaan semacam itu mungkin timbul setelah dilakukan penelitian secara mendalam; pemerintah lalu menarik kesimpulan bahwa pemerintah tidak perlu mengadakan intervensi.
      Sebelum membicarakan pengaruh kebijaksanaan kependudukan terhadap setiap komponen perubahan penduduk, perlu diingat bahwa beberapa kebijaksanaan tidak pernah dilaksanakan dan bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan mungkin berubah jika ada perubahan pemerintah(Stamper, 1977 :44). Revolusi Islam di Iran merupakan suatu contoh yang menarik tentang hal ini : pada tahun1979, pemerintah yang baru menyatakan bahwa pengguguran dan sterilisasi sukarela tidak sah (people, 1979). Lagi pula, harus diingat bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan kependudukan mungkin bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah yang lainnya. Perancis menganjurkan keluarga besar dengan memberikan tunjangan berdasarkan jumlah anak dan umurnya (Bourgeois-Pichat, 1972 :8). Bersamaan dengan itu, hak individu untuk memilih diakui sehingga hukum-hukum tentang pengguguran kandungan dan kontrasepsi lebih lunak.
2.1.1  Tiga Masalah Penting dalam Kebijaksanaan Kependudukan
Ada tiga masalah penting dalam bidang kependudukan di Indonesia saat ini, yaitu :
1.                  Pertambahan penduduk yang cukup tinggi, sekitar 2,5 % per tahun.
Doubling time akan terjadi dalam waktu 29 tahun. Kalau penduduk Indonesia dalam tahun 1979 jumlahnya 144 juta jiwa, maka 29 tahun lagi, yakni pada tahun 2008 akan menjadi 288 juta jiwa. Pada tahun 1979 dengan jumlah penduduk 144 juta jiwa, negara kita mengimpor : beras = 2,4 juta ton. Tekstil = 39.000 km panjang-nya.  Suatu negara termasuk pertambahannya kurang dari 1 %. Jika pertambahan penduduknya antara 1% - 2% termasuk sedang. Pertambahan penduduknya tinggi bila lebih dari 2 %.
2.                  Penyebaran yang tidak merata
Pulau Jawa yang luasnya hanya 6,83 % didiami 82,513%  jiwa atau 62,57% dari seluruh penduduk Indonesia. Kelihatan sekali ketimpangannya. Di daerah luar Pulau Jawa sangat sedikit penduduknya, sehingga kekurangan tenaga pembangun. Di Pulau Jawa banyak buruh tani tidak memiliki tanah. Perbandingan antara luas tanah dengan jumlah petani di Pulau Jawa banyak buruh tani tidak memiliki tanah 0,214 hektar. Menurut perhitungan bahwa petani belum dapat hidup layak bila memiliki tanah hanya 0,5 hektar.

Kedua permasalahan di atas ternyata menimbulkan persoalan yang lain :

1)                  Pertambahan penduduk dan kesejahteraan
Pertambahan penduduk yang cepat dapat mempengaruhi upaya meningkatkan kemakmuran.Pelita pelaksanaannya dari tahap ke tahap hasilnya sangat dipengaruhi oleh pertambahan penduduk.

2)                  Pertambahan penduduk dan masalah kesehatan
Pertambahan penduduk yang cepat menuntut adanya prasarana kesehatan yang pertambahannya lebih cepat pula. Misalnya program KB dapat berhasil dengan baik, bila ditunjang oleh sarana kesehatan. Sarana kesehatan memadai bila ditingkatkan segala sesuatu melebihi tingkat pertambahan penduduk, yang 2,5 % pertahun.

3)                  Pertambahan penduduk dan lapangan kerja
Saat ini diperkirakan terdapat 10 juta penganggur riel atau penganggur tidak kentara di negara kita. Pertambahan penduduk harus diimbangi dengan pertambahan lapangan kerja. Usaha pemerintab menampung dan member lapangan pekerjaan penduduk dengan melaksanakan proyek padat karya. Mengadakan pusat-pusat pendidikan keterampilan, agar yang berkepentingan dapat menentukan ataupun mencari lapangan kerja sendiri.

4)                  Pertambahan penduduk dan perumahan
Pertambahan penduduk menurut tersedianya perumahan, bila perumahan kurang akan terjadi tunawisma. Keadaan perumahan di negara kita masih jauh dari memadai. Menurut hasil sensus dalam tahun 1971 terdapat 65,3 % dari seluruh rumah tangga yang ada tinggal dalam satu kamar dan 23,2 % selebihnya tinggal dalam dua kamar.

5)                  Pertambahan penduduk dan bahan pangan
Peningkatan produksi pangan saat ini oleh pemerintah mendapat prioritas utama. Namun karena pertambahan penduduk yang cepat menyebabkan peningkatan produksi pangan seolah-olah tidak berarti. Angka impor beras di negara kita sangat tinggi. Masalah beras ini berkaitan dengan bahan makanan bergizi . Jika seseorang kekurangan gizi, maka kesegaran jasmaninya terganggu.
3.                  Masalah komposisi umur penduduk

Beban ketergantungan di Indonesia adalah tinggi. Penduduk yang berumur 15 tahun ke bawah, atau yang usia belum produktif terlalu banyak jumlahnya. Hal ini terjadi karena tingkat kesuburan penduduk Indonesia tinggi. Untuk mengatasinya memerlukan pengaturan yang cermat dan seksama, ditempuh melalui berbagai usaha yang dijalankan pemerintah.

 2.1.2 Kebijakan Kependudukan di Indonesia
Guna mengatasi persoalan kependudukan di Indonesia langkah-langkah kebijaksanaan pemerintah Indonesia antara lain :
1)                  Meratakan penyebaran penduduk
Mulai tahun 1917 usaha kearah pemecahan masalah ini telah mulai dirintis, namun jika dibandingkan dengan pertambahan penduduk Pulau Jawa dan Madura sendiri masih kurang efektif. Meskipun pelaksanaan transmigrasi berhasil memindahkan penduduk ke luar Pulau Jawa dan Madura rata-rata 50.000 jiwa per tahunnya. Karena dan Madura, maka seakan sia-sialah transmigrasi tersebut. Dalam tahun tersebut penduduk yang masuk ke Pulau Jawa.
Tujuan transmigrasi dalam pelaksanaan pembangunan di negara kita, yakni :
(1)Memindahkan penduduk dari daerah yang padat di Pulau Jawa, Madura dan Bali.
(2) Suatu usaha meratakan penduduk Indonesia
(3) Memberikan kesempatan kerja kepada penduduk yang menganggur di Pulau Jawa, Madura dan Bali.
(4) Mengeksploitir kekayaan alam di luar Pulau Jawa, yang merupakan realisasi yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 33.
(5) Untuk menghilangkan perasaan kesukuan dengan adanya komunikasi seluruh bangsa.
(6) Untuk pertahanan, keamanan dan ketahanan nasional, terutama untuk daerah yang kosong di perbatasan didisi dengan para Veteran
(7) Dengan penyebaran penduduk yang merata berarti program pembangunan merata di seluruh pelosok Tanah Air.

Daerah asal transmigrasi ada tiga golongan, yaitu :
           (1)Daerah tandus, kering, sering dilanda kelaparan
            Contoh : Gunung Kidul dan beberapa daerah di Wonogiri.
(2)Daerah yang sering dilanda bencana alam
Misalnya: letusan gunung api, banjir, erosi. Daerah ini antara lain di sekitar Gunung Merapi, Gunung Kelud , daerah Ciamis Selatan, dsb.

(3)Daerah padat penduduknya meskipun subur
Misalnya: Kabupaten Bantul ( di wilayah DIY)

Berdasarkan surat keputusan Presiden RI No.2 tahun 1972  dan No.1 tahun 1973 dinyatakan bahwa daerah asal transmigrasi adalah : Pulau Jawa, Madura , Bali dan Lombok.

Daerah penerima atau daerah tujuan transmigrasi,yaitu :
(1)Di Sumatera : Lampung, Bengkulu, Sumatra Selatan, Jambi, dan Sumatera Barat.
(2)Kalimantan : Kaltim, Kalsel, dan Kalbar.
(3)Sulawesi : Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara.
(4)Irian Jaya

Dalam pelaksanaan transmigrasi Pemerintah telah menetapkan kebijaksanaan , antara lain:
(1)               Para transmigran hendaknya mempunyai keuletan dan kemauan untuk bekerja keras di tempat  yang baru.
(2)               Daerah yang dituju merupakan daerah yang subur, tetapi belum dibuka dan arealnya cukup luas.
(3)               Mengadakan pusat-pusat pengembangan atau growth pool untuk menyediakan tenaga kerja di bidang industri. Dengan adanya program ini diharapkan dapat mendorong adanya transmigrasi spontan , yang nantinya dapat menjadi tenaga kerja baru di bidang industri.
Jenis – jenis transmigrasi yang ada di Indonesia saat ini gambarannya antara lain sebagai berikut :
1.                  Transmigrasi umum. Pemerintah dalam hal ini memberikan bantuan berupa: angkutan dalam perjalanan,pemeliharaan kesehatan dalam perjalanan, alat-alat pertanian, bibit-bibit, alat-alat dapur, tekstil, pakaian kerja, alat penggergajian diberikan kepada kelompok, tanah garapan seluas 2 hektar, rumah, jaminan hidup ( 18 bulan untuk proyek pasang surut dan 12 bulan untuk non pasang surut, pembinaan dan pengembangan.

2.                  Transmigrasi spontan dengan bantuan biaya. Pemerintah dalam hal ini memberikan bantuan berupa : angkutan dalam perjalanan, pemeliharaan kesehatan dalam perjalanan, 2 hektar tanah, bahan-bahan bangunan rumah dan alat-alat pertanian.

3.                  Transmigrasi spontan tanpa bantuan biaya. Pemerintah tidak memberikan bantuan berupa apapun, kecuali tanah garapan seluas 2 hektar.Namun dalam prakteknya penampungan transito memberikan bantuan kendaraan untuk mengangkut mereka dan sekaligus menampungnya.

