Look at this

Minggu, 11 Maret 2018

Makalah Tentang Fototerapi

Tags


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kelahiran bayi dengan BBLR masih mejadi satu masalah kesehatan yang penting dinegara-negara berkembang. Hal ini disebabkan karena angka kejadian, angka kesakitan dan angka kematian yang masih tinggia (Gumilar, 2010). Kuning atau sering juga disebut dengan istilah ikterus, merupakan kondisi klinis bayi yang ditandai pewarnaan kuning pada kulit dan sklera mata akibat peningkatan bilirubin.  Ikterus pada bayi usia  2-3 hari pertama kehidupan, merupakan hal yang normal (fisiologis) tetapi dapat juga ditemukan kondisi yang  tidak normal (non fisiologis).  Angka kejadian ikterus fisiologis cukup tinggi.  Frekuensi pada bayi cukup bulan 50-60% dan kurang bulan 80%.  Pada usia 1 minggu pertama, lebih dari 85% bayi cukup bulan kembali dirawat karena kondisi ini (suraiyah, 2014).
Ikterus terjadi akibat penumpukan bilirubin dalam darah, dan akan tampak pada jelas pada kulit bila kadar bilirubin antara 5-7 mg/dL. Cara visual untuk menentukan ikterus dilakukan dengan menekan kulit secara ringan memakai jari tangan kemudian lepaskan.  Warna kulit dinilai dibawah penerangan yang cukup sehingga tampak jelas.  Ikterus sulit dinilai bila penerangan kurang, terutama pada bayi dengan warna kulit gelap.  Amati warna kulit dan tentukan luasnya daerah ikterus pada anggota tubuh.  Pemeriksaan bilirubin serum harus tetap dilakukan karena meskipun cara visual mudah dan praktis tetapi hasilnya kurang akurat (suraiyah, 2014).
Waktu terjadinya ikterus juga mempunyai arti yang penting dalam menentukan  kemungkinan diagnosis, faktor penyebab, dan tata laksana (suraiyah, 2014). Hal ini meliputi produksi, transportasi, konjugasi dan ekskresi bilirubin.  Ada 2 jenis bilirubin yaitu bilirubin indirek (bilirubin tak terkonjugasi) dan direk (bilirubin terkonjugasi). Produksi bilirubin berasal dari degradasi heme hemoglobin dari sel darah merah (eritrosit) dalam sirkulasi.
Satu gram hemoglobin menghasilkan sekitar 35 mg bilirubin indirek, bilirubin ini tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.  Pembentukan bilirubin dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilhan biliverdin. Biliverdin mengalami reduksi menjadi bilirubin indirek.  Di dalam darah bilirubin indirek berikatan dengan albumin dan di transfer (transportasi) ke sel hati.  Dengan bantuan beberapa enzim di dalam sel hati, terjadi proses konjugasi sehingga berubah menjadi bilirubin direk. Bilirubin direk ini larut dalam air dan dieksresikan ke sistem empedu, dan selanjutnya kedalam saluran cerna (usus halus). 
Bilirubin direk dengan bantuan flora normal usus diubah menjadi urobilinogen dan sebagian kecil di hidrolisis dengan bantuan enzim β glukoronidase menjadi bilirubin indirek dan di reabsorbsi ke sel hati (siklus enterohepatis).  Metabolisme akhir urobilinogen menjadi sterkobilin yang nantinya akan memberi warna kuning pada feses.
Hiperbilirubinemia adalah tingginya kadar bilirubin di dalam darah yang didapat dari pemeriksaan laboratorium.  Faktor penyebab tingginya bilirubin pada bayi baru lahir karena tingginya eritrosit bayi dengan masa hidup yang lebih pendek (70-90 hari), belum matangnya fungsi hati dan meningkatnya reabsorbsi  bilirubin indirek dari usus (siklus enterohepatis).  Tingginya kadar bilirubin ini terjadi pada bayi usia 2-3 hari pertama, mencapai puncaknya pada hari ke 5-7.
Pada hiperbilirubinemia fisiologis, kadar biliriubin akan turun kembali pada hari ke 10-14.  Batasan kadar bilirubin yang aman pada bayi dapat dilihat pada tabel sesuai American Academy of Pediatric (AAP) tetapi secara umum dipakai batasan tidak > 10 mg/dL untuk untuk bayi kurang bulan dan tidak > 15 mg/dL pada bayi cukup bulan (suraiyah, 2014).
Ikterus  dianggap fisiologis bila memenuhi kriteria sebagai berikut: ikterus timbul pada usia 2-3 hari dengan kadar bilirubin indirek pada usia tersebut tidak > 15 mg/dL  (bayi cukup bulan) dan tidak > 10 mg/dL (bayi  kurang bulan).  Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak > 5 mg/dL per 24 jam, dengan kadar bilirubin direk > 1 mg/dL.  Ikterus hilang pada 10 hari pertama dan tidak terbukti berhubungan dengan keadaan non fisiologis.
Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan faktor resiko terjadinya kerniterus, misalnya kadar bilirubin bebas, kadar bilirubin 1 dan 2, atau secara klinis diakukan dibawah sinar biasa atau day light (Hindryawati, 2011 dalam Bunyaniah, 2013).
Terapi sinar (fototerapi) bertujuan untuk mengendalikan kadar bilirubin serum agar tidak mencapai nilai yang membahayakan sampai terjadi bilirubin ensefalopati maupun kern-ikterus.  Fototerapi bertujuan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dikeluarkan melalui empedu atau air seni.  Pada saat bilirubin menyerap cahaya, maka terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi sehingga terjadi konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya yaitu lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu.  Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat foto terapi.  Sejumlah kecil bilirubin indirek diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang dikeluarkan  lewat air seni.  Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dikeluarkan  melalui empedu ke dalam usus untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati, karena hanya produk foto oksidan saja yang bisa dikeluarkan melalui air seni (suraiyah, 2014).
Fototerapi bekerja memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas tinggi (a bound of flourescent light bulbs or bulbs in theblue light spcetrum) akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi bilirubin tak terkonjugasi (Klaus, Fanarof, 1998 dalam Gumilar 2010).