4.                  Transmigrasi spontan dengan biaya bantuan presiden. Transmigrasi ini dilakukan berdasarkan instruksi Presiden tahun 1973. Presiden memberikan bantuan biaya Rp 100.000,00 per kepala keluarga yang diwujudkan dalam angkutan perjalanan, pemeliharaan kesehatan, bahan bangunan rumah, alat-alat pertanian dan jaminan hidup selama 4 bulan.

5.                  Transmigrasi sektoral, merupakan suatu jenis transmigrasi yang dibiayai bersama antara daerah asal dan daerah penempatan. Pembagian biaya dari masing-masing daerah sebanyak 50%. Bantuan yang diberikan kepada para transmigran ialah : biaya angkutan, pemeliharaan kesehatan, alat-alat pertanian, bibit-bibit, alat-alat dapur, tekstil, pakaian kerja, alat-alat penggergajian, tanah garapan seluas 2 hektar, rumah, jaminan hidup lamanya tergantung para persetujuan kedua belah pihak dan pembinaan. Jenis transmigrasi ini sebenarnya hampir sama dengan transmigrasi umum. Bedangya hanya pada jumlah alat-alat dan bibit-bibit, di samping biaya jaminan hidup ditanggung oleh masing-masing daerah.

6.                  Transmigrasi integral ABRI, jaminan yang diberikan sama dengan jumlah jaminan transmigrasi umum ditambah dengan bantuan Hankam Rp 100.000,00 per kepala keluarga yang diwujudkan dengan pendidikan ketrampilan dan alat-alat pertanian yang lebih lengkap.

Sebenarnya selain jenis transmigrasi di atas masih ada lagi transmigrasi :
-bedol desa
-famili/keliarga
-lokal
-gaya baru, dsb.
            Selama Pelita III diharapkan secara riil dapat ditransmigrasikan dari pulau Jawa, Madura, Bali dan Lombok sebanyak 12.500.000 jiwa.
            Dalam usaha agar suksesnya program transmigrasi, guna meratakan penyebaran penduduk, dewasa ini dikembangkan pengubahan orientasi berurbanisasi menjadi citra bertransmigrasi.\

2)                  Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian

            Peningkatan produksi pertanian dilaksanakan untuk :
-                      Penyediaan bahan pangan dalam jumlah cukup dan merata di seluruh Indonesia
-                      Peningkatan gizi makanan rakyat
-                      Peningkatan produksi pertanian lainnya, yang bukan bahan pangan.

Di Indonesia peningkatan produksi pangan sangat memungkinkan sebab :
1.                  Faktor alam :
-                      Wilayah Indonesia yang dapat dieksploitasi cukup luas
-                      Tanah dan iklim di Indonesia cocok untuk diolah sepanjang tahun.
2.                  Faktor manusian :
-                      Partisipasi seluruh lapisan masyarakat dalam bidang produksi pertanian.
-                      Dianjurkannya garden industri, misalnya penanaman palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, dsb.
-                      Mulai dibangun sekolah telah diajak memproduksi bidang pertanian.

Usaha peningkatan pangan dilakukan dengan Panca Usaha yang meliputi :
a.                   Pengolahan tanah yang baik
b.                  Pemakaian bibit unggul
c.                   Pemakaian pupuk
d.                  Pengairan
e.                   Pemberantasan hama
Dalam rangka peningkatan produksi pangan doprioritaskan kepada :
a.                   Industri yang langsung membantu peningkatan produksi pangan, misalnya : industri pupuk, obat hama, dan alat-alat pertanian.
b.                  Industri pengolahan hasil pertanian untuk konsumsi dalam dan luar negeri.
c.                   Industri yang menghasilkan barang pengganti impor, misalnya : Industri tekstil dan industri kertas.
d.                  Industri bahan bangunan, seperti : semen dan perkayuan yang membantu sarana perumahan.
e.                   Industri ringan dan kerajinan rakyat yang dapat membantu mengatasi penggangguran dan menambah tenaga kerja.
f.                   Industri yang langsung membantu peningkatan produksi pangan, misalnya : industri pupuk, obat hama, dan alat-alat pertanian.
g.                  Industri pengolahan hasil pertanian untuk konsumsi dalam dan luar negeri.
h.                  Industri yang menghasilkan barang pengganti impor, misalnya : Industri tekstil dan industri kertas.
i.                    Industri bahan bangunan, seperti : semen dan perkayuan yang membantu sarana perumahan.
j.                    Industri ringan dan kerajinan rakyat yang dapat membantu mengatasi penggangguran dan menambah tenaga kerja.
k.                   
3)                  Peningkatan industrialisasi

Peningkatan produksi meliputi barang-barang konsumsi. Misalnya : bahan sandang, alat rumah tangga, barang industri yang diperlukan sektor lain, dan merangsang sektor industri itu sendiri.
            Produksi pertambangan dan minyak bumi mengalami pertumbuhan pesat. Keadaan pulihnya ekonomi dunia pengaruhnya secara berangsur-angsur ikut meningkatkan industri kita.
4) Pengaturan kelahiran
            Kebijakan pengaturan kelahiran di Indonesia khususnya oleh pemerintah dituangkan dalam program keluarga berencana. Istilah keluarga berencana disingkat KB terjemahan dari family Planning atau Planned Parenthood. Pengertiannya adalah suatu ikhtiar manusia secara sengaja untuk mengatur kehamilan dalam keluarga secara tidak melawan hukum negara dan agama serta sesuai dengan moral pancasila. Tujuannya untuk mencapai kesejahteraan keluarga, masyarakat, negara, dan dunia.
            Penerapan KB di negara kita berorientasi kepada kepentingan kesejahtaraan rakyat, bukan pencegahan kelahiran semata-mata, seperti yang saat ini dilaksanakan di India dan RRC. KB yang semata-mata hanya untuk mencegah kelahiran bertentangan dengan moral Pancasila.

1.                  Tujuan pokok KB
Tujuan pokok KB adalah :
-                      Meningkatkan derajat kesejahtaraan dan kesehatan ibu dan anak serta keluarga dan bangsa pada umumnya.
-                      Meningkatkan derajat rakyat dengan cara menurunkan angka kelahiran, sehingga pertumbuhan penduduk tidak melebihi kemampuan kita untuk menaikkan produksi.
Dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, persoalan pengendalian penduduk merupakan faktor yang sangat menentukan, yang merupakan tantangan berat bagi kemajuan nasional kita. Dalam pelaksanaan KB yang penting adalah perubahan sikap mental bagi generasi yang akan datang.
2.                  Sasaran program nasioanal KB
Program nasional KB untuk mencapai sasarannya berdasarkan program, yang dibagi dalam dua jangka waktu.
a.                   Program jangka pendek
Sasaran yang diutamakan :
-                      Pasangan suami-istri yang baik mampu untuk berputera(elco),
-                      Orang dewasa yang sudah akan memasuki kehidupan rumah tangga,
-                      Tokoh-tokoh yang ada dalam masyarakat,
-                      Organisasi masyarakat,
-                      Aparat pemerinta dan lembaga-lembaga yang langsung berhubungan dengan masyarakat.
b.                  Program jangka panjang
Sasaran yang hendak dicapai dengan program ini adalah perubahan sikap mental yang secara sadar dan bertanggung-jawab atas masalah-masalah kependudukan. Program ini baru terasakan hasilnya dalam kurun waktu 10 sampai 15 tahun sesudahnya. Program ini disebut sebagai Pendidikan Kependudukan.

3.                  Bentuk Kegiatan
Bentuk Kegiatan program KB di Indonesia pada garis besarnya dibagi tiga kegiatan pokok, yaitu :
a.                   Penerangan dan motivasi
b.                  Pelayanan medis
c.                   Pembinaan lanjutan
Uraian lebih lanjut masing-masing kegiatan pokok diatas sebagai berikut :
a.                   Penerangan dan motivasi
Kegiatannya antara lain :
-                      Memberikan penerangan kepada masyarakat tentang kebijaksanaan pemerintah dalam pelaksanaan program KB.
-                      Menyebarluaskan ide KB di kalangan masyarakat, sehingga cita-cita KB dapat diterima, didukung dan dijadikan pandangan hidup seluruh rakyat.
-                      Mengajak dan mendorong organisasi masyarakat untuk berpartisipasi terhadap pelaksanaan program nasional KB.
-                      Membina para akseptor untuk mencegah kemungkinan terjadinya drops out.
Pelaksanaan penerangan dan motivasi secara : penerangan umum (public information), penerangan kelompok (community education) dan penerangan peorangan(face to face communication).
b.                  Pelayanan medis
Kegiatannya antara lain :
                        Medis teknis meliputi :
-                      Mengadakan seleksi terhadap peserta baru.
-                      Menentukan jenis kontrasepsi yang dikehendaki oleh seseorang calon peserta atas dasar indikasi medis.
-                      Mengatasi keluhan atau komplikasi dari pada peserta.
-                      Melaksanakan pemasangan atau pelepasan alat kontrasepsi.

Medis administratif :
-                      Menyelesaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan administrasi, keuangan,
distribusi kontrasepsi, pelaporan.
-                      Memajukan kebutuhan obat-obatan kontrasepsi dengan saluran yang sewajarnya.

c.                   Pembinaan lebih lanjut
Bidang ini memiliki arti yang penting pula. Para akseptor dengan susah payah berhasil kita ajak mengikuti program KB adakalanya tidak mantap hatinya, jika tidak terus menerus terbina. Para PLKB ( Petugas Lapangan Keluarga Berencana) bertugas menangani program ini, di samping mencari akseptor baru.

4.                  Pelaksanaan KB di Indonesia
     
Situasi Kependudukan
Jumlah Penduduk
Tanpa KB
Jika KB berhasil
1.      Jumlah penduduk
2.      Densitas per km2
3.      Bayi lahir per menit
4.      Bayi mati per menit
5.      Tambah penduduk per menit
6.      Anak usia 0-14 tahun
7.      Dewasa usia 15-64 tahun(bekerja)
8.      Tua usia 65 tahun ke atas
9.      Depedency ratio per 100 penduduk
282 juta
148 jiwa
22 jiwa
7 jiwa
15 jiwa
127 juta
48 juta
7 juta
91 jiwa
220 juta
116 jiwa
10 jiwa
6 jiwa
4 jiwa
73 juta
140 juta
7 juta
57 jiwa

Berdasarkan asumsi diatas suksesnya program KB merupakan faktor yang dominan bagi berhasilnya pembangunan negara kita dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sejak dicanangkan program KB target yang direncanakan setiap tahun, setelah dilaksanakan dievaluasi hasilnya. Adapun perkembangan target dan hasil akseptor program KB tahun 1969-1977.

Salah satu ukuran yang dipergunakan untuk menilai hasil pelaksanaan program KB secara dini adalah dengan indikator peserta KB baru. Di dalam face perluasan jangkauan usaha pertama diarahkan untuk memperkenalkan program KB, sehingga masyarakat mau diajak menjadi peserta program KB.

Ditinjau dari indikasi awal pada tahun 1978/1979 selama triwulan I( April s.d Juni 1978) diseluruh 16 propinsi tercatat 457.869 peserta KB baru.  Dari hasil tersebut metode kontrasepsi yang dipakai terdiri dari : 68,65% pil, 18,57% IUD, 7,93% kondom, 0,05% tablet, 2,89% suntikan dan 1,91% metode lainnya.
Propinsi-propinsi di pulau Jawa dan Bali pada kurun waktu tersebut tercatat 380.733 peserta baru. Mereka menggunakan metode kontrasepsi 67,53% pil, 19,75% IUD, 8,26% kondom, 0,05% tablet vaginal, 2,46% suntikan dan 1,96% menggunakan metode yang lain.
Sedangkan untuk propinsi-propinsi lain di luar pulau Jawa dan Bali tercatat akseptor baru berjumlah 77.136. Mereka menggunakan metode kontrasepsi 74,17% pil, 12,74% IUD, 6,31% kondom, 0,03% tablet, 5,04% suntikan dan 1,71% metode yang lain.
Pelaksanaan program nasional KB selama Pelita II berhasil menurunkan tingkat fertilitas di berbagai daerah sekitar 33% atau rata-rata 17% dibanding dengan tingkat fertilitas tahun 1971. Selain itu peranan masyarakat bertambah meningkat, dan dukungan aparatur pemerintah. Peserta KB baru pasangan usia subur(elco) selama Pelita II sebanyak 10.167.508 orang. Di antara mereka yang mengikuti program KB aktif sebanyak 4.925.622 jiwa atau 48,44%. Mereka dapat menurunkan tingkat fertilitas antara 18 sampai dengan 22 permil.
Dr. Harjono Sujono Deputy Kepala BKKBN Pusat Bidang KB menyatakan bahwa pelaksanaan program nasional KB dalam Pelita III lebih sukar, dibanding dengan selama Pelita I dan II. Kesukaran tersebut antara lain disebabkan jumlah pasangan usia subur mencapai sekitar 21 sampai 23 juta dalam Pelita III. Dari jumlah sebesar itu 13 sampai 14 juta mengikuti program KB, sedangkan sisanya pernah ber-KB namun drops-out, karena sebab-sebab tertentu.
Sedangkan Dr. Henry Pardoko Deputy Kepala BKKBN Pusat Bidang Kependudukan mengharapkan agar cakrawala bidang kependudukan diperluas selama Pelita III. Masalahnya sangat kompleks, tidak hanya berinti pada soal KB saja, tetapi juga menjangkau masalah-masalah lainnya yang menunjang program tersebut. Masalah-masalah yang dimaksud antara lain : perlunya pengembangan Undang-Undang tentang terminasi kehamilan,penggunaan obat-obatan untuk induksi bersalin, tentang peraturan tunjangan keluarga dan sistem penggajian yang ada.
Kebijakan dan program kependudukan selama Pelita III menurut pendapat Dr. Henry Pardoko mencakup : program kependudukan yang mendukung program nasional KB, memantapkan kerjasama dan koordinasi dengan sektor-sektor pembangunan lain dalam program-program kependudukan yang tengah dilaksanakan. Termasuk pula mengembangkan program-program kependudukan yang belum dilaksanakan.

2.2 Ruang lingkup kebijaksanaan kependudukan

Kebijakan kependudukan berhubungan dengan dinamika kependudukan, yait perubahan-perubahan terhadap tingkat fertilitas, mortalitas dan migrasi.
Kebijaksanaan kependudukan dapat memepengaruhi fertilitas baik untuk menaikkan maupun menurunkan angka kelahiran. Pada waktu ini kebijaksanaan mengenai fertilitas sering hanya dihubungkan dengan penurunan ferttilitas melalui Keluarga Berencana. Bahkan banyak orang menganggap kebijaksanaan kependudukan identik dengan Keluarga Berencana.
Kebijaksanaan mengenai mortalitas biasanya langsung dihubungkan dengan kesehatan, bahkan sering dihubungkan dengan klinik, rumah sakit dan dokter. Mortalitas mempunyai hubungan yang erat dengan morbiditas (tentang sakit). Sebagian besar orang yang mati disebabkan karena sakit, dan hanya sebagian kecil meninggal karena kecelakaan. Sebagian sangat kecil mati karena bunuh diri. Karena itu mortalitas dan morbiditas harus dipahami sekaligus.
Migrasi merupakan mekanisme redistribusi penduduk. Hanya dengan migrasi distribusi penduduk dapat dipengaruhi dalam jangka relatif pendek. Dalam membahas migrasi, biasanya urbanisasi dicakup. Urbanisasi sebagai keadaan dan proses pemusatan penduduk di daerah urban (perkotaan) banyak dipengaruhi oleh migrasi dari desa ke kota. Karena itu ada anggapan seolah-olah urbanisasi disebabkan oleh migrasi desa-kota. Padahal urbanisasi disebabkan oleh tiga faktor, yaitu pertambahan alami, migrasi desa-kota dan reklasifikasi daerah pedesaan (rural) menjadi perkotaan (urban).
Masalah yang dapat mempengaruhi fertilitas ialah nuptialitas, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan. Umur perkawinan pertama, gampang atau sukarnya perceraian serta perkawinan ulangdapat di hubungkan dengan kebijaksanaan kependudukan juga.

2.3 Macam kebijaksanaan kependudukan

            Kebijaksanaan kependudukan dapat bersifat nasional terpadu atau sektoral. Kebijaksanaan nasional terpadu mencakup segala segi kehidupan dengan satu tujuan mengenai kependudukan. Semua komponen yang mempunyai hubungan dengan penduduk mempunyai orientasi yang sama, sehingga merupakan satu sistem. Masing-masing komponen mempunyai kaitan dengan komponen-komponen lain yang menuju pada satu sasaran yang ditentukan, misalnya penurunan fertilitas, penurunan mortalitas atau peningkatan migrasi penduduk.
            Kebijaksanaan sektoral menyerahkan maslah kependudukan kepada satu sektor. Kegiatan sektoral dapat dikoordinasikan, tetapi dalam kenyataan koordinasi sukar di laksanakan.

2.4 Program-program Kependudukan

            Kegiatan nyata untuk melaksanakan kebijaksanaan dengan sasaran tertentu, batas waktu dan dana tertentu merupakan satu program. Kegiatan demikian yang bertujuan mempengaruhi atau menanggapi aspek-aspek kependudukan merupakan program kependudukan.
            Kegiatan keluarga berencana adalah program kependudukan. Peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang akan menurunkan angka kematian bayi juga merupakan program kependudukan.
            Pemindahan penduduk yang di atur pemerintah dalam bentuk transmigrasi adalah program kependudukan.
            Di Indonesia, karena menurut sejarah kegiatan transmigrasi dan keluarga berencana mendahului perumusan kebijaksanaan kependudukan, kegiatan itu merupakan program sendiri-sendiri. Pengertian program kependudukan bahkan diberi pengertian sempit yaitu kegiatan yang mendukung program keluarga berencana. Dalam kenyataan program kependudukan di Indonesia di artikan sebagai kegiatan “beyond family planning” yaitu kegiatan-kegiatan yang menjangkau lebih jauh dari keluarga berencana, misalnya perbaikan gizi, peningkatan pendapatan dan lain-lain yang dapat menambah kemantapan program keluarga berencana.
            Transmigrasi merupakan kebijaksanaan kependudukan mengenai migrasi. Kebijaksanaanya adalah redistribusi penduduk melalui migrasi yang diatur oleh Pemerintah. Transmigrasi yang diatur itu hanya meliputi bagian kecil migrasi, tetapi dilakukan secara sadar dan dengan tujuan yang jelas. Sejak tahun 1972 dengan Undang-Undang no.3 tahun 1972 yang mengatur Pokok-Pokok   Penyelenggaraan Transmigrasi, transmigrasi tidak hanya mempunyai aspek kependudukan tetapi juga aspek ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan. Akan tetapi karena itu di jalankan dengan mempengaruhi variabel migrasi, maka transmigrasi merupakan satu program kependudukan.
            Usaha penyebaran fasilitas kesahatan secara merata sehingga menjangkau seluruh penduduk merupakan satu program kependudukan dalam rangka kebijaksanaan menurunkan kematian dan meningkatkan harapan hidup penduduk.

2.5 Kebijaksanaan Kependudukan di Berbagai Negara

            Pengertian kebijaksanaan kependudukan dibanyak negara dihubungkan dengan keluarga berencana. Di negara-negara liberal Barat, pemerintah negara-negara itu mengambil sikap tidak ikut campur. Di negara-negara itu usaha keluarga berencana dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat dengan dana dari masyarakat pula. Prakarsa keluarga berencana datang dari kalangan masyarakat atas yang mempunyai pendidikan paling tinggi pula. Dengan demikian, pengetahuan, sikap positif terhadap keluarga berencana serta praktek KB dimulai dari golongan atas menurun ke golongan menengah terus ke golongan buruh dan akhirnya mencapai para petani di desa-desa.
            Bagian besar penduduk dunia diam di negara-negara sedang berkembang. Kebijaksanan    kependudukan oleh sebagian pemerintahnya melalui program KB hasilnya sudah mulai tampak.
            Sebagian penduduk dunia di negara yang sedang berkembang belum banyak dijamah oleh keluarga berencana baik melalui kebijaksanaan pemerintah maupun oleh organisasi masyarakat.