B.    Tujuan
1.    Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu melakukan foto terapi.
2.  Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui derajat ikterik pada bayi baru lahir sebelum  dilakukan fototerapi.
b. Untuk mengetahui derajat ikterik pada bayi baru lahir setelah    dilakukan fototerapi.
c.   Untuk mengetahui pengaruh fototerapi terhadap derajat ikterik pada bayi baru lahir.

C.    Manfaat
Menurunkan kadar bilirubin darah pada neonatus dengan hiperbilirubinemia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Definisi 

Fototerapi merupakan terapi pilihan pertama yang dilakukan terhapa bayi  baru lahir dengan hiperbilirubinemia (Kumar et al, 2010 dalam Shinta, 2015). Fototerapi merupakan penatalaksanaan hiperbilirubinemia yang bertujuan untuk menurunkan konsentrasi bilirubin dalam sirkulasi atau mencegah peningkatan kadar bilirubin.
Fototerapi merupakan terapi dengan menggunakan sinar yang dapat dilihat untuk pengobatan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Keefektifan suatu fototerapi ditentukan oleh intensitas sinar. Adapun faktor yang mempengaruhi intensitas sinar ini adalah jenis sinar, panjang gelombang sinar, jarak sinar ke pasien yang disinari, luas permukaan tubuh yang terpapar dengan sinar serta penggunaan media pemantulan sinar.
Bayi dengan ikterus perlu diamati apakah fisiologis atau akan berkembang menjadi ikterus patologis. Anamnesis kehamilan dan kelahiran sangat membantu pengamatan klinik dan dapat menjadi petunjuk untuk melakukan pemeriksaan yang tepat. Early feeding yaitu pemberian makanan dini pada bayi dapat mengurangi terjadinya ikterus fisiologik pada bayi.
Sistem fototerapi mampu menghantarkan sinar melalui bolam lampu fluorcent, lampu quartz, halogen, emisi dioda lampu dan matres optik fiber. Keberhasilan pelaksanaan fototerapi tergantung dari efektifitas dan minimnya komplikasi yang terjadi (Stokowski, 2006 dalam Shinta, 2015).