2.6 Macam-macam Kebijaksanaan Kependudukan

            Kebijaksanaan yang banyak dianut adalah anti natalis. Kebijaksanaan ini mempunyai tujuan untuk menurunkan angka kelahiran. Negara-negara yang menjalankan kebijaksanaan keluarga berencana bersifat antinatalis, sekalipun alasannya bermacam-macam. Alasan yang umum digunakan adalah untuk kesejahteraan ibu dan anak, baik ditinjau dari kesehatan ibu dan anak maupun pertimbangan kesejahteraan sosial ekonomi keluarga pada umumnya. Dengan demikian keluarga berencana tidak dikemukakan dalam kerangka makro, tetapi mikro, demi kepentingan keluarga. Semboyan yang digunakan untuk mencapai keluarga kecil yang bahagia mendasari program-program itu.
            Memang keluarga-keluarga tidak akan berminat terhadap masalah makro, misalnya apakah itu berhubungan ddengan kepadatan penduduk, cepatnya pertumbuhan ataupun penyebaran penduduk yang tidak merata. Hal-hal ini merupakan masalah bagi pimpinan-pimpinan masyarakat baik dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan.
            Kebijaksanaan pronatalis tidak banyak diikuti. Contoh yang sering dipakai adalah Perancis sesudah kalah perang dengan Jerman pada tahun 1871. Pada waktu itu timbul gagasan untuk membalas kekalahan (revanche idea) terhadap Jerman. Keluarga-keluarga dianjurkan untuk memperbesar jumlah keluarga dengan meningkatkan kelahiran. Berbagai subsidi maupun fasilitas-fasilitas di berikan oleh pemerintah, tetapi hasilnya diragukan.
            Negara-negara yang dipimpin oleh diktator-diktator yang menyiapkan perang menjelang Perang Dunia II, yaitu Rusia, Jerman, Itali dan Jepang mempunyai kebijaksanaan pronatalis pada waktu itu.
            Sesudah Perang Dunia II negara-negara yang mempunyai kebijaksanaan pronatalis maupun anti natalis dapat dilakukan dengan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini kebijaksanaan keluarga berencana dengan menggunakan kontrasepsi merupakan kebijaksanaan mempengaruhi variabel kependudukan dengan membatasi kelahiran secara langsung.
            Sesudah pemerintahan Orde Baru, Indonesia mempunyai kebijaksanaan antinatalis dapat dilakukan dengan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini kebijaksanaan keluarga berencana dengan menggunakan kontrasepsi merupakan kebijaksanaan yang mempengaruhi variabel kependudukan dengan membatasi kelahiran secara langsung.

2.7 Perbedaan Kebijaksanaan Kependudukan di berbagai Negara

            Negara-negara Asia terbagi dua malam kebijaksanaan kependudukanya. Negara-negara Asia Selatan, Tenggara dan Timur hampir semua mengikuti kebijaksanaan anti natalis. Dari Pakistan sampai Jepang, dengan perkecualian Birma dan Vietnam, semuanya menbjalankan program keluarga berencana. RRC bahkan sejak akhir-akhir ini mengusahakan keluarga dengan hanya satu anak setelah penduduk mendekati jumlah satu milyar.
            Di negara-negara Asia Bagian Barat yang sebagian besar berpenduduk Arab Islam, hanya Iran yang padaa masa Syah Iran menjalankan kebijaksanaan anti natalis. Negara-negara lainnya tidak mempunyai kebijaksanaan kependudukan yang jelas, kecuali Kuwait yang nyata-nyata mempunyai kebijaksanaan pronatalis. Negara-negara Eropa tidak mempunyai kebijaksanaan kependudukan yang secara resmi dinyatakan. Program-program yang mempunyai akibat kependudukan lebih bersifat sosial ekonomi atau sekedar menampung akibat-akibat negatif tindakan masyarakat. Sebagai misal legalisasi pengguguran kandungan terutama di negara blok komunis bukanlah untuk merunkan fertilitas, tetapi untuk menghindarkan pengguguran tidak syah secara sembunyi-sembunyi yang membahayakan kesehatan ibu.
            Negara-negara Afrika pada umumnya merasakan kekurangan penduduk. Pendekatan dengan keluarga berencana sebagai usaha peningkatan kesejahteraan keluarga hanya diikuti oleh Mesir dan Tunisia di negara-negara Arab di Afrika dan oleh Ghana serta Kenya diantara negara-negara dengan penduduk berkulit hitam.
            Di Amerika Latinmengikuti paham yang menyatakan bahwa apabila keadaan sosial ekonomi diperbaiki maka angka kelahiran akan turun, seperti halnya dalam teori transisi demografi.
            Meskipun di Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin program-program keluarga berencana belum banyak diikuti sebanyak di Asia Selatan, Tenggara dan Timur, kecendrungan untuk ke sikap anti natalis memasuki golongan-golongan terbatas masyarakatnya, sehingganakhirnya akan mendorong ke arah kebijaksanaan anti natalis.

2.8 Kebijaksanaan Kependudukan di Indonesia

            Pemerintah Indonesia Merdeka meneruskan program pemindaha penduduk dengan transmigrasi. Konsep transmigrasi yang dicetuskan pada permulaan Kemerdekaan Indonesia merupakan kebijaksanaan kependudukan yang secara sadar hendak mengurangi pertumbuhan penduduk di Jawa, tetapi mengurangi penduduk pulau Jawa secara absolut. Jawa diperkirakan hanya mampu menampung 30 juta penduduk dan selebihnya harus transmigrasikan.
            Kebijaksanaan kependudukan itu dijalankan sampai pemerintahan Orde Baru memberikan orientasi yang luas mulai tahun 1972. Undang-Undang no.3 tahun 1972 memberikan tujuan yang luas pada transmigrasi di mana pertimbangan demografis hanya merupakan satu dari 7 sasaran yang terdiri atas :
a.       Peningkata taraf hidup
b.      Pembangunan daerah
c.       Keseimbangan penyebaran penduduk
d.      Pembangunan yang merata di seluruh Indonesia
e.       Pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia
f.       Kesatuan dan persatuan bangsa
g.      Memperkuat pertahanan dan keamanan nasional.
Kebijaksanaan transmigrasi ini mencakup segi-segi politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan di samping kebijaksanaan redistribusi penduduk.kebijaksanaan ini merupakan kebijaksaan sektoral dan regional. Di samping itu transmigrasi di arahkan kepada Transmigrasi Swakarsa yang akan mengurangi beban pemerintah dan mendorong penduduk berinisiatif untuk pindah dalam rangka pembangunan daerah asal maupun daerah tujuan transmigrasi. Di dunia ini tidak ada negara lain yang mempunyai kebijaksanaan redistribusi penduduk yang lebih luas dari Indonesia. Malysia dan Piliphina mempunyai program pemukiman penduduk (settlement) yang terbatas dan lebih bersifat kegiatan pembangunan ekonomi. Proyek Felda (Federal Land Development Authority) di Malaysiamerupakan usaha meningkatkan produksi karet dan kelapa sawit untuk ekspor dengan mendatangkan petani-petani yang terpilih. Philipina mempunyai program pembukaan daerah Mindanau yang ruang lingkupnya terbatas.
Kebijaksanaan kependudukan telah dirumuskan dalam GBHN. Kebijaksanaan ini merupakan bagian dari kebijaksanaan kependudukan yang meliputi:
a.       Bidang-bidang pengendalian kelahiran,
b.      Penurunan tingkat kematian terutama kematian anak-anak,
c.       Perpanjangan harapan hidup,
d.      Penyebaran penduduk yang lebih serasi dan seimbang,
e.       Pola urbanisasi yang lebih berimbang dan merata,
f.       Perkembangan dan penyebaran angkatan kerja.
Kebijaksanaan kependudukan utama di Indonesia adalah kebijaksanaan Keluarga Berencana. Kebijaksanaan ini sudah kluas diketahui oleh semua petugas KB maupun masyarakat luas.

2.9 Pro-natalisme

                Masyarakat masa lalu pada umumna berpola keluarga besar, mendorong terjadinya banyak kelahiran. Ini disebabkan karena keluarga besar atau jumlah penduduk besar membawa keuntungan dalam berbagai bidang. Pada masa itu masyarakat yang berpenghidupan pertanian akan maju dengan tersedianya banyak tenaga, berhubung tanah masih leluasa dan menanti penggarap-penggarapnya. Makin besar keluarga makin banyak tenaga yang dapat dikerahkan untuk memperbesar produksi. Oleh karena itu orang meghendaki banyak anak. Orng tidak khawatir akan hari depan anaknya, berapa saja yang dilahirkan. Tiap anak membawa rezekinya masing-masing, masih banyak tanah yang menanti pengusahannya.
            Kecuali motif ekonomi tersebut, kuantitas besar merupakan kebanggaan atau gengsi bagi kelompok penduduk, kelompok etnik atau kelompok religi. Kelompok yang merupakan minoritas penduduk selalu cenderung mendorong memperbesar populasinya, juga atas motif keamanan dan ketentramannya. Seringkali negara mempunyai kebijaksanaan memperbesar jumlah peduduknya dengan pertimbangan memperkuat pertahanan negara atau memperhebat kemampuan untuk berperang. Negara-negara maju sekarang yang penduduknya hampir tidak tumbuh, atau yang dianggap terlalu lambat pertumbuhannya, seperti Prancis, Jerman, Uni Soviet, dan lain-lain, juga bersikap pro-natalis. Untuk mempercepat pertambahan penduduk, beberapa negara memperlunak hambatan-hambatan atau melancarkan proses immigrasi, seperti Jerman Barat, Australia, U.S.A, Canada, yang misalnya dengan suka menerima immigran dari Vietnam. Motif memperbesar jumlah penduduk tersebut terutama dimaksudkan untuk memperkuat angkatan-kerja, atau untuk mengisi wilayah-wilayah yang masih terlalu jarang penduduknya guna perkembangan wilayah dan eksploitasi smber daya alam. Pemerintah Prancis dan Uni-Soviet misalnya memberi dana atau hadiah dan penghargaan-penghargaan kepada ibu-ibu yang mempunyai jumlah anak banyak untuk merangsang kenaikan fertilisasi penduduk.

2.10 Anti-natalisme

            Penduduk di negara-negara maju pada umumnya berikap anti-natalisme, berpola kelurga kecil, satu atau dua anak sudah cukup, karena banyak anak dirasakan sebagai beban, ekonomi atau beban psikologi. Akibatnya ialah bahwa pertumbuhan penduduk di negara-negara tersebut sangat lambat, bahkan dapat berhenti atau mundur. Memang ada negara-negara yang mempunyai kebijaksanaan penduduk stabil, seperti Swedia misalnya, tetapi kebanyakan negara maju menginginkan juga supaya penduduknya bertambah meskipun lambat, sehingga pemerintahannya lebih bersikap pro dari anti-natalisme.
            Sebaliknya sebagian besar negara-negara berkembang menentukan kebijaksanaan menentang keluarga besar, karena kesuburan penduduk di negara-negara tersebut masih tinggi dan mortalitasnya sudah menurun yang mengakibatkan ledakan penduduk. Karena penduduk belum mempunyai kesadaran cukup akan masalah fertilitas yang tinggi itu, maka pemerintah terpaksa mengundang “policy”-nya guna mengatasi pertumbuhan yang terlampau cepat itu.
Indonesia mengarahkan penduduknya mempunyai anak tiga saja. Bapak, Ibu dan tiga anak merupakan keluarga ideal. Pada pegawai pemerintah dan pegawai lembaga swasta pada umumnya ketiga anak tersebut sampai batas umur tertentu mendapat tunjangan anak. Anak-anak selebihnya kalau ada tidak mendapat dana sosial itu. Untuk dapat merealisasikan rencana tersebut program keluarga berencana, terutama dengan kontrasepsi, sangat digalakkan pelaksanaannya.
            India yang penduduknya sudah sangat padat mempunyai langkah-langkah yang lebih keras. Orang harus mempunyai dua anak saja. Pada pemerintahan yang lampau, keluarga yang sudah mempunyai dua anak harus dimandulkan, yang terutama dilaksanakan pada pihak ayah dengan vasektomi. Singapura yang merupakan negara yang berwilayah sangat sempit juga menjalankan program keras. Seolah-olah orang dipaksa untuk mempunyai anak maksimum dua. Apabila mempunyai anak lebih, anak kelebihan tersebut diperlakukan lain. Ia dikenakan biaya tinggi di sekolah, dan orang tua kehilangan hak membeli rumah murah. Agar prgram tersbut dapat berjalan lancar, maka abortus provokatus tidak dilarang di negara itu, bahkan digalakkan.
            Tindakan reskriktif terhadap pertumbuhan populasi ini sudah dilakukan pula oleh bangsa atau suku-suku bangsa yang belum maju, yang seringkali pelaksanaannya terselubung di dalam tradisi kemasyarakatan dan keagamaan; misalnya dengan tabu berkumpul suami-istri untuk masa jangka waktu tertentu yang diatur adat; bahkan ada pula yang sampai melakukan penumbuhan anak demi mengatasi masalah kekurangan pangan.

2.11 Penduduk optimum

            Dapatkah penduduk optimum dijadikan sasaran kebujaksanaan negara ? yang dimaksud optimum disini ialah optimum ekonomi, sebab dikenal optimum dengan kriteria lain, seperti optimum secara kemiliteran, atau optimum dalam bidang keagamaan. Suatu wilayah mencapai optimum ekonomi apabila terdapat sejumlah penduduk yang menghasilkan produksi rata-rata maksimum perkapita dengan sumber daya dan kebutuhan produksi yang tersedian di wilayah itu. Dalam keadaan ini ada suatu hubungan kuantitatif antara tenaga kerja, modal, dan sumber daya; tetapi disamping itu dalam pengelolaan suatu sistem ekonomi juga terdapat hubungan kualitatif.
            Di dalam sistem ekonomi statik jumlah penduduk optimum tadi memang dapat ditentukan sebagai sasaran kebijaksanaan, tetapi sistem ekonomi zaman modern ini sangat dinamik, setiap saat berubah arah dan berubah teknologi yang membutuhkan jumlah penduduk optimumnya. Karena perubahan-perubahan berjalan cepat maka sukar sekali atau tidak mungkin menentukan jumlah penduduk sebagai sasaran kebijaksanaan.
            Pada sistem pertanian tradisional yang keadaannya statik dalam jangka waktu lama, dapatlah jumlah penduduk ideal tersebut dijadikan sasaran. Pulau Jawa sebagai daerah pertanian tradisional mengalami optimum ekonomi pada waktu penduduknya lebih kurang 35 juta orang. Sekarang sudah berjumlah dua kali lipat sehingga produksi rata-rata per-kapitanya jauh dibawah maksimum. Sebagai daerah pertanian jumlah penduduknya harus dikurangkan, atau sistem ekonominya harus berubah menyesuaikan dengan jumlah penduduknya agar dapat mendekati optimum ekonomi.

2.12 Retribusi penduduk

            Manusia yang menduduki wilayah di permukaan bumi ini seringkali dianggap kurang ideal penyebarannya, sehinga tidak diperoleh jumlah optimum secara ekonomik, politik, atau sosial. Oleh karena itu ada kecenderungan untuk menyebarkan penduduk ssuai dengan sasaran-sasaran yang diinginkan. Meskipun ada kecenderungan untuk melakukan pemindahan-pemindahan, pada umumnya pemerintahan negara tidak mengundangkan kebijaksanaan khusus untuk menangani migrasi tersebut. Gerakan pindah lebih diserahkan kepada keinginan penduduk yang ersangkutan; negara hanya membuatkan prasarana-prasarana untuk menggalakkan restribusi yang ideal itu, misalnya dengan membangun jalan-jalan untuk mempermudah perpindahan, mendirikan pusat-pusat industri, perdagangan, dan sebagainya, untuk menarik migran.
            Andaikata negara-negara di dunia ini belum membuat restriksi immigrasi ketat, tentu ada baiknya dibuat kebijaksanaan internasional untuk menyebarkan penduduk dunia lebih baik dari sekarang. Negara berkembang pada umumnya mempunyai penduduk sangat padat terhadap sistem ekonominya sehingga mempunyai tekanan penduduk, tetapi negara-negara lain sangat membatasi imigrasi. Memang ada negara-negara yang memberikan kesempatan migran masuk, Australia misalnya, hanya negara itu mengutamakan migran kulit putih terutama dari Inggris, yang justru tidak seberapa mengalami tekanan penduduk.
            Redistribusi regional terjadi pula di banyak negara, seperti di USSR yaitu pindah atau dipindahkan penduduk ke daerah sebelah Timur pegunungan Ural; juga di Indonesia sendiri, terutama dari Jawa ke daerah-daerah lainnya, yang dikenal dengan istilah transmigrasi. Kecuali itu ada pula redistribusi yang bersifat lokal, misalnya di dalam wilayah kota akibat perencanaan kota sehingga zone-zone tertentu harus dikosongkan untuk keperluan lain, untuk industri atau pusat perbelanjaan, atau zone rekreasi. Selanjutnya dapat pula diadakan usaha-usaha gerakan pindah dari kota ke desa untuk mengurangi kepadatan penduduk kota dan membangkitkan kedinamikan lingkungan pedesaan.