B.    Indikasi Fototerapi
Fototerapi direkomendasikan apabila :
1.    Kadar bilirubin total 5-8 mg/dl pada bayi dengan berat badan <1500 gram.
2.    Kadar 8-12 mg/dl pada bayi dengan berat badan 1500-1999 gram.
3.    Kadar 11-14mg/dl pada bayi dengan berat badan 2000-2499 gram.
(wong et al., 2009).

C.    Dampak fototerapi akan meningkat jika kadar bilirubin di kulit makin tinggi.
Fototerapi mengubah bilirubin di kapiler superfisial dan jaringan interstitial dengan reaksi fotokimia dan fotooksidasi menjadi isomer (isomerisasi struktural dan konfigurasi) secara cepat, yang larut dalam air dan dapat diekskresi melalui hepar tanpa proses konjugasi sehingga mudah diekskresi dan tidak toksik. Penurunan bilirubin total paling besar terjadi pada 6 jam pertama.
Faktor yang mengurangi efikasi terapi sinar adalah paparan kulit tidak adekuat, sumber cahaya terlalu jauh dari bayi (radiasi menurun secara terbalik dengan kuadrat jarak), lamu flouresens yang terlalu panas menyebabkan perusakan fosfor secara cepat dan emisi spektrum dari lampu yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang perawatan perinatologi memiliki peralatan untuk melakukan terapi sinar intensif (Giyatmo, 2011).

D.    Evektivitas Fototerapi
1.    Jenis Cahaya
Cahaya biru (fluoresens biru) dengan spektrum 460-490 nm merupakan cahaya yang paling efektif dalam fototerapi karena dapat menembus jaringan dan diabsorbsi oleh bilirubin (bilirubin menyerap lebih kuar pada cahaya biru dengan spektrum 460 nm ini).
2.    Saluran energi atau  imadiance sumber cahaya
Imadiance diukur dengan radiometer  atau spektroradiometer dalam satuan watt/cm¬¬2 atau µ watt/cm¬¬2nm. Sebagai contoh, sumber cahaya (tipe konvensional atau standar)  yang diletakkan ±20 cm diatas bayi dapat menghantarkan spektrum imadiance, berkisar 8-10 µ watt/cm¬¬2 nm pada panjang gelombang cahaya 430-490 nm.
Adapun cahaya flourenens biru dapat menghantarkan spektrum imadiance berkisar 30-40  µ watt/cm¬¬2nm.
American academy of pediatriks mendefinisikan intensif fototerapi sebagai fototerapi dengan spektrum imadiance berkisar 30-40 µ watt/cm¬¬2 nm yang dapat menjangkau permukaan tubuh bayi dengan lebih luas. (Maisels & McDonagh, 2008).
3.    Jarak antara bayi dengan sumber cahaya dan luasnya area kulit yang terpajan
Jarak antara bayi dengan sumber cahaya tidak boleh kurang dari 45 cm. Penelitian terkontrol menyebutkan bahwa semakin luas daerah kulit yang terpajan, semakin besar reduksi kadar bilirubin total. (Wong et al., 2009).
Efektivitas fototerapi tergantung pada kualitas cahaya yang dipancarkan lampu (panjang gelombang), intensitas cahaya (iridasi), luas permukaan tubuh, ketebalan kulit dan pigmentasi, lama paparan cahaya, kadar bilirubuin total saat awal fototerapi (Sakundarno,2008).
E.    Perawatan Bayi  Dengan Fototerapi
1.    Pasang penutup mata dan pastikan terpasang dengan baik
2.    Baringkan bayi tanpa pakaian, kecuali popok/ bilibottom
3.    Ubah posisi bayi setiap  3 jam
4.    Ketika fototerapi dimulai, periksa kadar bilirubin setiap 24 jam
5.    Pantau subuh tubuh bayi
6.    Observasi status hidrasi  bayi, pantau  intake dan output cairan
7.    Edukasi dan motivasi orangtua / keluarga bayi
8.    Dokumentasikan nama bayi, no RM, tanggal dan jam dimulai dan selesainya fototerapi, jumlah jam pemakaian alat fototerapi dalam lembar dkomentasi pemakaian alat.
9.    Dokumentasikan pula tanggal dan jam penggunaan fototerapi, tampilan klinis bayi, dan tindakan lainnya yang dilakukanterkait fototerapi dalam lembar dokumentasi perawatan bayi.