2.13 Pokok Pikiran Tentang Aspek Ekonomi Dalam Kebijaksanaan Kependudukan

Beberapa Pokok Pikiran Tentang Aspek Ekonomi Dalam Kebijaksanaan Kependudukan :
1.        Kebijaksanaan Ekonomi Makro
Dalam hal kita membicarakan kebijaksaan ekonomi secara makro, biasanya hal ini mencakup baik kebijaksaan fiskal, yaitu melalui APBN, dan kebijaksanaan moneter, melalui sistim perbankan. Kebijaksanaan melalui jalur bank merupakan tindakan moneter yang relevan dan efektif dalam hal ini adalah  yang bersifat selektif dan mikro sifatnya. Kebijaksaan dalam hal pembinaan kredit misalnya pola pengembangan dan perluasaan kegiataan ini sedikit banyak akan mempengaruhi aspek-aspek demografi ,meskipun tentu saja tidak secara langsung. Namun ini tidak berarti kita dapat begitu saja menggunakan kebijakan perkreditan ini untuk mendukung tercapainya tujuan kependudukan, karena dalam sistim perbankan ada kondisi-kondisi atau syarat-syarat yang perlu dipenuhi untuk menjamin tidak terjadinya penyimpangan dalam sistim bank itu sendiri, secara luas hal ini akan kita bicarakan dalam pembahasan kebijaksaan ekonomi mikro. Dalam hal kebijaksanaan fiskal melalui APBN kita dapat meninjau baik dari neraca pendapatan maupun dari neraca pembelanjaan. Dari sisi neraca pendapatan, pendapatan negara adalah berdasar dari pajak langsung maupun pajak tidak langsung, serta pajak-pajak dari sumber alamiah, seperti minyak yang merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang penting.
Pajak-pajak dari sumber alamiah ini sangat potensial sekali dan merupakan alat terpenting guna mengotrol tingkat dan bentuk pengeksploitasian sumber-sumber alamiah itu sendiri, dan juga bersamaan dengan pajak-pajak tanah bisa dipergunakan sebagai bantuan untuk suatu kebijaksaan kependudukan dan lingkungan hidup yang terpadu. Sebagai contoh pajak terhadap perusahaan kayu dapat dipergunakan untuk menjamin pelaksanaan sistim reboisasi (penanaman hutan kembali). Pajak Langsung adalah pajak terhadap pendapatan perorangan seperti upah, gaji, dan pajak atas laba suatu perusahaan (pajak perusahaan). Pajak atas pendapatan perorangan akan memberikan suatu kesempatan bagi pemerintah untuk menerapkan sistem insentif dan dis insensitif yang dapat mempengaruhi jumlah anak yang akan dipunyai oleh suatu keluarga. Tapi lebih efektif lagi apabila proporsi warga negara yang wajib membayar pajak jumlahnya relatif sangat kecil sekali, maka pengaruhnya terhadap tingkat fertilitas masih diragukan, setidak-tidaknya dalam waktu ini.  Hal ini tentu saja tidak berarti kita harus berhenti untuk tidak memikirkannya dimasa-masa yang akan datang, terutama apabila kesadaran wajib pajak telah membudaya pada masyarakat kita.
Pajak perusahaan dapat mendukung keberhasilan program keluarga berencana dengan memberikan kelonggaran-kelonggaran pajak kepada perusahaan yang ikut membantu tercapainya tujuan keluarga berencana di perusahaan tersebut, contohnya dengan pemberian yang insentif kepada para pekerja (buruh) oleh perusahaan agar mereka bisa ikut berKB. Atau perusahaan dapat membantu tercapainya tujuan dari kependudukan di bidang penyebaran penduduk dengan cara mengurangi pajak obligasi dari perusahaan yang ingin menempatkan diri di daerah lokasi transmigrasi. Tentu untuk pelaksanaan kebijaksaan ini perlu didukung oleh suatu administrasi perpajakan yang bersih dan keras agar perusahan benar-benar dapat merasakan kebijaksanaan tersebut sebagai satu-satunya insentif dan karenanya perusahaan tidak perlu mencari cara-cara lain yang tidak sehat dalam usaha mengurangi kewajiban-kewajiban membayar pajak.
Pajak tidak langsung adalah pajak penjualan/cukai dan bea masuk yang dikumpulkan dan diberikan oleh pedagang kepada pemerintah. Kebijaksanaan bea masuk dalam rangkaian proteksionisme industri dalam negeri misalnya secara tidak langsung akan memberikan kesempatan kerja yang lebih luas. Namun kebijaksanaan ini agar dapat efektif perlu diimbangi dengan program peningkatan ketrampilan untuk mendukung kebijaksanaan tersebut. Contohnya kebijakan ekonomi dalam kaitan dengan pajak tidak langsung ini yaitu pembatasan bea masuk terhadap alat-alat kontrasepsi maupun alat-alat lain yang ditentukan dalam rangka pelaksanaan program kependudukan dan keluarga berencana. Demikian pula pajak terhadap kegiatan promosi KB seperti cukai iklan perlu dibebaskan atau diberikan potongan pajak/cukai secara maksimal.
Sisi kebijakan lain yaitu menyangkut pengeluaran atau belanja negara, pemerintah Indonesia menganut sistem anggaran belanja berimbang  dan oleh karenanya tidak mungkin mempergunakan sistem anggaran defisit guna melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Namun demikian, dalam tingkat pengeluaran tertentu kita dalam  melihat alokasi sumber-sumber dana atau anggaran yang disediakan untuk kegiatan kependudukan sebagai suatu ukuran relatif dari penetapan prioritas pemerintah dalam melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Besarnya alkasi anggaran yang disediakan tentu saja tergantung dari kemampuan instansi/sektor atau dpartemen tersebut menjabarkan kegiatan-kegiatan operasionalnya secara jelas dan meyakinkan, baik dalam menetapkan sasaran-sasaran yang ingi dicapai maupun ukuran-ukuran keberhasilannya.
Sehubungan dengan hal diatas, APBN dapat merupakan suatu alat dari suatu kebijaksanaan kependudukan secara makro. Tujuan dari kebijaksanaan ini adalah untuk membuat suatu pola dari pengeluaran pemerintah dan pola kegiatan-kegiatan pemerintah di bidang ekonomi yang diarahkan untuk tercapainya tujuan dari kependudukan sebagai program yang diintegrasikan. Pola dan pengaruh dari tindakan pendapatan tersebut haruslah konsisten dan dapat membantu terlaksananya pelaksanaan kebijaksanaan kependudukan.
2.  Kebijaksanaan  Ekonomi Mikro
Bersama dalam kebijaksanaan ekonomi mikro, pemerintah mengembangkan berbagai program dengan kegiatan-kegiatan yang diharapkan mampu merangsang pertumbuhan ekonomi yang sehat pada berbagai lapisan atau kelompok masyarakat, termasuk usaha peningkatan produktivitas dan pendapatan keluarga. Dalam kaitan ini dikenal berbagai paket bantuan, baik yang berupa pengembangan dan pembinaan ketrampilan, bimbingan manajemen maupun kredit seperti KIK,KMKP,BINAS dan lain-lain. Bertitik tolak pada asumsi atau anggapan tersebut, serta melihat bahwa ada kesamaan tugas dengan program kependudukan dan keluarga berencana yaitu pelembagaan Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera, maka ada kemungkinan untuk mengintegrasikan kedua program tersebut, meskipun tentu saja harus secara selektif dengan memperhatikan agar tidak terjadi distorsi atau gangguan/penyimpangan terhadapkebijaksanaan yang telah ditetapkan.
Sebagai contoh, kuranglah tepat apabila kita ingin memasukkan kriteria kesertaan KB terhadap program yang diarahkan kepada pemberian insentif kepada petani yang dianggap berjasa menemukan teknologi baru dalam pengolahan tanah. Demikian pula adalah kurang bijaksana apabila kita ingin menggalakkan program peningkatan produksi pada perusahaan tetapi mengharuskan perusahaan-perusahaan tersebut membayar insentif kepada karyawan mereka yang berKB. Jelas hal ini kurang tepat karena tingkat produktivitas dari perusahaan tidaklah semata-mata disebabkan oleh keikutsertaan atau tidaknya karyawan menjadi peserta (akseptor) keluarga berencana. Apabila toh kebijaksanaan ini ingin diterapkan, maka hal ini merupakan interference (campur tangan) dari pemerintah yang akan merugikan atau mengganggu bidang usaha mereka. Dan dengan demikian tingkat kerjasama pemerintah dengan pengusaha cenderung akan menurun.
Dari contoh kasus diatas, perlu kiranya bagi kita untuk lebih berhati-hati apabila kita hendak mengintegrasikan aspek-aspek kebijaksanaan ekonomi dalam kebijaksanaan kependudukan karena meskipun antara keduanya ada kesamaan tujuan secara umum, tetapi masing-masing mempunyai tujuan spesifik yang mungkin komponen-komponennya tidak mungkin dikaitkan begitu saja satu dengan lainnya. Apa yang kiranya diharapkan dalam suatu kebijaksanaan terpadu adalah bahwa kebijaksanaan yang satu dapat memperkuat kebijaksanaan yang lain dan bukan sebaliknya saling mengganggu atau mengakibatkan distorsi terhadap kebijaksanaan yang ada.

2.14 Kebijaksanaan Kependudukan, Mortalitas, dan Morbiditas

            Ada pendapat yang menyatakan bahwa “karena semua Negara mempunyai kebijaksanaan kesehatan dan ini ada hubungannya dengan mortalitas, sudah selayaknya jika semua Negara mempunyai semacam “kebijaksanaan kependudukan nasional” (PBB, 1979a :14). Meskipun demikian, Eldridge (1968:383-4) mengingatkan bahwa apabila tujuan dari suatu tindakan pemerintah adalah memperbaiki kesehatan penduduk, maka tindakan ini belum tentu merupakan kebijaksanaan kependudukan. Untuk memperbaiki keadaan kurang gizi, Papua New Guenia (1974:232) menganjurkan pemberian air susu ibu dan bukan susu botol kepada bayi. Tindakan ini dapat digolongkan sebagai kebijaksanaan kependudukan karena pemerintah juga bermaksud mengurangi mortalitas bayi dan anak.
            Di negara-negara berkembang, campur tangan pemerintah lebih berhasil dalam hal mengurangi mortalitas daripada fertilitas. Jadi, negara-negara yang ingin mengurangi tingkat pertambahan penduduk alaminya, harus memperhitungkan pengaruh turunnya mortalitas (United Nations, 1979b: 24-7).
            Dalam sejarah, kadang-kadang suatu pemerintah berusaha menghancurkan suatu suku bangsa atau kelompok etnis tertentu. Tindakan ini disebut genocide. Kebijaksanaan Hitler terhadap orang yahudi adalah genocide, ia juga memerintahkan untuk menggempur bangsa Polandia sehingga bangsa Jerman dapat memperoleh “ruang hidup” yang lebih luas. Karena kebijaksanaan genocide oleh bangsa Turki, 1,5 juta bangsa Armenia di Turki meninggal antara 1895 sampai 1920, sedangkan setengah juta lainnya menjadi pengungsi (Lang and Walker, 1976).

2.15 Kebijaksanaan Kependudukan dan Fertilitas

            Untuk mendorong pertambahan penduduk, suatu pemerintah dapat menjalankan kebijaksanaan pro-natalis untuk menaikkan tingkat kelahiran. Kalau kebijaksanaan pemerintah dirancang untuk mengurangi tingkat kelahiran, maka negara itu anti-natalis.
            Bila tingkat kematian tinggi (Eropa abad 19), suatu negara biasanya bersikap pro-natalis. Bahkan setelah Perang Dunia I, banyak negara Eropa mendorong kenaikan fertilitas dengan alasan-alasan nasionalisme dan militer (Glass, 1940 dan 1967 ; Thomlinson , 1976 : Bab 8). Di beberapa negara maju, rendahnya tingkat kelahiran dan menuanya penduduk sangat mempengaruhi orientasi kebijaksanaan pemerintahnya (United Nations, 1979c : 85). Meskipun demikian kebijaksanaan pro-natalis di negara-negara maju ini hanya kecil pengaruhnya, mungkin karena jumlah penduduknya sudah mencapai tahap akhir dari transisi demografi (Stycos, 1977: 103-104) sehingga fertilitasnya sangat rendah.
            Gagasan “Berkembang biak atau punah” dulu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah Australia, dan pengaruh pro-natalis jelas tampak dalam tunjangan untuk wanita yang berstatus ibu pada 1912, dan jaminan anak (atau tunjangan keluarga) pada 1941. Selain dari itu, telah dikeluarkan berbagai larangan penjualan alat-alat kontrasepsi dan pemasangan iklan tentang alat-alat kontrasepsi pada tahun 1931-1946 (National Population Inquiry, 1975:178, Browne, 1979: Bab 3)
            “Undang-Undang tahun 1920” tentang larangan pengguguran kandungan di Perancis dan semua koloni Perancis, juga larangan iklan, distribusi serta penjualan alat- alat kontrasepsi, merupakan satu warisan kolonial yang dikeluarkan oleh pemerintah Perancis. Undang-Undang tersebut tidak berlaku lagi di Perancis pada tahun 1967. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan di banyak negara Francophone (berbahasa Perancis) di Afrika (Wolf, 1973:18). Untuk daerah Sub-Sahara di Afrika pada tahun 1976, tampak bahwa 9 negara yang pemerintahnya ikut campur dalam usaha penurunan fertilitasnya semua Anglophone (berbahasa Inggris), sedangkan 6 negara yang jelas pro-natalis dulunya merupakan koloni negara-negara Katolik yaitu Perancis, Spanyol, atau Portugis.
            Sebelum tahun 1950, tidak ada negara berkembang yang mempunyai kebijaksanaan kependudukan yang eksplisit, sedangkan kebijaksanaan di negara-negara maju hampir semuanya dirancang untuk meningkatkan fertilitas dan imigrasi.
            Dalam rencana lima tahunnya yang pertama (1951-1956), India merupakan negara berkembang pertama yang melaksanakan kebijakan anti-natalis secara resmi. Menurut Symonds dan Carder (1973:202), ketika pemerintah India minta bantuan internasional untuk menyokong kebijaksanaan tersebut , makin sulitlah bagi badan – badan PBB untuk tetap mengabaikan masalah tersebut.
            Dari 41 negara yang pemerintahannya ikut campur tangan dalam masalah penurunan fertilitas pada tahun 1976, 17 diantaranya termasuk termasuk wilayah ESCAP (Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik), dan meliputi tiga negara “raksasa” dalam hal jumlah penduduk di negara-negara berkembang, yaitu RRC, India, dan Indonesia. Ke empat negara ESCAP yang pro-natalis semuanya adalah negara sosialis atau negara yang perancanaan ekonominya terpusat yaitu Korea Utara, Mongolia, Kamboja, dan Laos (United Nations , 1979b : Tabel 60). Meskipun Burma tidak menjalankan kebijaksanaan kependudukan secara resmi, tetapi alat-alat kontrasepsi tidak diijinkan dan tidak ada pelayanan keluarga berencana di sana (Whitney, 1976 : 347).
Proram Keluarga Berencana
            Program Keluarga Berencana adalah sarana untuk mencapai penurunan tingkat kelahiran. Meskipun demikian, menurut pengamatan Watson (1977 : 1), tingkat kebijaksanaan keluarga berencana hanya dapat berubah sedikit demi sedikit saja, maka gagasan program keluarga berencana dapat dicetuskan sebelum dikeluarkan kebijaksanaan yang resmi
            Mauldin dan Berelson menggunakan 15 kriteria untuk membagi program keluarga ke dalam 3 kategori : kuat , sedang, dan lemah.
Di Luar Jangkauan Keluarga Berencana
Berelson (1969) telah menggolongkan usul-usul untuk membatasi fertilitas yang terdapat di luar jangkauan program keluarga berencana nasional. Berelson menerapkan 6 kriteria (kesiapan ilmiah, kelonggaran politis, kemungkinan administratif, kemampuan ekonomi, dapat diterima secara etis, dan efektivitas yang dapat dicapai). Wajib sterilisasi untuk pria, misalnya, memang sangat efektif, tetapi agaknya tidak dapat diterima secara etis. Kenyataannya, desas-desus tentang pelaksanaan sterilisasi secara paksa di India, menyebabkan jatuhnya pemerintahan pada tahun 1977 (Gwatkin,1979)
            Program disinsentif  (pencabutan tunjangan anak setelah jumlah anak tertentu dimiliki) di Singapura yang memiliki sanksi terhadap yang berkeluarga besar, sukar dilaksanakan. Salah satu cara pelaksanaan disinsentif  adalah membuat skala biaya untuk melahirkan di rumah sakit pemerintah yang jumlahnya meningkat secara mencolok menurut paritas seorang ibu. Namun demikian, pada kenyataanya, staff rumah sakit sangat sibuk sehingga hanya dapat memeriksa catatan-catatan tentang kelahiran-kelahiran dalam bentuk sampel saja, bahkan rumah sakit tidak mungkin menyeret orang tua ke pengadilan apabila mereka menolak rekening yang diajukan (Salaff and Wong, 1978: 50-1)     
            Sebaliknya, dalam dasawarsa setelah makalah Berelson terbit, beberapa kategori di “luar jangkauan keluarga berencana” mengalami perkembangan yang cukup pesat. Misalnya Undang-Undang Pengguguran telah diperlunak di banyak negara dan beberapa negara bagian Australia (Cook, 1978).

2.16 Kebijaksanaan Kependudukan dan Nupsialitas

            Duza dan Baldwin (1977 : 1) menulis bahwa menurut ahli demografi, “meningkatkan usia kawin merupakan salah satu dari hanya beberapa kebijaksanaan  intervensi di luar jangkuan keluarga berencana yang mungkin dapat digunakan untuk memulai atau merangsang perubahan pertumbuhan penduduk secara besar-besaran”. Tunisia adalah sebuah negara yang telah mencoba melakukan hal ini dengan menaikkan usia kawin yang sah. Pada tahun 1964, usia kawin yang sah untuk wanita ditetapkan 17 tahun, dan pria 20 tahun. Undang-Undang tahun 1964 ini hanya sebagian dari suatu program hukum yang berlaku sejak pertengahan tahun 1950an, yang ditujukan kea rah pembangunan, pendidikan, dan perbaikan kedudukan wanita. Pada bulan Juni 1956, pemerintah RRC mengumumkan suatu kebijaksanaan untuk mendorong usia kawin yang lebih tua dan pembatasan kelahiran (Chen, 1976 : 78), dengan asumsi bahwa perkawinan pada umur yang lebih tua sering menurunkan tingkat kelahiran dan tingkat pertambahan penduduk.

2.17 Kebijaksanaan Kependudukan dan Migrasi  Internaisonal  yang Permanen

Latar Belakang Sejarah
            Appleyard (1977) telah menyusun daftar tentang arus migrasi yang penting pada abad ke 19 dan permulaan abad ke 20 sebagai berikut :
1.      Migrasi tertua ke Amerika Serikat dari Inggris , Irlandia, Skandinavia, dan Jerman.
2.      Migrasi baru tambahan ke Amerika Serikat dan Amerika Latin dari Eropa Selatan dan Eropa Tenggara pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke 20.
3.      Imigrasi Inggris dan negara Eropa lainnya ke Kanada , Afrika Selatan, Australia, dan Selandia Baru
4.      Migrasi orang Yahudi  ke Palestina.
5.      Migrasi orang Cina ke Asia Tenggara.
6.      Migrasi orang India, terutama ke Ceylon, Malaysia, Mauritus dan Afrika Selatan sebagai pekerja kontrak di tambang-tambang dan perkebunan.
7.      Migrasi orang Jepang sesudah tahun 1885 ke wilayah Asia di Rusia, Hawaii dan bagian lain dari Amerika Serikat.
Uraian selanjutnya akan menunjukkan bahwa hampir semua arus tersebut di atas dalam beberapa tahap dipengaruhi oleh kebijaksanaan pemerintah.
Mendukung dan Mencegah Emigrasi
            Undang-Undang yang membatasi emigrasi berlaku umum di Eropa pada abad ke-17 dan 18, dan sekarang malahan berlaku di hampir semua negara sosialis. Di Tiongkok, emigrasi juga tidak diijinkan pada tahun 1718-1860, dan di Jepang hingga tahun 1885. Sebaliknya, pemerintah Inggris telah beberapa kali, terutama pada pertengahan abad ke 19, membantu emigrasi, sedangkan sejumlah negara termasuk Italia dan Malta secara aktif mendukung emigrasi sesudah Perang Dunia II (United Nations, 1973 : 240-1).
            Pada 1940-an, ketika penduduk pulau kecil Malta berjumlah lebih dari 300.000, pemerintahnya memutuskan bahwa jumlah optimal penduduk Malta adalah 250.000 jiwa dan ini akan tercapai dengan emigrasi netto sebesar 5 persen per tahun.
            Pada abad ke 19, migrasi bangsa India ke koloni-koloni Inggris merupakan persediaan tenaga kerja murah ke perkebunan- perkebunan setelah perbudakan larang. Setelah menerima banyak kritik, sistem masuknya migrant dan kuli kontrak ini dihapuskan pada tahun 1920. Suatu akta baru yang dikeluarkan pada tahun 1922,  sangat membatasi perpindahan tenaga kerja yang tidak terampil dari India, tetapi mendukung migrasi jangka pendek bagi tenaga kerja terampil ke Malaysia, Ceylon, dan Burma (Davis, 1951 : Bab 13). Karena arus migrasi pada abad 19 dan 20 ini, maka sekarang banyak penduduk asal India bertempat tinggal di banyak tempat di Asia, Afrika, dan kepulauan Karibia, kehadiran mereka kadang-kadang menimbulkan berbagai masalah politik.
Merangsang Imigrasi
            Pada abad ke 19, berbagai negara terutama Amerika Serikat, Kanada, dan Selandia Baru, merangsang imigrasi dengan menghadiahkan atau menjual tanah secara murah kepada imigran. Meskipun demikian, menjelang tahun 1870, tanah tidak lagi merupakan faktor “penarik” yang kuat bagi migrant Eropa (Borrie, 1970 : 90). Negara-negara penerima seperti Brazil, Argentina, Australia dan Selandia Baru biasanya menarik imigran dengan membantu biaya perjalanan.
            Pada saat ini orang makin bebas mengadakan perjalanan, tetapi sejak Perang Dunia I, kesempatan untuk bermigrasi secara permanen makin sulit dengan dikeluarkannya undang-undang seperti Quota Acts tahun 1921 dan 1924 oleh Amerika Serikat. Diantara beberapa negara yang menjalankan kebijaksanaan yang jelas merangsang migrasi permanen namun terbatas adalah Amerika Serikat, Kanada, dan Australia (United Nations, 1979b: 79-80). Karena negara-negara ini mempunyai daerah yang luas, ada kemungkinan imigran gelap masuk.
Pengungsi
            Kategori migrant yang khusus ini meliputi mereka yang tidak mau kembali ke negaranya sendiri karena takut dikejar-kejar sehubungan dengan ras mereka, agama, nasionalitas, paham politik, atau keanggotaan suatu organisasi social tertentu. Mereka yang status pengungsinya diakui oleh UNHCR (United Nation High Commissioner for Refugees) diurus dan dilindungi sampai mereka mendapat pemukiman baru yang permanen.