F.    Hal-hal yang harus diperhatikan
1.    Toksisitas cahaya terhadap retina bayi yang imatur sehingga selama pemberian fototerapi, penutup mata harus terpasang (Maisels & McDonagh, 2008).
2.    Gunakan diapers selama fototerapi untuk melindungi genetalia bayi (Wong et al., 2009).

G.    Durasi Fototerapi
Lamanya durasi fototerapi selah satunya ditentukan oleh nilai total serum bilirubin saat mulai fototerapi dan fototerapi dihentikan jika nilai total serum bilirubin mencapai nilai kurang dari 12 mg/dl (Moeslihchan et al, 2004 dalam Rahmah et al, 2013).

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hiperbilirubinemia dapat terjadi pada bayi cukup bulan sehat yang menyusui. Hiperbilirubinemia yang berhubungan dengan pemberian ASI dapat berupa breastfeeding jaundice (BFJ) dan breastmilk jaundice (BMJ). Penyebab BFJ adalah kekurangan asupan ASI, biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu ASI belum banyak.

B.    Saran
The American Academy of Pediatrics (AAP) tidak menganjurkan penghentian ASI dan merekomendasikan pemberian ASI terus menerus (minimal 8-10 kali dalam 24 jam). Jadi untuk ibu diharapkan untuk tetap memberikan ASI kepada bayi.


DAFTAR PUSTAKA


Bunyaniah, Dahru. 2013. Pengaruh Fototerapi Terhadap Derajat  Ikterik Pada Bayi Baru Lahir Di RSUD DR. Moewardi Surakarta. Diunduh11 oktober 2015.

Gumilar, Hairul. 2010. Pemberian Fototerapi Dengan Penurunan Kadar Bilirubin Dalam Darah Pada Bayi BBLR Dengan Hiperbilirubinemia. Diakses11oktober 2015.

Kosim, M,S., Soetandio, Robert. M Sakundaro. 2008. Dampak Lama Fototerapi Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin Total Pada Hiperbilirubinemia Neontal. Diakses 12 oktober 2015.

Rahmah., Yetti, K., Besral. 2013. Pemberian ASI Efektif Mempersingkat Durasi Pemberian Fototerapi. Diakses 11 oktober 2015.

Shinta P, Tina. 2015. Pengaruh Perubahan Posisi Tidur Pada Bayi Baru Lahir Hiperbilirubinemia Dengan Total Fototerapi Terhadap Kadar Bilirubin Total. Diakses 12 oktober 2015.

Suraiyah. 2014. http://www.rspermatacibubur.com/hiperbilirubinemia/. Diakses 10 oktober 2015.

Yuhanidz, H., Saryono., Giyatmo. 2011. Efektivitas Fototerapi 24 Jam Dan 36 Jam Terhadap Penurunan Bilirubin Indirect Pada Bayi Ikterus Neonatorum. Diakses 10 oktober 2015.




EmoticonEmoticon

About