2.18 migrasi dan Migrasi Internasional Sementara

            Banyak negara menggunakan migran buruh untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja untuk sementara atau jangka panjang. Bohning (1977) menggambarkan 4 kategori perpindahan migrant dari negara miskin ke negara kaya sebagai berikut :
1.      Sekitar tahun 1976, Eropa Barat  terutama Perancis dan Jerman memperkerjakan sekitar  2,5 juta “buruh tamu” dari negara-negara Lautan Tengah yang lebih miskin.
2.      Amerika Serikat dan Kanada mengijinkan “non-migran” dari negara-negara miskin untuk bekerja sebagai pegawai musiman.
3.      Negara-negara minyak di Arabia memperkerjakan sekurang-kurangnya satu juta orang asing dalam berbagai pekerjaan.
4.      Afrika Selatan mempekerjakan sekitar 400.000 orang yang berasal dari negara-negara Afrika sekitarnya yang kebanyakan digunakan dalam pekerjaan di pertambangan.

2.19 Kebijaksanaan-Kebijaksanaan Migrasi Intern

            Kebijaksanaan-kebijaksanaan migrasi intern antara lain bertujuan :
1.      Mendorong migrasi intern permanen ke daerah-daerah tertentu.
2.      Mencegah migrasi intern.
3.      Merubah komposisi kesukuan atau jenis pekerjaan suatu daerah.

2.20 Pengertian E-KTP

E-KTP atau KTP Elektronik adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem keamanan / pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada database kependudukan nasional. Penduduk hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP yang tercantum Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK merupakan identitas tunggal setiap penduduk dan berlaku seumur hidup.  NIK  bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia dan berlaku seumur hidup serta sudah dimiliki seseorang sejak bayi ketika kelahirannya didaftarkan (akte kelahiran), sedang e-KTP wajib bagi yang masuk usia 17 tahun atau kawin. “Jadi, NIK dicantumkan di e-KTP yang disimpan dalam chip e-KTP dan diterbitkan setelah penduduk mengisi biodata penduduk per keluarga (F1-01) dengan menggunakan SIAK Kabupaten/Kota. Nomor NIK yang ada di e-KTP nantinya akan dijadikan dasar dalam penerbitan Paspor, Surat Izin Mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Polis Asuransi, Sertifikat atas Hak Tanah dan penerbitan dokumen identitas lainnya (Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Adminduk)
Penerapan KTP berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan) telah sesuai dengan pasal 6 Perpres No.26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional Jo Perpres No. 35 Tahun 2010 tentang perubahan atas Perpres No. 26 Tahun 2009 yang berbunyi :
1.   KTP berbasis NIK memuat kode keamanan dan rekaman elektronik sebagai alat verifikasi dan validasi data jati diri penduduk;
2.   Rekaman elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi biodata, tanda tangan, pas foto, dan sidik jari tangan penduduk yang bersangkutan;
3.     Rekaman seluruh sidik jari tangan penduduk disimpan dalam database kependudukan;
4.  Pengambilan seluruh sidik jari tangan penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan pada saat pengajuan permohonan KTP berbasis NIK, dengan ketentuan : Untuk WNI, dilakukan di Kecamatan; dan Untuk orang asing yang memiliki izin tinggal tetap dilakukan di Instansi Pelaksana ;
5.  Rekaman sidik jari tangan penduduk yang dimuat dalam KTP berbasis NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi sidik jari telunjuk tangan kiri dan jari telunjuk tangan kanan penduduk yang bersangkutan;
6.  Rekaman seluruh sidik jari tangan penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
7.   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perekaman sidik jari diatur oleh Peraturan Menteri.

2.21 Fungsi Dan Kegunaan E-KTP

Selain digunakan sebagai Kartu Tanda Penduduk (KTP), manfaat dari e-KTP yaitu dapat meminimalisirkan identitas ganda dan KTP palsu. Karena di dalam kartu telah direkam data biometrik 2 sidik jari telunjuk penduduk,  iris mata dan gambar tanda tangan penduduk. Semua data itu disimpan dalam chip yang tertanam dalam kartu sebagai alat penyimpan data secara elektronik, dan alat pengamanan data (security) baik secara pembacaan, penyimpanan data maupun secara transfer data.
Fungsinya antara lain :
1.  Sebagai identitas jati diri
2. Berlaku Nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk pengurusan izin, pembukaan rekening Bank, dan sebagainya;
3.  Mencegah KTP ganda dan pemalsuan KTP;                                   
4.  Terciptanya keakuratan data penduduk untuk mendukung program pembangunan.
Dengan mengetahui berbagai manfaat dari e-KTP dan sistem komputasinya maka masyarakat wajib mengetahui cara menjaga kartu tersebut. “e-KTP diharapkan diperlakukan seperti memperlakukan KTP yang sekarang. Jangan digunting atau dipotong pinggirnya, karena berpotensi merusak lapisan antena dan chip, tetapi masih berfungsi dengan baik apabila basah, kena air/hujan, tercelup.

2.22 Kelebihan e-KTP Bagi Masyarakat

Bisa Dipakai di Berbagai Instansi

Program e-KTP merupakan program nasional, sehingga pencetakannya juga dilakukan di pusat. Kabupaten/kota hanya membantu melakukan perekaman di daerah masing-masing, dan hasil perekaman itu juga dicetak di pusat. Hingga saat ini di KKR belum ada e- KTP yang sudah dicetak, dan hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan e-KTP bisa dibagikan. Jika e-KTP sudah dikirim dan tiba di KKR, kita juga bakal melakukan pemanggilan terhadap masyarakat untuk pengambilannya melalui jalur undangan. Waktu pengambilan e-KTP juga akan diidentifikasi kembali melalui sidik jari, apakah benar e-KTP yang akan diambil adalah miliknya.
e-KTP jelas memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan KTP SIAK pada umumnya. e-KTP merupakan kartu berisikan data pemilik yang bisa digunakan di berbagai instansi seperti di bank, Imigrasi dan sebagainya. Sehingga kita tak perlu melampirkan fotokopi KTP yang dilegalisir, ketika e-KTP dimasukkan, data pribadi pemilik sudah bisa muncul.
Kelebihan lainnya, e-KTP berlaku seluruh indonesia. Ketika berada di daerah lain tak perlu membuat KTP di daerah tersebut, dengan e-KTP sudah bisa kendati pun sebagai penduduk KKR.Selain itu e-KTP terdapat sidik jari dan iris mata, sehingga tak bisa dipalsukan, karena sidik jari dan iris mata seseorang berbeda satu dengan yang lainnya.
Program e-KTP di Indonesia sudah digencar-gencarkan sejak tahum lalu. Namun sampai sekarang, program itu belum bisa direalisasikan sepenuhnya karena beberapa hal. Selain itu, banyak pihak yang kurang setuju dengan e-KTP, membuat program ini semakin molor. Mimin sendiri sebenarnya kurang setuju atas program yang dicanangkan pemerintah ini. Ada banyak sebab yang membuat mimin kurang menyetujui e-KTP.

2.23 Kekurangan e-KTP

1. Infrastruktur Kurang Memadai
 Memang pertumbuhan Internet di Indonesia sudah sangat maju. Namun tidak semuanya menjangkau ke daerah-daerah terpencil. Juga tidak semua orang bisa mengoperasikan komputer dengan baik. Seharusnya daripada mencanangkan program e-KTP, seharusnya pemerintah mengadakan program "Indonesia Ber Internet". Maksudnya adalah pemerintah mengayakan jaringan Internet untuk semua wilayah. Baik di kota, maupun di desa. Atau juga dengan mengintegrasikan antara jalur Internet dengan instalasi listrik sehingga hanya dengan mencolokan ke stopkontak, kita langsung dapat terhubung ke Internet.

2. Wajib Mengirimkan Data yang Sangat Pribadi
 e-KTP ini selain harus memasukan data pribadi selain nama, alamat, status, pengguna e-KTP juga diharuskan memindai retinanya yang jelas-jelas itu merupakan data yang sangat rahasia dari seorang manusia selain sidik jari. Memang alasannya untuk keamanan, tapi terlalu berlebihan untuk memasukan data retina. Kesannya seperti memata-matai.

3. Rawan Hacking
Karena e-KTP menggunakan program komputer dalam pembuatannya, maka pasti akan ada celah yang bisa dieksploitasi oleh cracker untuk mencuri data seseorang pada e-KTP. Walaupun jarang terdengar cracker yang melakukan aksi di Indonesia, tapi pasti ada. Bahkan banyak. Lihat saja kasus defacing di Indonesia pada tahun 2011 banyak terjadi termasuk saat defacing situs PSSI yang menghebohkan itu. Selain itu, server yang menunjang e-KTP juga harus selalu siaga 24 jam setiap harinya agar mudah diakses. Tapi kita tahu bahwa di Indonesia rawan dengan pemadaman bergilir. Sehingga jika listrik yang menghidupkan server e-KTP mati, maka akan sangat gawat sekali. Belum keamanan server baik itu secara langsung maupun secara virtual harus selalu dijaga.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

 

3.2 SARAN

 

DAFTAR PUSTAKA


Lucas , David. dkk.1995.Pengantar Kependudukan.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Prawiro, Ruslan H.1981.Kependudukan: Teori Fakta dan Masalah. Bandung : Penerbit Alumni.
Salladien.1980.Konsep Dasar Demografi.Surabaya : PT Bina Ilmu Surabaya
Wirosuharjo, Kartomo.dkk. 1981. Dasar-Dasar Demografi.Jakarta : Penerbit F.E.U.I
Wirosuharjo, Kartomo.dkk. 1986.Kebijaksanaan Kependudukan dan Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit F.E.U.I



EmoticonEmoticon

About